Share

6. Tamu Tak Diundang

"Pedang ini asli," kata tamu itu.

"Mustahil! Sir Milan adalah saksi mata pada waktu pemakaman mendiang raja," Sir Armand bersikeras tak bisa mempercayai kenyataan itu.

"Ya. Sesuai wasiat Raja Pantheron August II, beliau menginginkan pedang ini untuk dibawa ke alam kubur," lanjut tamu itu lagi.

"Perdebatan sengit terjadi diantara kaum bangsawan saat itu, terutama dari kalangan militer melawan bangsawan keluarga kerajaan yang menjunjung tinggi protokol."

"Maksudnya?" sela Count Armand.

"Berdasarkan tradisi pemakaman raja-raja sebelumnya, jenazah raja akan dikuburkan bersama pedang kesayangannya atau pedang yang berharga. Tidak pernah ada raja yg dikuburkan dengan membawa pedang yang rusak," terang orang itu sambil melepas kerudungnya. "Kalangan militer sangat terharu dengan wasiat raja, yang memang sangat dihormati oleh kalangan militer itu. Dari sisi berlawanan, kaum bangsawan sangat menentang hal itu."

"Cedric dengan senang hati mempersembahkan pedang tersebut. Sir Milan sendiri yang menyerahkan pedang itu kepada Sir Albus Clementine, bangsawan terhormat dan terpercaya keluarga Kerajaan, dan beliau juga diakui kalangan militer. Beliau bersumpah telah menyelesaikan tugasnya dengan baik terkait pemakaman agung kerajaan," sergah Count Armand, itu menjelaskan tentang kejadian yang diketahuinya.

"Bila benar pedang ini asli yang pernah digunakan Cedric pada perang penyatuan sepuluh tahun lalu, seseorang pasti berbohong, atau ada yang berani bertindak kurang ajar, menodai makam mendiang raja," Hector menyela ucapan Count Armand.

"Pertanyaannya siapa yang berbohong saat itu? Sepertinya kita harus mengunjungi ibukota dan menemui seseorang," desah Count Armand.

"Tidak bisa! Kau mau membuat konflik terbuka dengan keluarga Clementine?" seru orang berkerudung itu.

"Aku jamin ini pedang asli yang digunakan Cedric untuk mengalahkan Jaeger, sang panglima perang dari Hurl timur. Sedangkan bagaimana dan mengapa pedang ini ada disini, aku tidak bisa menjawabnya," Tamu itu mengembalikan pedang itu pada kotak penyimpananya.

"Sampai segala sesuatunya menjadi jelas, jangan ada yang gegabah, membocorkan ini keluar atau menghubungi keluarga kerajaan. Terutama Jendral Cedric, belum saatnya dia melihat pedang ini," tambah tamu itu.

Count Armand menatap mata Hector, dan didalamnya dia mendapat keyakinan, bahwa rahasia itu akan dibawanya sampai mati. Sedangkan dirinya sendiri, merasa gelisah karena dihadapkan pada pilihan sulit.

Haruskah dia mengubur pedang itu, melupakannya, hidup tenang dan tutup mulut selamanya. Atau memberikan pedang itu pada Cedric, menceritakan apa yang telah terjadi, dan hidup menanggung beban bersama sahabat dan kawan seperjuangannya itu dalam menghadapi permasalahan yang dimunculkan pedang itu.

"Fenix, terima kasih banyak atas waktu dan keteranganmu," Count Armand menjabat tangan pria berkerudung itu.

"Tidak masalah, aku senang bisa membantu. Namun, sesuai perjanjian awal, tolong rahasiakan kedatanganku dirumah ini," sambutnya.

"Pasti. Peristiwa hari ini tidak akan pernah keluar dari rumah ini," Armand meyakinkan tamunya itu.

"Oh ... sebentar-sebentar ... bagaimana kau yakin kalo pedang ini asli? sergah Count Armand. "Sir Milan saja tidak berani memastikan keaslian pedang ini," Diambilnya lagi pedang itu, benda yang sudah membuatnya susah tidur selama beberapa hari terakhir.

"Siapapun yang melihat claymore patah dengan simbol keluarga Cossack, pasti akan langsung teringat peristiwa itu. Pedang seperti ini pasti ada beberapa yang tersisa kalau mau mencari di tempat lelang atau toko senjata terkenal, dan mudah saja bagi seorang ahli untuk mematahkannya. Apa kau benar-benar yakin ini asli?" Count Armand tiba-tiba mereka kesal. Percuma dia mengkhawatirkan hal yang cuma berdasar asumsi.

"Ini memang asli. Aku memiliki metode khusus untuk memastikan keaslian pedang ini. Aku dijuluki Fenix si tahu segalanya bukan tanpa alasan," elaknya dengan elegan.

"Sebagai ketua persaudaraan prajurit bayaran dan serikat informasi bawah tanah, aku memang belum tau alasan dan penyebab kemunculan pedang ini, tapi kupastikan aku akan segera tau. Mengenai keaslian pedang ini, hanya tiga orang yang bisa memastikannya. Cedric, Sven si raja perang, dan aku," tegasnya.

Sir Armand terdiam mendengar itu. Tak mungkin dia bertanya pada Cedric. Lebih tak mungkin lagi bertanya pada Raja Sven, bisa hilang seketika kepalanya bila membahas salah satu aib bagi raja perang yang kejam itu. Satu-satunya cara yang tersisa adalah keterangan orang ini. "Apa aku harus percaya pada orang misterius ini?" batinnya.

"Baiklah ... kau membayar mahal untuk jasaku. Berjanjilah apapun yang terjadi jangan ada informasi yang keluar dari kamar ini," Fenix mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya dan memberikannya pada Hector.

Hector menerimanya, lalu menyambungkan bekas patahan pedang dengan pedang yang digenggam Count Armand. "Benar-benar cocok. Patahannya tersambung sempurna, seakan-akan ini adalah pedang yang utuh!"

Wajah bulat tuan rumah tampak semakin pucat. Kepalanya terasa pusing dengan pandangan yang mulai berkunang-kunang, serta dadanya mulai terasa sesak. Akhirnya dia memilih duduk di kursi untuk menenangkan dirinya.

"Patahan pedang itu milik Jaeger! dia memberikannya padaku, karena dia tidak membutuhkan itu lagi," cetus Fenix.

"Jaeger seharusnya dieksekusi akibat kekalahannya itu. Dia diselamatkan oleh Raja Sven itu sendiri. Raja kejam itu rupanya masih punya hati. Jaeger sekarang sudah hidup damai bersamaku," Fenix menatap tajam wajah Count Armand, yang tampak semakin pucat dan berkeringat dingin.

"Meskipun hidup damai, dia masih ingat caranya menggunakan senjata," Fenix tersenyum saat melihat keringat di wajah bulat walikota itu.

"Baiklah, aku simpan bagianku, dan kau simpan bagianmu," Fenix menyimpan kembali potongan pedang yang patah itu di balik jubahnya. "Dan buanglah apa yang tak perlu kau simpan."

*

"Penyusup! … tolong … ada pencuri," sayup sayup terdengar suara gadis berteriak.

Jovan yang mendengar suara itu langsung berlari menuju arah suara tersebut. Disaat bersamaan, Durant si kepala pelayan, yang berjaga didepan ruang rahasia langsung melesat sambil menarik pedang panjangnya.

Jovan tiba ditempat pelayan itu berada. Gadis itu pingsan sambil memeluk sebuah buntalan besar. Jovan memeriksa isi buntalan itu, kemudian memeriksa keadaan gadis itu. Hatinya sedikit berdesir ketika melihat wajah manis dihadapannya.

Dengan lembut dia meraba belakang kepalanya, memastikan tidak ada luka berbahaya yang mengancam jiwa.

"Hanya memar, sepertinya dia dipukul dari belakang," gumamnya. "Apa maksud dari semua ini?" Dibongkarnya isi dari buntalan itu, dan diperiksanya dengan teliti. Jovan mencari benda yang terlihat mencurigakan dan membahayakan diantara tumpukan pakaian wanita dalam buntalan itu.

"Hm … tali-tali apa ini sebenarnya? Apakah ini alat untuk mencekik dan menyiksa?"

Jovan merentangkan sebuah kutang wanita, dan tak sengaja membayangkan kegunaan benda itu untuk mencekik.

"Pas benar dikepala manusia, pasti susah bernafas bila kepala dibungkus dengan benda ini," Sekedar iseng, Jovan mencoba mempraktekkan imajinasinya itu ke gadis pelayan yang pingsan disampingnya.

Durant tiba dan melihat Jovan yang tampak akan mencelakai gadis itu. Kesalahpahaman langsung terjadi saat itu juga. Suasana yang samar-samar membuat mereka berdua tidak bisa saling mengenali.

Durant mengambil inisiatif untuk langsung menyerang dan berusaha menyelesaikan perkelahian ini secepatnya. Dia tidak ingin meninggalkan tempatnya berjaga terlalu lama. Tamu tuannya kali ini terasa sangat berbahaya dan mencurigakan, dan tuannya berada di ruangan itu bersama seseorang yang tidak bisa diandalkan.

Jovan bertahan dengan baik dari serangan Durant. Ketika Durant menambah intensitas serangnya, Jovan mulai terdesak mundur. Jovan tidak pernah menduga bahwa lawannya adalah kepala pelayan yang ahli pedang. Jovan semakin terdesak dan mulai terluka dibeberapa tempat.

"Dasar bandit!" umpat Jovan dan terus menyerang sekuat tenaga, untuk memukul mundur musuhnya. Seketika angin berhembus dan menyibak gorden, sekilas Jovan melihat siapa musuhnya. Kaki dan tangan yang panjang, terutama wajah panjang nan dingin dan selalu datar itu sangat dikenalnya. Penuh emosi, Jovan membentak pria itu. "Dimana Count Armand!"

Durant masih belum mengenali lawannya. Dia menduga bahwa sasaran penyusup ini adalah tuan yang dilindunginya, maka dia semakin mempertajam serangan pedangnya.

Serangannya kali ini benar-benar serangan ke titik vital yang mematikan. Tebasan dan tusukan dengan niat membunuh.

Jovan semakin terdesak, dan memaksakan dirinya lebih keras lagi untuk menangkis serangan musuhnya. Dari lima serangan, Jovan hanya bisa menangkis dan menahan dua atau tiga serangan. Pertarungan itu berlangsung semakin berat sebelah dan Jovan semakin banyak menerima luka.

Jovan merasa tak sanggup lagi memegang pedang. Tubuhnya sudah lelah, dan tak sanggup lagi menerima luka. Tangannya gemetar ketika dia mencoba mengangkat pedang. Dalam hati dia mengutuk semua kebodohannya karena meninggalkan zirah dan perisainya.

"Tak kusangka, aku yang bertahan hidup di pos neraka, akan berakhir di pos surgawi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status