“Tangkap dan bunuh dua bocah itu! Kalau tidak berhasil, nyawa kalian yang jadi bayarannya!”
Di tengah sunyinya malam Kota Malora, sebuah teriakan nyaring terdengar, membuat jantung Rayden berdebar. Ada puluhan orang yang sedang mengejarnya dan menuntut nyawanya!
“Kakak … Raelyn tidak kuat lagi ….”
Suara terengah itu terdengar dari sisi Rayden. Raelyn, kembarannya, tampak mulai kelelahan. Wajahnya pucat, dan kentara kecepatannya terus berkurang.
“Teruslah berlari, Lyn! Kalau tidak, kita akan mati!” balas Rayden, berusaha menyemangati adiknya.
Rayden Duskar sama sekali tidak mengerti mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Yang dia tahu, beberapa saat lalu, dirinya sedang makan malam di rumah bersama adik dan kedua orang tuanya. Lalu, pintu diketuk dari luar, membuat ayahnya bangkit dengan niatan menyambut tamu tersebut.
Namun, tidak disangka—
DORR!
Suara tembakan yang nyaring bergema, membuat Rayden menoleh dan melihat sang ayah jatuh tergeletak bersimbah darah.
Segera setelah itu, ibunya memintanya lari bersama adiknya. Dan ketika mereka akan melarikan diri dari pintu belakang, Rayden kembali melihat sang ibu yang juga tertembak.
“Kakak … mereka siapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Raelyn dengan napas terengah di sela pelarian mereka.
Rayden menggeleng. “Kakak juga tidak tahu, yang jelas sekarang kita harus lari dulu agar aman.”
Mereka kembali berlari hingga tanpa sadar mulai masuk ke area pegunungan.
Namun, Raelyn justru berhenti, kakinya tampak gemetar. “Kakak …”
Rayden menoleh, panik. Dia berpikir cepat. “Lyn, larilah ke pendopo milik Bibi Diana di ujung bukit dan saat situasi aman, datanglah ke rumahnya dan minta bantuan mereka. Aku akan mengalihkan perhatian orang-orang itu.”
Raelyn menolak, tangannya menggenggam dengan erat. Sorot matanya memohon. “Tapi, aku tidak bisa meninggalkan kamu!”
“Kamu harus! Pagi nanti aku akan datang ke rumah Bibi Diana!” desak Rayden. Jelas, dia tidak akan membiarkan kembarannya itu terluka.
Dengan air mata, Raelyn akhirnya berlari.
Melihat adiknya telah berlari menjauh, Rayden akhirnya bisa sedikit bernapas lega. Sejenak Rayden mengedarkan pandangannya, mulai merasa sedikit bingung akan berlari ke arah mana. Sebab seingatnya, tak jauh dari tempatnya berada, ada tebing yang cukup curam.
Saat Rayden hendak kembali berlari, empat pria berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul tepat di hadapannya. Salah satu dari mereka membuat langkah Rayden terhenti seketika.
“Paman Hery...?” ucap Rayden lirih, matanya membelalak tak percaya.
Kebingungan dan keterkejutan menyeruak dalam dadanya. Selama ini, Hery adalah orang yang paling dipercaya ayahnya, sosok yang membantu merintis bisnis keluarga sejak awal.
Namun, kenapa sekarang dia muncul bersama orang-orang bersenjata dan menghadangnya?
“Kenapa Paman—”
Belum sempat Rayden menyelesaikan kalimatnya, Hery hanya menatapnya dingin, tanpa menjawab sepatah kata pun. Lalu, dia memberi isyarat cepat dengan tangannya.
Dor!
Sebuah tembakan meledak. Peluru itu menembus pundak Rayden, membuat tubuhnya terhuyung dan jatuh berlutut, menahan sakit yang luar biasa.
Salah satu pria berbaju hitam menoleh pada Hery. “Apa anak ini juga kita serahkan ke Keluarga Bramasta?”
Hery menggeleng. “Tidak usah. Anak itu pasti akan mati di sini.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka semua berbalik dan pergi, meninggalkan Rayden yang tergeletak tak berdaya di tanah. Pandangannya mulai kabur, napasnya berat, dan kesadarannya perlahan memudar.
Namun, sebelum Rayden benar-benar menutup matanya, langkah kaki terdengar pelan, menghentak tanah basah dengan ritme tenang, tetapi berat.
Seorang pria tua muncul dari balik kabut, jubahnya berkibar tertiup angin. Dia mendekat tanpa berkata sepatah kata pun.
Tatapannya jatuh ke tubuh Rayden. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyipit seolah sedang mengamati lebih dalam dari yang terlihat.
Pria tua itu berdiri diam sejenak, lalu menunduk. Tangan keriputnya melayang di atas dada Rayden seolah sedang merasakan sesuatu.
Alisnya bergerak tipis. Napasnya mengembus pelan.
“Raelyn … aku harus menyelamatkanmu,” kata Rayden lirih, nyaris tidak terdengar.
“Kau ingin selamat?” tanya pria itu tiba-tiba, suaranya datar, tapi dalam.
Rayden membuka bibirnya dengan sisa tenaga. “Iya…”
Pria tua itu mendekat lebih dekat, sorot matanya menajam. “Aku akan menyelamatkanmu… asal kau mau jadi muridku.”
Alis Rayden berkerut lemah. Raut wajahnya menunjukkan tanda tanya, seolah tak mengerti siapa orang itu, atau mengapa seseorang seperti dia muncul di saat seperti ini dan mengatakan hal seperti itu. Namun, Rayden tidak punya pilihan lain. Dia harus kembali untuk melindungi Raelyn.
Akhirnya, Rayden mengangguk lemah.
Tangan kiri pria tua itu langsung menekan dada Rayden, dan seberkas cahaya samar menyebar dari telapak tangannya, merambat ke seluruh tubuh Rayden.
***
10 tahun kemudian.
Boom!
Bukit tandus di ujung Desa Dewa baru saja dihancurkan dengan satu pukulan oleh seorang pemuda berusia 26 tahun. Dia tampak tenang, seolah yang baru saja terjadi hanyalah hal kecil. Bahkan, ekspresi wajahnya tetap dingin, bajunya juga tetap bersih meskipun debu beterbangan di sekitarnya, hanya rambutnya yang cukup panjang bergerak karena angin.
Namun, di sisi lain, 2 pria tua justru tampak lebih heboh.
“Bagus sekali! Itu baru muridku!” kata salah satu pria tua yang masih tampak gagah dan kuat. Dia adalah Raksa, seorang ahli ilmu bela diri.
“Itu karena aku telah mengajarinya membuat pil dengan benar untuk menunjang latihannya!” sahut pria tua lain yang tampak setengah sadar, mulutnya penuh dengan bau alkohol yang menyengat, tetapi di tangannya masih memegang sebotol minuman keras. Dia adalah Mahadewa, seorang ahli alkimia hebat.
“Cih! Jelas-jelas yang tadi itu karena latihan fisik yang bagus denganku!” bantah Raksa.
“Percuma saja latihan fisik kalau tidak didorong dengan pil dan obat ilahi!” Mahadewa, kembali membantah seolah dia yang paling berjasa atas keberhasilan pemuda itu. Dia adalah ahli alkimia dengan kemampuan luar biasa.
Namun, pria tua lain yang sejak tadi tampak tenang tiba-tiba bersuara. "Itu semua jelas karena meditasi yang kuajarkan padanya, sehingga pembentukan fondasinya bisa sekuat ini!”
Pria itu adalah Erlangga, seorang ahli ilmu meditasi dalam dunia kultivasi.
Saat Mahadewa ingin menimpali, tiba-tiba seorang wanita cantik muncul dari udara dengan penuh pesona dan keanggunan.
“Rayden! Kau dipanggil Guru Sena!” kata wanita itu dengan sedikit keras.
Rayden, pemuda yang tadi menghancurkan bukit itu langsung datang ke hadapan si wanita sambil memberi hormat. "Guru Calia. Terima kasih informasinya, saya akan segera menghadap Guru Sena.”
“Guru Raksa, Guru Erlangga, Guru Mahadewa, saya pamit. Terima kasih atas latihannya!” ujar Rayden sambil menatap ketiga pria tua yang sejak tadi membahas perkembangan kekuatannya.
Mereka mengangguk, dan Rayden pun segera melesat menuju rumah Guru Sena, sang ahli pedang.
Sepuluh tahun lalu, saat Rayden terjatuh ke dasar jurang dalam kondisi sekarat, Guru Sena menyelamatkannya dan membawanya ke Desa Dewa. Di sanalah Rayden dilatih bersama empat guru lainnya. Guru Sena percaya, kekuatan besar tersegel dalam tubuh Rayden, dan itulah yang membuatnya selamat dari maut.
“Rayden, perkembanganmu luar biasa!” sambut Guru Sena saat Rayden tiba.
“Itu semua berkat bimbingan para guru,” jawab Rayden hormat.
“Aku yakin, tak ada lagi yang bisa menyentuhmu sekarang. Apa rencanamu selanjutnya?”
“Saya akan kembali ke kota, mencari adik saya, mengungkap kebenaran di balik pembantaian keluarga kami, dan membalas dendam pada keluarga Bramasta.”
Guru Sena mengangguk puas. “Dengan kekuatan tingkat Sage dan teknik pedangmu sekarang, kau pasti bisa. Tapi ingat, jangan terbawa emosi. Kalau butuh bantuan, Desa Dewa selalu terbuka untukmu.”
Rayden mengangguk mantap. Dendam lama di dadanya kini diiringi keyakinan dan kekuatan yang nyata.
Peringatan terakhir dari Tetua Agung Altair masih menggema di telinga Rayden, meninggalkan jejak dingin dari paranoia. Namun, pria tua itu tidak menunggu jawaban. Ia mendorong piringan giok kusam itu ke seberang meja dengan gerakan final."Hutang keluargaku, baik pada Kalesvara maupun pada cucuku, tidak akan pernah bisa lunas," katanya dengan suara yang dipenuhi kelelahan. "Anggap ini sebagai bunga pertamanya."Ia menjelaskan dengan singkat. Piringan itu adalah Kunci Spasial, sebuah artefak kuno sekali pakai. Fungsinya hanya satu, membuka gerbang sementara menuju perbatasan Wilayah Nebulon, dimensi tersembunyi tempat para kultivator tingkat tinggi seperti Brahma Angkara bersemayam. Ini adalah satu-satunya cara bagi Rayden untuk melanjutkan perburuannya.Rayden menatap kunci di tangannya, lalu pada pria tua di hadapannya. Tujuannya kini jelas, dan jalan di hadapannya, meskipun berbahaya, telah terbentang. Ia mengambil kunci itu tanpa berkata apa-apa.***Di atap markas bawah tanahnya,
Rayden menatap pria tua di hadapannya, matanya menyipit dengan tatapan menyelidik yang dingin. Secercah harapan yang ditawarkan sang Tetua terasa seperti umpan di atas sebuah perangkap yang rumit."Jalan masuk?" tanyanya skeptis, suaranya datar. "Setelah semua kebohongan dan manipulasi, kenapa aku harus percaya kau tidak sedang menuntunku ke dalam jebakan lain?"Menghadapi ketidakpercayaan itu, Tetua Agung Altair justru tersenyum getir. Itu bukan lagi senyum licik, melainkan senyum lelah dari seorang pemain catur yang telah kalah dan kini membuka semua strateginya."Kau tidak harus percaya padaku, anak muda," jawabnya, suaranya terdengar jujur untuk pertama kalinya. "Tapi kau harus percaya pada logikaku. Percaya pada kepentingan pribadiku."Ia menegakkan tubuhnya, kembali ke persona seorang ahli strategi. "Aku akan jujur padamu. Tindakanku ini bukan didasari oleh kebaikan hati atau keinginan untuk menebus dosa. Ini adalah pertaruhan terakhirku."Ia mengangkat satu jari. "Pertama, Brah
"Aku adalah monster yang sebenarnya dalam cerita ini."Bisikan yang bergetar itu menggantung di udara paviliun teh yang kini terasa dingin, sebuah pengakuan akhir yang menyedihkan. Tetua Agung Altair menunduk, bahunya yang rapuh berguncang karena isak tangis yang tertahan, sosoknya tidak lebih dari seorang pria tua yang hancur oleh dosanya sendiri.Rayden terdiam untuk waktu yang sangat lama.Ia tidak merasakan kemenangan. Ia tidak merasakan kepuasan dari melihat musuhnya yang licik ini hancur. Ia bahkan tidak merasakan amarah yang meledak-ledak. Yang ia rasakan hanyalah hawa dingin yang menusuk dari sebuah kebenaran yang pahit, rumit, dan sangat melelahkan.Di dalam keheningan itu, pikirannya bekerja dengan kecepatan kilat, menyusun kembali semua masalah yang selama ini terasa salah tempat.Kara Kalderis.Sikapnya yang dingin namun penuh selidik saat pertama kali mereka bertemu. Itu bukanlah arogansi, melainkan kewaspadaan dari seseorang yang telah belajar untuk tidak mempercayai sia
Rayden menatap Tetua Agung Altair, matanya yang berwarna amber kini menyipit menjadi dua titik cahaya yang berbahaya. Udara di sekelilingnya terasa mendingin, dan suaranya keluar bukan sebagai teriakan, melainkan desisan yang jauh lebih menakutkan."Apa... yang telah kau lakukan padanya?"Pertanyaan itu menggantung di udara, sebuah tuntutan yang absolut. Wajah sang Tetua yang keriput kini basah oleh air mata yang akhirnya tak bisa lagi ia bendung. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang penguasa licik, melainkan hanya seorang kakek tua yang hancur oleh penyesalannya sendiri."Aku melakukan dosa yang tak termaafkan," bisiknya, suaranya parau. Ia mulai menceritakan bagian terakhir dari kisahnya, bagian yang paling ia kubur dalam-dalam.Ia menceritakan hari saat Kara dengan mata berbinar penuh kebanggaan, mengumumkan bahwa ia telah siap. Siap untuk melakukan meditasi tertutup, untuk mengerahkan seluruh kekuatannya dan menerobos belenggu terakhir dari tingkat Master menuju alam Grandmaster
Kalimat terakhir dari laporan Lucien Dorne—"saksi mata itu... adalah salah satu dari kita"—menggantung di udara seperti vonis mati. Rayden menatap Tetua Agung Altair, semua kepingan puzzle yang membingungkan itu akhirnya mulai mengarah pada satu nama, satu sosok yang tak terduga. Kesabarannya habis."Aku tidak tertarik dengan detail kegagalanmu," potong Rayden dengan tajam, suaranya dingin dan tidak menyisakan ruang untuk basa-basi. "Aku melihat seorang anak perempuan di belakang Lucien Dorne malam itu. Jelaskan tentang Kara."Saat nama itu disebut, topeng ketenangan dan kendali yang selama ini dikenakan oleh Tetua Agung Altair hancur berkeping-keping. Wajahnya yang keriput mengeras, dipenuhi oleh penderitaan yang begitu dalam dan nyata hingga membuat amarah Rayden seketika surut, digantikan oleh firasat buruk yang mencekam. Ini adalah inti dari penyesalannya."Kara..." bisik sang Tetua, suaranya serak seolah kata itu terasa sakit untuk diucapkan. Ia memejamkan matanya. "Dia adalah bi
"Masalah besar?" ulang Rayden, firasat terburuknya langsung mencengkeram hatinya. Seluruh tubuhnya menegang. "Apa yang terjadi pada Raelyn? Apa yang Lucien lakukan padanya?"Tetua Agung Altair menatap Rayden, dan untuk sesaat, topeng baja di wajahnya yang tua retak. Di kedalaman matanya yang keruh, ada secercah simpati yang tulus, sebuah kilatan rasa sakit yang beresonansi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap dingin dan faktual, seolah ia hanya membacakan kembali laporan dari malam terkutuk itu, sebuah mekanisme pertahanan yang telah ia asah selama sepuluh tahun."Bukan itu," jawab sang Tetua pelan. "Masalah yang ia maksud bukanlah adikmu. Menurut laporan singkat Lucien, Raelyn telah diurus. Dia tidak memberikan detailnya. Laporannya hanya menyatakan bahwa target kedua tidak lagi menjadi ancaman bagi rencana kita."Kata-kata 'diurus' dan 'tidak lagi menjadi ancaman' terdengar lebih kejam di telinga Rayden daripada deskripsi penyiksaan mana pun. Ia langsung mengerti apa ar