Share

Bab 5 Rencana Raya

Kedua mataku sontak membeliak kaget. Jadi Bulek  May mau menguasai rumah ini. Padahal rumahku adalah warisan dari Bapak yang diturunkan turun temurun dari Kakekku. Sama sekali tidak ada hak Bulek May dan Raya dalam rumah ini. Sekali lagi, tanganku cekatan memindahkan semua pesan di hp Raya yang kembali muncul ke laptop, lalu menghapusnya lagi.

Drrtt…

Hp Raya sudah bergetar lagi. Ada pesan masuk dari Mas Harun. Aku hanya bisa melihat sekilas dari pop up pesan tanpa berani membukanya di hp. Karena hp Raya sudah aku bajak, aku memilih untuk membaca pesan Mas Harun di komputer. 

[Kamu sudah masukin obat tidur ke dalam minumannya Wulan dek?]

“Obat tidur?” Gumamku heran. Apa yang hendak mereka lakukan sampai Raya harus memberiku obat tidur.

[Kalau bisa cepat sedikit ya. Kita harus pergi ke penjahit untuk fitting baju pengantin sore ini juga. Aku tidak mau Wulan memergoki kita saat pergi bersama sore ini.]

Tanpa terasa air mataku kembali mengalir di pipi. Sakit sekali rasanya saat suami yang kita kira baik tega berhianat seperti ini. Belum lagi dengan Bulek May dan Raya. Meskipun rumah kami jauh, aku tetap menjalin hubungan keluarga kami setelah orang tuaku meninggal.

Tok.. tok.. tok…tok…

“Mbak Wulan.” Panggil Raya dari sebrang pintu.

“Iya Ray. Tunggu sebentar.” Aku segera menutup aplikasi yang kugunakan lalu beranjak berdiri untuk membuka pintu.

“Ini hp kamu. Makasih sudah mau minjamin.” Ujarku lali menyerahkan hpnya. Raya menganggukan kepalanya. Terlihat di tangan Raya ada segelas susu hangat.

“Karena sibuk kerja Mbak Wulan pasti nggak sadar kalau di luar lagi hujan.” Kata Raya sambil menunjuk ke jendela yang berembun. Suara rintik hujan yang semakin deras mulai terdengar. Aku memang sama sekali tidak mendengar suara hujan turun. Bukan karena sibuk bekerja. Melainkan karena aku terlalu emosional setelah mengetahui sebagian fakta yang terkuak ke permukaan.

“Eh iya. Tadi aku diskusi sebentar sama manajer toko.”

“Ini aku buatin susu hangat untuk Mbak Wulan.” Ia menyodorlan gelas susu itu padaku. Pandanganku tidak sengaja tertuju pada Alana dan Syifa yang tiba-tiba sudah tertidur di sofa. Apa mungkin Raya juga sudah memberikan obat tidur ke minuman kedua putriku?

“Makasih Ray. Nanti aku minum.” Balasku berusaha untuk tersenyum. Raya tampak tidak puas dengan jawabanku. Tapi, dia hanya bisa menganggukan kepalanya tanpa berani untuk protes.

Raya sudah kembali sibuk menonton TV di sofa. Sedangkan aku memanggil Bude Yah untuk memindahkan anak-anak ke kamar mereka.”Bude tolong jaga anak-anak ya. Nanti sore saya ada rapat di toko.”

“Iya Mbak Wulan.”

Baru saja aku hendak melangkah keluar, aku kembali berbalik menghadap Bude Yah. “Kalau nanti Raya tanya aku ada dimana, jawab saja aku tertidur di dalam kamar. Jangan bilang kalau aku akan pergi sore ini.” Pintaku agar Raya tidak curiga. Bude Yah menganggukan kepalanya tanpa banyak bertanya.

Saat turun ke lantai dua, Raya sudah tidak ada di ruang tengah. Aku mengintip dari sela kamar tamu yang terbuka. Rupanya dia sedang mencoba beberapa gaun yang sangat familiar. Mataku seketika membulat. Bukankah beberapa gaun itu adalah milikku? Kakiku hendak melangkah menuju kamar tamu. Tapi, seketika berhenti. Aku harus bisa bermain cantik.

Aku kembali berjalan menuju kamar utama lalu mengunci pintu. Ada banyak hal yang belum aku baca. Setelah duduk di depan komputer, aku membaca semua pesan di antara Bulek May dan Raya. Rupanya rencana mereka sudah di mulai sejak satu tahun lalu. Sebelum Raya bekerja di kota ini.

[Kamu sudah berkunjung ke rumah Wulan, nduk?]

[Belum Bu. Besok saja. Aku terlalu capek karena membereskan barang-barangku di kamar kos. Oh iya, aku pakai hp baru loh Bu. Hadiah pemberian Mbak Wulan.]

[Dasar pamer. Baru punya uang segitu saja sudah kasih kamu hp.] Balasan Bulek May tetap membuatku kaget.

Karena aku masih ingat betul saat kami bertemu setelah Raya bekerja di kota ini. Bulek May berterima kasih padaku karena aku mau menjaga Raya sampai membelikan hp baru yang sama persis dengan hpku. Semakin lama membaca percakapan di antara Ibu dan anak itu, membuatku mengerti jika Bulek May dan Raya iri dengan hidupku yang berubah seratus delapan puluh derajat. Dari orang biasa menjadi orang kaya baru.

Itu semua karena sawah peninggalan mendiang Bapak yang sangat luas. Sejak Bapak sakit, sawah itu sudah tidak terurus lagi. Dengan ijin Bapak aku menjual sawah itu hingga mendapat uang senilai lima ratus juta rupiah. Saat itu aku baru menginjak usia dua puluh tahun dan harus mengambil alih peran sebagai Ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga. Karena Ibu sudah di panggil lebih dulu juga karena sakit.

Padahal saat itu aku tengah kuliah di Yogyakarta. Bapak di rawat di rumah sakit dengan di jaga oleh saudara dekat kami.  Dengan modal nekat, aku mulai menjual laptop ke kampung halaman. Sistemnya adalah jasa titip. Harga yang aku patok juga lebih murah daripada laptop di kota kabupaten tempatku tinggal.

Sisanya aku gunakan untuk memenuhi kebutuhan Bapak. Dua tahun berlalu, Bapak menyerah pada sakitnya. Tepat satu bulan setelah aku di wisuda. Karena tidak ada lagi sosok kedua orang tuaku di rumah, aku kembali merantau untuk bekerja. Pergi ke Jakarta untuk bekerja sebagai programmer. Pekerjaan menjual laptop tetap kulakoni dan bisa membangun toko laptop sendiri di kota kabupaten. Kakak sepupu dari pihak Bapak kutunjuk sebagai manajer toko yang akan rutin melapor padaku secara online.

Saat pulang kampung, aku tidak sengaja bertemu dengan Mas Harun yang sudah bekerja di perusahaannya saat ini sebagai staff baru. Satu tahun kami menjalani hubungan LDR hingga Mas Harun melamarku untuk menjadi istrinya. Aku lalu mundur dari pekerjaanku di Jakarta.

Usahaku berjalan lancar. Pendapatanku yang lebih tinggi dari Mas Harun membuatku tidak serta merta mengabaikannya. Aku tetap menghormati Mas Harun sebagai imam dan kepala rumah tangga yang harus aku patuhi. Begitu juga dengan Mas Harun yang tetap memberikan nafkah padaku. Meskipun harus di bagi dua dengan Ibu mertua.

Pendapatanku juga aku gunakan untuk memenuhi kebutuhan Ibu mertua dan Rani. Ternyata pengorbananku selama ini hanya sia-sia belaka. Aku sudah tidak kuat lagi jika harus membuka pesan di antara Mas Harun dan Raya. Membaca pesan Bulek May saja membuatku sudah menangis tersedu-sedu.

Setelah sholat ashar, aku tetap pergi ke toko untuk rapat. Raya sudah tidak ada lagi di rumah. Pasti dia sudah di jemput oleh Mas Harun. Dua jam kemudian, aku pulang ke rumah sambil membawa bingkisan makanan untuk Bude Yah dan anak-anak. Kami menikmati ayam krispi yang aku bawa di ruang makan yang merangkap dapur. Syukurlah anak-anak sudah bangun. Apa itu berarti mereka tadi siang tidur karena kelelahan?

“Ayah pergi kemana Bu? Kok belum pulang jam segini?” Tanya Syifa dengan wajah merengut. Mencari kehadiran Ayahnya.

“Tadi Ayah wa Ibu kalau malam ini akan pulang larut malam. Ayah harus lembur sayang.” Syifa menganggukan kepalanya mengerti.

Jam delapan malam, anak-anak sudah masuk kedalam kamar mereka untuk tidur. Aku tetap menunggu di ruang tengah sambil menonton TV. Tidak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tapi, Mas Harun dan Raya tidak kunjung datang. Suara mobil yang berhenti di halaman membuatku kembali duduk tegak. TV juga segera kumatikan.

Dalam gelapnya malam, aku masih bisa melihat langkah Mas Harun dan Raya yang masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba lampu ruang tengah di nyalakan. Membuat mereka bisa melihat keberadaanku disini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
inilah kedunguan yg hakiki dan sangat tidak masuk akal. klu mau bikin drama halu dlm cerita yg waras dikitlah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status