“Assalamualaikum anak papa. Apa kabar semuanya? Bagaimana dengan sekolahnya hari ini?” Mas Lukman langsung menghampiri anak-anaknya sambil menciumnya secara bergiliran.Aku merasa cemburu. Aku merasa iri. Kenapa bukan anak-anak yang lahir dari rahimku yang mendapatkan perlakuan seperti itu?Lukman memang laki-laki yang baik dan sempurna. Pasti dia mendapatkan wanita yang baik juga. Apa mungkin Tuhan memintaku untuk memperbaiki diri agar bisa mendapatkan laki-laki sehebat Mas Lukman?“Papa kemana saja? Kenapa sudah beberapa hari ini tidak pulang?” protes anak perempuan yang paling besar.“Papa masih ada urusan di sekolah dan diluar, Nak. Kalian sudah makan?” Mas Lukman menjelaskan pada anaknya tanpa berbohong.Dia benar-benar meladeni anaknya. Padahal, kebanyakan orang tua saat ini malas melayani anak mereka, kan? Saat anak-anak mereka bertanya, mereka akan menjawab asal-asalan. Yang lebih parahnya lagi, ada orang tua yang malah mengusir anaknya, menyuruh mereka pergi karena dianggap m
Setelah Mas Lukman pergi, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku harus sudah pergi sebelum kantor ini dipenuhi para karyawan. Tidak enak juga rasanya jika aku berada di sini, takut jadi fitnah bagi Mas Lukman.Namun, belum selesai aku mengganti pakaian setelah mandi, pintu kamarku sudah diketok seseorang.Eh, apakah itu Mas Lukman? Tapi, kenapa dia tidak mengucapkan salam.Karena pintu terus diketok dan makin hari makin keras, aku bergegas menggunakan baju dan mengambil jilbab langsung yang memang kuletakkan di tempat yang mudah kuraih.“Sebentar,” ucapku sambil tergopoh-gopoh membuka pintu.Namun, saat sekat itu terbuka, aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada seorang ibu paruh baya yang rambutnya sudah tampak memutih.Dia memandangku dengan teliti dari atas sampai ke bawah.“Kamu yang bernama Wulan?” tanyanya dengan nada yang menurutku tidak terlalu bersahabat. Sebab, tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya.Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. Dengan sedikit gugup, aku b
“Tia, itu kan, baju baru Kakak? Kenapa kamu pakai?” Aku langsung menghampiri Tia yang akan pergi ke undangan dengan baju batik yang baru kubeli beberapa hari yang lalu.“Iya, pinjam,” jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku. Dia tetap sibuk dengan gadget di tangannya.“Tapi, baju itu mau Kakak pakai untuk acara nikahan teman Kakak minggu depan.”“Ya, nggak papa, kan, Tia pinjam dulu. Acaranya kan, Minggu depan.”Astagfirullah. Aku mencoba menarik napas panjang agar bisa lebih tenang.“Tapi, nggak gitu juga Tia. Kamu kan, bisa pakai baju Kakak yang lainnya. Kakak kan, malu kalau pakai baju yang sudah kamu pakai.”“Kok, Kakak pelit banget, sih.” Tia mencak-mencak masuk ke kamar. Dia juga menutup pintu kamar dengan keras sehingga menimbulkan bunyi degum yang besar.“Ada apa? Kenapa rumah seperti kena gempa?" Ibu menghampiriku.“Ti ....” “Kakak Wulan pelit, Bu. Masa aku nggak boleh pinjam bajunya.” Belum selesai aku bicara, Tia sudah ada di depan pintu kamarnya dengan wajah jutek dan m
Aku kembali beristigfar berkali-kali sampai lupa kalau video yang kuambil tidak terekam dengan benar karena memori HP-ku ternyata penuh.“Yah, tidak punya bukti deh, kalau begini,” keluhku pada diri sendiri.Karena merasa bingung, aku berusaha memecahkan berbagai pertanyaan di kepalaku, aku merangkak keluar lemari.Setelah menghirup udara yang lebih banyak, aku merasa lebih baik. Meskipun, pikiranku masih buntu.“Ya Allah , kira-kira apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Tia itu anaknya pendiam, tidak banyak omong. Tapi, kenapa dia bisa berbicara seperti itu?”Aku mencoba menebak-nebak apa yang terjadi antara Tia dan Bang Udin. Memang, aku pernah membaca kisah cinta segitiga antara kakak beradik. Namun, dalam cerita yang biasa kubaca di sosmed, umur mereka tidak jauh berbeda. Berbeda dengan Tia, kan? Dia baru berumur tujuh belas tahun. Kalau memang dia jatuh cinta, kenapa tidak dengan teman sebayanya? Coba, apa kelebihan Bang Udin? Kulitnya gelap, tampangnya sangar. Dia juga tidak r
“Astagfirullah.” Aku terperanjat saat kucing di hadapanku menyambar makanan yang ada di tanganku. Untungnya, aku tidak berteriak.Karena gemetaran, langsung saja kutinggalkan makanan kucing itu di tanah.Dengan tangan yang masih gemetar, aku melajukan motor secara perlahan.“Astagfirullah, maaf, Bu.” Aku hampir saja menabrak ibu pejalan kaki saking tidak fokusnya.Pikiranku terus dipenuhi banyak pertanyaan. Aku juga mulai yakin kalau Tia dan Bang Udin sudah melakukan perbuatan tidak senonoh. “Namun, kenapa Tia memberikan uang yang dia curi ke Bang Udin?” Aku kembali berbicara pada diri sendiri seperti orang gila.Setibanya di rumah, aku langsung minum air putih yang banyak.Ya Allah, apakah ini nyata? Sungguh, aku tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar.Tia anak yang baik, tidak pernah sekali pun dia buat masalah selama ini. “Assalamualaikum.” Aku menoleh pada sumber suara.“Tia?”“Iya, Kak. Kok, kayak orang lihat setan gitu? Kan, Tia baru pulang sekolah.”Aku mengamati
“Wulan, tadi kamu dicari sama nenekmu.” Suara ibu bikin aku terlonjak.“Astagfirullah,” ucapku hampir berteriak.“Kenapa sih, Lan?” Kak Dina tiba-tiba muncul di belakang ibu. “Kok, pakai teriak segala? Ibu hanya bilang kalau nenek mencarimu. Nenek bilang, ‘mentang-mentang sudah sarjana jadi sibuk sekali hingga tidak sempat menjenguk nenek.’” Kak Dina menyampaikannya dengan logat seolah-olah nenek benar-benar marah padaku. Matanya melotot melihatku, mulutnya monyong, dan wajahnya benar-benar cemberut.“Iya, Bu, nanti malam aku ke sana,” jawabku sambil mencoba menetralkan perasaanku.Beberapa hari ini, dari pagi sampai sore, Kak Dina dan ibu terus ke rumah nenek. Mereka membantu keluarga di sana. Minggu besok rencananya mau ada acara syukuran atas lahirnya cicit nenek yang pertama.“Tia nggak ikut ya, Bu. Lagi banyak tugas, nih.” Tia tiba-tiba muncul dari depan kamarnya dan bikin aku kaget lagi. “Nih, tadi coba memahami tugas bahasa inggris, mumet banget.” Tia memperlihatkan HP-nya pada
Tia diadili. Malam itu, kami akhirnya tidak jadi berangkat setelah salat magrib.Setelah wali kelas Tia pulang, ibu memutuskan untuk menunggu Tia. Aku dan Kak Dina pun memutuskan untuk ikut berkumpul di ruang tamu menemani ibu.Tidak lama kemudian, anak itu benar-benar muncul. Dia dengan santainya masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam.Namun, Kak Dina tidak bisa menahan amarahnya. Dia langsung melayangkan sebuah tamparan di pipi mulus Tia.“Ke mana saja kamu selama dua minggu ini sampai tidak masuk sekolah? Sudah hebat kamu, ya? Sudah pandai bolos kamu, ya? Kamu kira hidup tanpa sekolah enak? Mau jadi apa kamu nantinya? Mau jadi gembel, pelacur?” Kak Dina meluapkan emosinya dengan membabi buta. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.Melihat Kak Dina ingin maju lagi, aku menarik Kak Dina. “Istighfar, Kak! Anak-anak melihatmu. Perilaku Kakak akan jadi contoh buat mereka.”Namun, Kak Dina tetap kekeh ingin melampiaskan emosinya. “Sudah, Kak.” Kali ini aku mencoba untuk sedikit
“A—a—apa yang.” Sulit sekali menyelesaikan kalimat yang ada di mulutku. Tenggorokanku tiba-tiba mendadak kering. Kepalaku langsung pusing. Tuhan, apa yang kulihat di depan mataku ini? Kenapa Tia bisa melakukan perbuatan laknat ini?Tuhan, selama ini, aku hanya membaca berita di gadget atau menonton di televisi. Lalu, sekarang?Setelah beristigfar berkali-kali di dalam hati dan menarik napas perlahan, aku baru bisa menguasai diri. “Apa yang kalian lakukan?”Keduanya saling berpandangan. Aku terisak lagi. Entah mengapa rasa marah, kesal, dan tidak percaya di dalam hati bikin aku ingin menangis meraung-raung.“Tia, Bang Udin, apa yang kalian lakukan? Kalian telah berzina!” Kalimat itu sengaja aku keluarkan agar mereka sadar dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. “Kalian akan mendapatkan dosa besar kalau sampai benar-benar melakukan perkara haram ini. Bahkan kalian bisa diarak keliling kampung. Dan kamu Tia. Kamu bisa hamil dan berhenti sekolah.”Sesak kembali memenuhi dadaku. Baga