Rayden berdiri di dekat ranjang rumah sakit, kedua tangannya bersilang di dada. Sorot matanya dingin, seperti biasa. Tapi kalimat yang keluar dari mulutnya kali ini terasa jauh lebih tajam dari biasanya.
"Sebaiknya kamu tidak melakukan apa-apa lagi. Semua usahamu... hanya membuatmu tampak seperti badut yang menyedihkan." Ironi dalam nada suaranya begitu kentara, dan menusuk lebih dalam dari pisau bedah. Alana terdiam. Ia memang tidak mencintainya. Tapi saat Rayden mengucapkan kalimat itu dengan tatapan seolah dirinya tak lebih dari sampah yang mengganggu pandangan, hatinya terasa nyeri, entah karena sakit hati atau sekadar rasa muak yang tertumpuk. Sekilas, kenangan dari seorang wanita terlintas, bagai film yang terbuat di kepalanya. Dan, Alana kini sadar, itu pasti kenangan dari si pemilik tubuh yang asli. Ia menggenggam dadanya, menatap Rayden dengan sorot terluka yang perlahan berubah jadi tajam. "Jangan banyak tingkah. Memangnya siapa kamu?" Ia bukan Mikayla. Ia tidak akan merengek, merendah, atau mengemis perhatian dari pria itu. Rayden memicingkan mata. Jelas ia tidak menyangka akan mendapat balasan seperti itu, Mikayla biasanya selalu diam, selalu memohon. Tidak pernah sekalipun melawan. "Kamu bilang apa?" ucapnya dengan suara menahan emosi. Ia mendekat. Namun yang berdiri di depannya sekarang bukan lagi wanita yang ia anggap lemah dan bodoh. Ada jarak tak terlihat di antara mereka, seolah Mikayla yang dulu telah menghilang, digantikan oleh sosok asing yang menatapnya tanpa rasa takut. "Mikayla, dengar baik-baik. Jangan mengada-ada di depan mataku." Alana nyaris membuka mulut untuk membalas, tapi suara pintu terbuka memotong suasana tegang itu. Nita masuk, bersama seorang pria muda berseragam dokter, tampan, dengan wajah ceria yang terlalu kontras dengan atmosfer di dalam kamar. "Wah, kakak ipar ternyata masih bisa naik darah, hebat!" ucap dokter itu dengan senyum lebar, memandangi Alana seolah sedang menonton drama favoritnya. Alana mengerutkan dahi. "Kakak ipar?" Ia melirik tajam. “Jangan asal bicara!” Dokter itu malah tertawa, “Wah, Kak Rayden, kalau tiap minggu harus ke rumah sakit begini, bagaimana kalau kalian langsung pindah saja ke sini?” Rayden mendengus malas. “Ayah sedang sibuk mencarikan istri untukmu, sebaiknya jaga sikap.” Dokter, Dion, menatap kakaknya dengan ekspresi pura-pura polos. "Eh, baiklah, tapi, serius, kukira ini sesi improvisasi teatrikal. Kalian berdua sudah seperti aktor utama drama pendek yang sekarang lagi ngetrend itu." Lalu ia mendekati Alana dan mulai memeriksa kondisinya sambil terus berceloteh. "Kondisimu sudah membaik. Tapi karena sempat ada cairan masuk ke paru-paru, ada potensi infeksi. Aku sarankan kamu jangan pulang dulu... kecuali kamu ingin kami buatkan ruangan VIP langganan." Alana menyipitkan mata. “Kamu dokter atau sales kamar rumah sakit?” Dion tersenyum lebar. “Kenapa tidak keduanya? Aku jujur, loh. Kalau kamu mau jatuh dari lantai dua, atau lompat ke danau penuh lintah, atau coba overdosis obat, aku punya paket diskon 20 persen untuk pasien tetap!” "Kau gila!" "Hahaha, makasih! Tapi belum selevel pasien-pasienku yang bicara sendiri dengan lampu operasi." Alana diam, dia sudah malas menggubris ucapan itu. Dion menghindar dengan gaya dramatis, lalu menoleh ke Rayden. “Kakak, yakin mau bawa dia pulang? Kalau kakek tahu, bisa-bisa kamu disuruh tidur di kandang anjing.” "Biarkan saja dia pulang." Dion menaikkan alis. “Yakin? Siap mental kalau drama lanjut di rumah?” Rayden melotot. “Keluar, Dion.” "Baiklah, baiklah. Lanjutkan romansa horor kalian." Ia berjalan ke pintu dan melirik ke Alana sambil menutup pintu. “Tawaran diskonnya berlaku sepanjang bulan!” Setelah pintu tertutup, suasana kamar kembali sunyi, dingin. Alana menatap Rayden. Lelaki itu juga diam. Keduanya akhirnya pulang ke rumah keluarga Mu. Selama perjalanan, tak ada sepatah kata pun terlontar. Alana tak berani terlalu banyak bicara, bukan karena takut, tapi karena ia harus menjaga identitasnya. Ia bukan Mikayla. Dan ia ingin segera keluar dari kekacauan ini, cerai dengan pria yang tak di kenalnya itu, lalu pergi. Namun saat matanya bertemu dengan tatapan Rayden, Alana tercekat. Tatapan itu... seolah familiar. Ada sesuatu yang membuatnya sesak. “Suamiku...,” kata Alana tiba-tiba, sambil terkekeh kecil. “Suamiku!” “Ziiitt!” Supir tiba-tiba menginjak rem, kaget mendengar Alana yang menyebut Rayden dengan begitu manja. Ia menoleh ke kaca spion, refleks menatap Rayden yang kini berwajah sekelam langit mendung. “Lanjut,” desis Rayden. Supir buru-buru memacu mobil lagi. Alana membeku. Tangan dan kakinya dingin. Ia melirik ke arah Rayden, yang kini menatapnya seperti menilai benda asing. Mereka sampai di rumah keluarga Naratama. Supir turun, tak menggubris Alana sama sekali. “Bawa nyonya muda masuk ke dalam rumah?” tegur seorang wanita tua, Pengurus rumah, pada Nita. “Nyonya muda, mari masuk,” kata Nita cepat-cepat sambil mengangkat koper. Alana mengikuti, melangkah masuk ke rumah yang jauh lebih mewah dari rumah keluarga Hartawan. Di dalam, aroma kekuasaan dan kesendirian terasa menekan. Rumah sebesar ini, tapi dingin. Kosong. Sepi. Setelah sampai di kamar, Nita berkata, “Nyonya muda, istirahatlah dulu. Kalau butuh bantuan, panggil saja saya.” Begitu Nita pergi, Alana memejamkan mata. Kamar ini terlalu tenang. Terlalu sunyi. Ia merasa tubuhnya seperti bukan miliknya. Perasaan itu kembali datang, perasaan aneh, seolah jiwanya belum sepenuhnya menyatu dengan tubuh ini. Lalu... suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. Rayden masuk, menggenggam selembar kertas. Alana mundur satu langkah. Rayden tersenyum, tipis, dingin, menghina. Dengan keras, ia menendang pintu hingga terbanting. Alana terlonjak. Rayden melemparkan kertas itu tepat ke wajahnya. “Tandatangan.” Kertas itu menghantam wajah Alana. Ia menghela napas, membungkuk dan mengambil kertas yang terjatuh. Matanya membelalak saat membaca judulnya. Surat Pernyataan Cerai. Ia membaca cepat beberapa baris, lalu menatap Rayden sambil tersenyum sinis. “Kamu mau cerai denganku?” Tanpa menunggu jawaban, Alana memandangi isi surat itu lebih teliti. Rumit. Terlalu rinci. Setiap hal yang terjadi setelah pernikahan tercatat dengan sangat teliti di sana. Ia nyaris ingin memuji ketelitian Rayden, namun rasa sakit di dadanya lebih kuat dari kekaguman. Hatinya seperti tersayat, di iris dengan pisau tumpul, di paksa untuk berdarah. Rayden memang pengusaha sejati, selalu menghitung keuntungan, bahkan saat menceraikan istrinya. Namun yang membuatnya bingung adalah perasaannya sendiri. Sakit ini… apakah milik Mikayla? Alana menarik napas panjang, mencoba menetralkan ketegangan. Ia tak ingin gegabah. Rayden menatapnya, mengambil surat itu kembali dari tangannya. Ia menatap wanita di depannya dengan rasa asing. Dulu, Mikayla pasti sudah menangis, berteriak, menyebut-nyebut nama ayahnya. Tapi hari ini, dia hanya diam. Terlalu tenang. Terlalu berbeda. "Segera tandatangani. Semua ketentuan di surat akan kutepati," ucap Rayden datar. "Ah," Alana tertawa pelan, meremas kertas itu. "Tuan Rayden, kamu sungguh perhitungan." Rayden menyeringai. “Tak mau tanda tangan?” “Mikayla, isi surat itu sangat menguntungkanmu.” “Iya, sangat menguntungkan,” sahut Alana sambil tertawa kecil. “Setelah cerai aku dapat 20 miliar. Ternyata, harga diriku hanya segitu, ya?” Tatapannya menusuk. “Tuan Rayden memang dermawan.” “Kamu merasa itu tidak cukup?” “Jika aku benar-benar Mikayla, mungkin cukup. Tapi aku adalah istri Rayden Naratama. Hanya 20 miliar? Itu terlalu sedikit.” Alana memang ingin bercerai dan segera pergi. Tapi, entah kenapa, seolah ada di dalam dirinya saat ini yang tidak ingin melepaskan pria itu. Mungkinkah, istri pria itu masih hidup di dalam tubuh itu?Saat para karyawan memuji penampilan Fanny dalam balutan gaun itu, Alana ikut melontarkan komentar.“Meskipun Nona Fanny sudah cantik dari awal,” ucap Alana pelan dengan senyum tipis, “tapi saat mengenakan gaun itu, kecantikannya terlihat lebih bersinar.”Ruangan mendadak sunyi. Para karyawan saling pandang, Fanny sempat terdiam sesaat. Senyumnya yang semula tenang berubah sedikit kaku. Namun ia cepat menguasai diri dan menanggapinya dengan sikap anggun.“Desain gaun ini memang luar biasa,” balas Fanny sambil membetulkan letak gaun di pinggangnya. “Karya desainer Yunita, kualitasnya tidak diragukan.”Alana terkekeh kecil. Tawa tipis yang terdengar seperti ironi, bukan pujian.“Apa maksudmu tertawa seperti itu?” tanya Lissa dengan nada tajam, matanya melotot penuh rasa tidak suka. “Kak Fanny tidak salah. Ini gaun rancangan desainer idolaku! Tidak semua orang pantas memakainya, apalagi kamu, Mikayla. Jangan mempermalukan diri sendiri di sini.”Alana hanya menatapnya dingin. Tatapannya t
Saat Alana melangkah masuk ke butik A&H, seisi ruangan sontak memperhatikannya. Penampilannya sederhana, tanpa riasan mencolok dan pakaian yang jauh dari kemewahan membuat beberapa pegawai saling berpandangan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan riasan tebal dan senyum palsu, segera menyambutnya.“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, datar.Namun setelah melihat Alana hanya berdiri diam sambil mengamati sekeliling butik tanpa langsung menyentuh barang apa pun, nada suaranya berubah menjadi tajam.“Kalau hanya melihat-lihat, jangan berdiri dekat pintu. Mengganggu pelanggan lain lewat saja!”Nada bicara pegawai itu terdengar tidak sabar, seolah keberadaan Alana benar-benar mengganggu pemandangan di butik mewah itu. Matanya menyipit menilai penampilan Alana dari atas sampai bawah, seperti sedang menimbang harga diri seseorang dari harga pakaian yang dikenakannya.Alana masih diam. Ia tidak tersinggung. Matanya menelusuri interior butik dengan tenang. Lampu gantu
Alana menatap sejenak, lalu berdiri dan meninggalkan rumah keluarga Naratama tanpa sepatah kata pun. Lissa, yang menyaksikan kejadian itu, hanya mengangkat sudut bibirnya, tampak tak peduli pada sikap Rayden. Justru perhatiannya kini tertuju pada Alana. Sambil menyipitkan mata, ia memainkan pisau dan garpu di atas meja, menatap Alana dengan penuh selidik. Tidak seperti biasanya, Alana tidak meladeni pertengkaran. Hal itu justru membuat Lissa merasa tidak nyaman. “Mikayla, terakhir lompat dari gedung, sekarang lompat ke sungai. Banyak sekali dramamu! Tapi bagaimanapun, kakakku tetap takkan pernah menganggapmu.” Alana menatap Lissa dengan datar. Ia tahu adik iparnya ini memang senang merendahkan Mikayla. “Kalau begitu kamu salah. Kakakmu bukan hanya pernah menganggapku, tapi berkali-kali.” “Kamu...!” Lissa memukul meja, emosinya meluap. “Aku belum pernah melihat perempuan segila dan se-tidak tahu malu sepertimu! Sudah tahu kakakku tidak menyukaimu, masih saja terus mengejarnya. A
Begitu selesai bicara, Alana menepis tangan Rayden dengan kasar. Lalu, memanfaatkan kelengahan Rayden, ia menendang lutut pria itu sekuat tenaga. Rayden mengerang pelan, ekspresinya berubah kaku, alisnya menyempit tajam. Tapi sebelum dia sempat bereaksi, Alana sudah menarik selimut dan melompat turun dari ranjang dengan cepat. Ia bersiap kabur demi menyelamatkan diri. Tingkah laku kekanak-kanakan Alana membuat Rayden semakin geram. Apa dia pikir dengan turun dari tempat tidur masalah bisa selesai? Naif. Atau mungkin… bodoh? Namun, serangkaian tindakan Alana malam itu membuat Rayden kebingungan. Jika tadi pagi Alana masih bersikap aneh, kini sikapnya seperti orang yang benar-benar berbeda. Sorot matanya, ekspresinya, semuanya asing. Sudah dua tahun mereka menikah, tidur di kamar yang sama. Tapi Rayden tak pernah menyentuh Mikayla. Biasanya, Mikayla yang selalu memulai, dengan penuh rasa haus dan tanpa malu, meskipun selalu ia tolak. Tapi malam ini berbeda, wanita ini seperti ingin
Alana menunjuk surat itu. “Kalau Kau ingin aku tanda tangan, aku tak minta setengah dari warisanmu, kalau kau setuju, akan langsung aku tanda tangan.”“Setengah dari warisanku?” Rayden menatap tajam, nadanya mengejek. “Kalau kau tanda tangan sekarang, kau dapat 20 miliar. Kalau banyak bicara, kau tak akan dapat sepeser pun.”Ia melangkah maju, mencengkeram dagu Alana dan menatapnya tajam. “Mengerti?”Alana menahan sakit, tapi tak menunjukkan rasa takut di wajahnya.“Aku tidak mengerti,” jawabnya datar. “Tak ada yang semudah itu. Kalau kau ingin bercerai, lakukan dengan cara yang benar. Setidaknya… dengan harga yang pantas.”Ia melepaskan cengkeraman Rayden dan mundur selangkah.Jadi hanya itu tujuan Rayden datang, membahas perceraian, lalu pergi?Lucu. Ia bukan Mikayla, pemilik tubuh yang lemah. Ia Alana, dan ia tak akan membiarkan dirinya diinjak-injak.“Setengah dari warisanmu akan memberikanmu kebebasan, Tuan Rayden. Dan aku rasa aku pantas mendapatkannya.”Wajah Rayden memerah. Ia
Rayden berdiri di dekat ranjang rumah sakit, kedua tangannya bersilang di dada. Sorot matanya dingin, seperti biasa. Tapi kalimat yang keluar dari mulutnya kali ini terasa jauh lebih tajam dari biasanya. "Sebaiknya kamu tidak melakukan apa-apa lagi. Semua usahamu... hanya membuatmu tampak seperti badut yang menyedihkan." Ironi dalam nada suaranya begitu kentara, dan menusuk lebih dalam dari pisau bedah. Alana terdiam. Ia memang tidak mencintainya. Tapi saat Rayden mengucapkan kalimat itu dengan tatapan seolah dirinya tak lebih dari sampah yang mengganggu pandangan, hatinya terasa nyeri, entah karena sakit hati atau sekadar rasa muak yang tertumpuk. Sekilas, kenangan dari seorang wanita terlintas, bagai film yang terbuat di kepalanya. Dan, Alana kini sadar, itu pasti kenangan dari si pemilik tubuh yang asli. Ia menggenggam dadanya, menatap Rayden dengan sorot terluka yang perlahan berubah jadi tajam. "Jangan banyak tingkah. Memangnya siapa kamu?" Ia bukan Mikayla. Ia tidak akan