MasukMendengar suara itu, Harris tidak tersentak. Dia hanya menoleh perlahan, matanya yang kini jernih dan tajam bertemu dengan tatapan dingin wanita itu. Di masa lalu, komentar sarkastis seperti itu akan membuatnya menunduk malu. Kini, dia hanya merasakan ketenangan yang aneh.
Pengetahuan yang membanjiri benaknya telah mengubah bukan hanya tubuhnya, tetapi juga cara dia memandang dunia. Dia bisa melihat ketegangan tipis di bahu Queen, tarikan napasnya yang terkontrol, dan aura ambisi sedingin es yang mengelilinginya.
Dia duduk tegak di ranjang, seprai sutra yang mahal bergeser tanpa suara. "Kecoak bertahan hidup," balas Harris, suaranya masih sedikit serak tetapi mantap. "Aku tidak hanya bertahan. Aku akan berkembang biak."
Queen berhenti di tengah ruangan, sedikit terkejut oleh respons yang tidak terduga itu. Dia mengharapkan seorang pria yang hancur dan berterima kasih, bukan seseorang yang balas menatapnya dengan percikan pemberontakan di matanya. Dia menyembunyikan keterkejutannya dengan baik, wajah mulusnya tetap tanpa ekspresi.
"Baguslah kalau begitu," katanya sambil berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman yang basah oleh hujan. "Karena aku tidak menyelamatkanmu untuk melihatmu merengek. Anggap saja ini investasi."
"Investasi?" tanya Harris, nadanya tenang, mengundang penjelasan.
"Kakekku, Hardi Hendrawan, dan kakekmu, Devin Gunawan, adalah sahabat lama," Queen mulai menjelaskan, tatapannya menerawang ke luar jendela. "Sebelum mereka meninggal, mereka membuat perjanjian bodoh, cucu-cucu mereka akan dinikahkan untuk menyatukan kekuatan medis keluarga Gunawan dan kekuatan finansial keluarga Hendrawan."
Dia berbalik, menatap Harris dengan intensitas seorang CEO yang sedang menilai aset. "Liontin giok itu adalah buktinya. Aku menyelamatkanmu karena liontin itu membuktikan siapa dirimu. Setidaknya, siapa dirimu ‘dulu’."
Harris tetap diam, membiarkannya melanjutkan. Setiap kata yang keluar dari mulut Queen adalah kepingan teka-teki dari kehidupannya yang tidak pernah ia ketahui.
"Keluargaku," lanjut Queen dengan sedikit nada pahit, "Terdiri dari sekumpulan serigala tua yang tidak sabar untuk menjualku kepada penawar tertinggi demi memperluas pengaruh mereka. Mereka menekanku untuk menikah. Dengan memiliki tunangan—pewaris sah dari keluarga Gunawan yang legendaris—aku bisa membungkam mereka untuk sementara waktu."
Dia berhenti sejenak, seolah menimbang kata-katanya. "Ini adalah transaksi, Harris. Kau butuh tempat untuk pulih, sumber daya untuk membalas dendam pada pasangan pengkhianat itu. Aku bisa memberimu semua itu—uang, informasi, koneksi. Sebagai gantinya, kau akan memainkan peranmu sebagai tunanganku. Kau akan menjadi perisaiku."
Sebuah tawaran yang menggiurkan bagi siapa pun yang berada di posisi Harris beberapa jam yang lalu. Tapi Harris yang sekarang bukan lagi orang yang sama. Dia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tidak mencapai matanya.
"Perisai, katamu?" Harris menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku tidak tertarik menjadi perisai seseorang, Nona Hendrawan. Perisai adalah benda pasif. Dihantam, ditangkis, dan pada akhirnya bisa retak dan dibuang."
Dia turun dari ranjang, bergerak dengan kelincahan yang mengejutkan dirinya sendiri. Dia berjalan mendekati Queen, tidak terlalu dekat, tetapi cukup untuk mengubah dinamika ruangan. Kini, mereka berdiri berhadapan sebagai dua kekuatan yang setara.
"Kau salah menilai situasinya," lanjut Harris, suaranya kini terdengar lebih kuat, lebih dalam. "Kau tidak sedang menawarkan perlindungan. Kau sedang memohon bantuan. Kau butuh seseorang yang cukup kuat untuk berdiri di sisimu dan membuat para serigala tua di keluargamu berpikir dua kali. Seorang pecundang yang baru keluar dari penjara tidak akan bisa melakukan itu."
Mata Queen menyipit berbahaya. "Jaga bicaramu. Kau masih berada di rumahku, hidup karena kemurahan hatiku."
"Dan kau masih terjebak dalam sangkar emasmu, hidup di bawah belas kasihan para tetua," balas Harris tanpa gentar. "Kita berdua butuh sesuatu. Jadi, mari kita buat kesepakatan yang lebih jujur."
Dia menatap lurus ke dalam mata wanita itu, pikirannya yang tajam menganalisis setiap detail. "Ini bukan pernikahan, dan aku bukan tunanganmu. Ini adalah aliansi. Aku tidak akan menjadi perisaimu. Aku akan menjadi senjatamu. Aku akan menjadi solusi untuk masalah keluargamu, momok yang akan membuat musuh-musuhmu tidak bisa tidur nyenyak."
Napas Queen tertahan sejenak. Keberanian pria di hadapannya ini sungguh di luar dugaan.
"Sebagai gantinya," Harris menyimpulkan, nadanya final, "Semua sumber daya keluarga Hendrawan akan menjadi milikku untuk digunakan. Bukan sebagai hadiah, bukan sebagai pinjaman. Anggap saja aku sedang menyewa kekuatan keluargamu untuk menyelesaikan masalahku. Setelah aku mendapatkan kembali semua milikku dan menghancurkan mereka yang mengkhianatiku, aliansi kita berakhir. Kau bebas, aku bebas."
Keheningan menyelimuti ruangan. Ketegangan di antara mereka terasa nyata, seperti senar yang ditarik kencang hingga nyaris putus. Queen menatap Harris, benar-benar melihatnya untuk pertama kali. Pria di hadapannya bukan lagi pecundang dari selokan. Ia adalah seekor naga yang baru saja terbangun dari tidurnya.
Setelah beberapa saat keheningan, senyum tipis yang dingin dan misterius terukir di bibir merah Queen. Tawa kecil yang kering keluar dari tenggorokannya.
"Menarik," desisnya, matanya berkilat dengan kalkulasi yang dingin. "Sangat menarik. Aku tidak pernah menyangka pewaris Gunawan ternyata memiliki taring."
Dia mengulurkan tangannya yang ramping dan terawat. "Baiklah, sekutu. Aku terima aliansimu."
Harris tidak menjabat tangannya. Sebuah gestur persetujuan antar pebisnis. Hubungan mereka lebih dari itu. Dia hanya mengangguk sekali.
"Lalu, apa langkah pertamamu?" tanya Queen, langsung beralih ke mode strategis. "Kudengar Simon dan Sera akan menghadiri Pameran Giok Keluarga Wijaya besok malam. Mereka sedang berusaha keras merebut hati Tuan Besar Hidayat."
Harris mengangkat sebelah alisnya. "Tuan Hidayat? Penguasa properti di pesisir selatan itu?"
"Tepat," Queen mengonfirmasi. "Orang tua itu menderita penyakit misterius yang tidak bisa didiagnosis oleh dokter mana pun. Simon dan Sera mengincar 'Giok Penenang Jiwa', sebuah artefak langka yang akan dilelang besok. Mereka pikir dengan memberikan giok itu, mereka bisa memenangkan hati sang taipan dan mengamankan proyek reklamasi pantai."
Harris tersenyum dingin. Senyuman itu mengubah wajahnya, membuatnya tampak berbahaya. Di dalam benaknya, informasi tentang kondisi Tuan Hidayat muncul dengan jelas seolah dia baru saja membaca rekam medisnya. Penyumbatan energi di meridian jantung, diperparah oleh racun dingin yang langka. Memberinya giok dengan energi Yin yang kuat hanya akan mempercepat kematiannya.
"Mereka salah alamat," jawab Harris, matanya berkilat dengan cahaya yang tak terbaca. "Orang tua itu tidak butuh batu."
Ia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menggantung di udara, sebelum menyelesaikan kalimatnya dengan keyakinan mutlak yang membuat bulu kuduk Queen meremang.
"Dia butuh aku."
"Sentuh aku, dan dia akan berhenti bernapas dalam sepuluh detik," ujar Harris, tatapannya terkunci pada putra Tuan Hidayat, Bima.Ada aura tak terbantahkan dalam dirinya, sebuah ketenangan sedingin es di tengah badai emosi, yang membuat kedua pengawal berbadan tegap yang maju menjadi ragu. Langkah mereka melambat, lalu berhenti. Ancaman itu tidak diucapkan dengan teriakan, melainkan dengan bisikan yang membawa bobot kematian.Bima menatap Harris dengan amarah dan duka yang bergejolak di matanya. "Omong kosong apa yang kau bicarakan! Kau pikir kau siapa?!"Di samping ranjang, seorang pria paruh baya berkacamata tebal dan berjas putih—dokter keluarga Hidayat—melangkah maju. "Anak muda, kondisi Tuan Besar sangat kritis. Ini bukan waktunya untuk lelucon murahan. Kami sudah melakukan semua yang kami bisa."Harris mengalihkan pandangannya pada sang dokter, dan dalam sekejap, tatapannya berubah dari dingin menjadi tajam menusuk. "Semua yang kalian bisa? Kalian bahkan tidak tahu apa yang kali
"Kau sudah punya alatnya. Sekarang apa?" tanya Queen saat mereka berada di dalam Bentley, melaju tanpa suara melewati jalanan lengang di kawasan elite. Di dalam mobil, aroma kulit mahal berbaur dengan aroma samar kayu cendana dari kotak yang tergeletak di pangkuan Harris. "Kau tidak bisa langsung mengetuk pintu dan bilang kau bisa menyembuhkan orang mati, kan?"Harris tidak menjawab. Matanya menatap keluar jendela, mengamati rumah-rumah megah yang tersembunyi di balik tembok tinggi dan gerbang besi. Setiap kediaman adalah sebuah benteng kecil. Pengetahuan di benaknya memberitahunya bahwa semakin kaya seseorang, semakin besar pula ketakutannya akan kematian."Berhenti di tikungan depan," perintah Harris kepada sopir dengan nada tenang.Mobil itu menepi dengan mulus di bawah naungan pohon mahoni yang rindang. Dari sini, tembok setinggi empat meter yang mengelilingi kediaman Hidayat terlihat jelas, dimahkotai dengan kawat berduri dan kamera CCTV yang berkedip waspada setiap beberapa mete
Queen mengangkat sebelah alisnya yang terpahat sempurna, sebuah gestur kecil yang memancarkan keraguan sedingin es. "Kau?" ejeknya, nada suaranya tajam menusuk. "Seorang pria yang beberapa jam lalu sekarat di selokan, akan menyembuhkan penyakit yang bahkan ditolak oleh tim dokter kepresidenan?"Sarkasme dalam suaranya begitu kental, cukup untuk membuat pria normal mana pun merasa ciut. Tapi Harris hanya menatapnya dengan ketenangan yang membingungkan. Dia tidak membela diri, tidak juga menjelaskan sumber kekuatannya yang baru. Itu akan membuang-buang waktu. Sebaliknya, dia melukis sebuah gambaran dengan kata-kata, sebuah gambaran yang seharusnya tidak mungkin ia ketahui."Tuan Besar Hidayat tidak menderita penyakit," ujar Harris, suaranya tenang namun bergema dengan otoritas yang tak terbantahkan. "Dia diracun. Racun dingin yang bekerja sangat lambat, meniru gejala kegagalan organ alami."Mata Queen sedikit melebar, keterkejutannya nyaris tak terlihat. Informasi itu sangat rahasia.Ha
Mendengar suara itu, Harris tidak tersentak. Dia hanya menoleh perlahan, matanya yang kini jernih dan tajam bertemu dengan tatapan dingin wanita itu. Di masa lalu, komentar sarkastis seperti itu akan membuatnya menunduk malu. Kini, dia hanya merasakan ketenangan yang aneh.Pengetahuan yang membanjiri benaknya telah mengubah bukan hanya tubuhnya, tetapi juga cara dia memandang dunia. Dia bisa melihat ketegangan tipis di bahu Queen, tarikan napasnya yang terkontrol, dan aura ambisi sedingin es yang mengelilinginya.Dia duduk tegak di ranjang, seprai sutra yang mahal bergeser tanpa suara. "Kecoak bertahan hidup," balas Harris, suaranya masih sedikit serak tetapi mantap. "Aku tidak hanya bertahan. Aku akan berkembang biak."Queen berhenti di tengah ruangan, sedikit terkejut oleh respons yang tidak terduga itu. Dia mengharapkan seorang pria yang hancur dan berterima kasih, bukan seseorang yang balas menatapnya dengan percikan pemberontakan di matanya. Dia menyembunyikan keterkejutannya den
"Bangunlah, cucuku..."Suara itu tidak datang dari luar. Tidak ada getaran di udara, tidak ada bisikan yang menyentuh telinga Harris. Suara itu menggema langsung di pusat kesadarannya, sebuah suara dari masa lalu yang penuh dengan wibawa dan kehangatan yang telah lama ia lupakan. Itu adalah suara kakeknya, Devin Gunawan."Warisan keluarga Gunawan tidak boleh mati dalam kehinaan."Kegelapan yang memeluknya perlahan surut, bukan digantikan oleh cahaya, melainkan oleh ketiadaan. Harris merasa dirinya melayang di sebuah ruang hampa yang tak berujung, tanpa bobot, tanpa tubuh.Di hadapannya, satu per satu, titik-titik cahaya mulai menyala, kemudian memanjang dan membentuk gulungan-gulungan perkamen yang melayang anggun di kehampaan, memancarkan pendar keemasan yang menenangkan.Rasa ingin tahu mengalahkan kebingungannya. Ia mengulurkan tangan—sebuah tangan transparan yang terbentuk dari kesadarannya—dan menyentuh salah satu gulungan terdekat.Seketika, sebuah tsunami informasi menghantam b
Aroma parfum mahal dan anggur terbaik berbaur di udara, menjadi musik latar bagi denting gelas kristal dan tawa renyah para elite kota. Di dalam aula utama Hotel Movi yang bermandikan cahaya keemasan, setiap sudut adalah panggung kekuasaan. Karpetnya begitu tebal hingga mampu meredam suara langkah, seolah hanya bisikan transaksi miliaran rupiah yang pantas terdengar di sini.Di tengah kemewahan itu, Harris Gunawan berdiri seperti sebuah sketsa usang yang salah tempat. Setelan jas murah yang dipinjamnya tampak kusam di bawah lampu gantung megah, dan kerahnya sedikit berjumbai. Lima tahun di balik jeruji besi telah mengikis semua cahaya dari dirinya, meninggalkan sepasang mata yang terlalu dalam dan diam. Dia tidak bisa bicara. Jerat kawat panas yang membakar pita suaranya di penjara telah memastikan itu.Pandangannya terkunci pada dua sosok di panggung kecil di ujung aula. Sera—istrinya, dan Simon—sahabatnya. Tatapannya kosong, dipenuhi dengan keterkejutan yang mendalam.Sera dalam bal







