Rayden menatap tumpukan laporan keuangan yang disajikan Mireya, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi.Angka-angka merah yang menjerit dari layar tablet itu seolah tidak memengaruhinya sama sekali. Setelah hening sejenak, ia mengetuk satu nama di daftar direktur lama dengan jarinya. Foto seorang pria gemuk berusia lima puluhan dengan senyum sombong terpampang di sana—Hardiman Wijoyo."Untuk membangun sesuatu yang baru," katanya, suaranya pelan dan mantap, "Terkadang kita harus membakar habis fondasi yang busuk. Kita mulai dari orang ini."Mireya mengerutkan kening. "Ray, Tuan Hardiman adalah lintah darat paling licik di dewan direksi. Kontrak-kontraknya mengikat perusahaan seperti rantai, dan koneksi hukumnya sangat kuat. Tim pengacara terbaik pun akan butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk melawannya di pengadilan."Rayden tersenyum tipis. "Aku tidak akan menggunakan pengacara, Kak. Aku punya metode yang lebih cepat."***Malam itu, di lantai tertinggi sebuah gedung p
Saat Rayden kembali ke markas bawah tanahnya, keheningan menyambutnya. Mireya dan Alesia yang sedari tadi telah menunggu dengan napas tertahan langsung berdiri. Mata mereka tertuju pada sosok Rayden yang berjalan keluar dari bayang-bayang. Ia tidak lagi terluka parah seperti saat melawan para Grandmaster Altair, tetapi aura dari duel terakhirnya melawan Gavin masih melekat padanya, sebuah aura dingin dari finalitas dan otoritasyang tak terbantahkan.Mireya adalah yang pertama mendekat, wajahnya pucat namun matanya bersinar dengan campuran antara lega, kagum, dan sedikit ketakutan."Semua orang di kota membicarakanmu," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka tidak tahu harus merasa takut atau berterima kasih padamu."Rayden hanya mengangguk singkat, seolah reaksi seluruh kota tidak lebih penting dari setitik debu di bahunya. "Perasaan mereka tidak penting," jawabnya datar. "Yang penting adalah mereka tidak lagi menghalangi jalan. Bramasta telah berakhir."Ia berjalan melewati
Ujung pedang Rayden yang dingin menempel di leher Gavin, sebuah titik akhir yang sunyi dari sebuah pertarungan yang sengit.Keheningan yang pekat menyelimuti alun-alun yang telah hancur. Gavin kini berdiri membeku, napasnya yang berat adalah satu-satunya suara yang terdengar.Kekalahan total.Tiba-tiba, sebuah tawa serak dan parau keluar dari tenggorokannya. Tawa itu terdengar gila, dipenuhi oleh keputusasaan yang tak terbatas. Darah segar menetes dari sudut bibirnya saat ia tertawa, matanya yang merah menatap kosong ke langit malam."Bunuh saja aku, Kalesvara!" teriaknya, suaranya pecah. "Itu satu-satunya kehormatan yang tersisa untukku! Lakukan!"Bagi seorang pejuang seperti dirinya, mati di tangan lawan yang lebih kuat adalah sebuah akhir yang bisa diterima. Namun, penghinaan karena dikalahkan dengan begitu mudah, dipermainkan seperti anak kecil, adalah siksaan yang tak tertahankan.Rayden menatapnya, matanya tidak menunjukkan belas kasihan, tidak juga kebencian. Hanya ada kekosong
Mireya yang menyaksikan pertarungan itu menahan napas, tangannya mencengkeram pagar pembatas begitu erat. Di sampingnya Alesia menutup mulutnya dengan ngeri. Mereka menyaksikan aura merah darah di sekitar Gavin Bramasta meledak menjadi inferno yang mengerikan."Ray, hati-hati!" teriak Mireya, suaranya nyaris hilang ditelan angin malam. "Energinya tidak stabil!"Di tengah alun-alun, Rayden bisa merasakan gelombang panas yang memancar dari tubuh Gavin. Kekuatan lawannya kini tidak lagi hanya kuat, tetapi juga liar dan tak terprediksi, seperti binatang buas yang telah melepaskan rantai terakhirnya.Gavin tidak lagi berteriak. Matanya yang merah kini kosong dari semua emosi kecuali niat membunuh yang murni. Dalam sekejap, sosoknya lenyap dari tempatnya berdiri.Bukan karena kecepatan biasa. Ia merobek udara.Rayden yang sejak tadi selalu selangkah lebih maju, kini merasakan insting bahayanya menjerit. Ia menyilangkan lengannya di depan dada tepat pada saat sosok Gavin muncul kembali di ha
"Rayden Kalesvara, aku tahu kau bisa mendengarku! Keluar kau, pengecut! Hadapi aku seperti laki-laki!"Gavin Bramasta, pakaiannya yang dulu selalu rapi kini compang-camping dan ternoda, rambutnya yang terawat kini acak-acakan, dan matanya merah menyala seperti bara api neraka. Ia bukan lagi sang jenius pewaris Keluarga Bramasta yang angkuh. Ia adalah hantu yang kembali dari kubur, seekor binatang buas yang telah kehilangan segalanya dan kini hanya memiliki satu hal tersisa: kebencian.Energi spiritual yang liar dan merusak berputar-putar di sekelilingnya, membuat tanah pualam di bawah kakinya retak dan mengeluarkan asap tipis. Ia mengangkat kepalanya ke langit malam dan meraung, suaranya yang serak dan penuh penderitaan bergema di seluruh kota.Di atap-atap gedung di sekitar alun-alun, puluhan pasang mata mengamati dalam diam. Para pemimpin keluarga kecil yang baru saja tunduk pada Rayden, para mata-mata dari Keluarga Altair yang ingin melihat hasil akhir dari kekacauan ini, dan bebe
Lyra tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya melempar sebuah tablet tipis ke atas meja di tengah ruangan.Di layarnya, terpampang sebuah gambar yang diambil dari sudut jalan, menampilkan gerbang utama Kediaman Kalesvara yang megah dan kuno. Namun, keindahan arsitektur kayu jati itu telah dinodai.Di atas permukaan pintu yang kokoh, terukir beberapa kata besar yang dibakar dengan energi spiritual yang meluap-luap, begitu panas hingga kayunya menghitam dan masih mengeluarkan asap tipis. Pesan itu brutal, putus asa, dan ditujukan pada satu orang."Rayden Kalesvara. Aku tahu itu kau. Keluar dan hadapi aku, atau aku akan membakar kota ini sampai rata dengan tanah."Keheningan yang pekat menyelimuti markas itu. Wajah Alesia langsung pucat. "Gavin Bramasta, dia benar-benar sudah gila," bisiknya ngeri."Ini bukan lagi kegilaan," sahut Lyra dengan nada dingin. Matanya yang tajam menganalisis situasi. "Orang yang sudah kehilangan segalanya, keluarga, status, kehormatan, bahkan masa depan kultivasi