Share

Ikut Gila

"Kita akan mengikuti kontes ini."

Dewi, Isa, dan juga Lana terlihat berpandangan mendengar ucapan Kania. Raut wajah mereka terlihat bingung melihat pamflet yang ditunjukkan oleh Kania ke hadapan mereka. Dewi yang lebih berani dan banyak bicara dari ketiga pegawainya terlihat mengangkat tangan, "Kita ikut lomba, Bu? Tapi bukankah selama ini kita tidak pernah ikut lomba? Apa Ibu yakin kita bisa ikut lomba ini tanpa mengganggu pesanan yang lain?" Tanya Dewi merasa sangsi.

Kania menghela nafasnya dengan kasar. Ya selama mereka bekerja pada Kania, tidak pernah sekalipun ada kabar berita butiknya akan mengikuti kegiatan lomba atau kontes apapun. Ditambah lagi pekerjaan mereka yang saat ini sedang menumpuk, mungkin mereka menganggap Kania sudah gila karena mengambil keputusan ini. Kania sepertinya memang sudah gila. Ia merasa otaknya sebentar lagi akan meledak karena sering bertemu dengan Sean.

"Justru karena kita belum pernah mencobanya. Kita usahakan untuk tidak mengganggu pesanan yang lain. Lagipula temanya sederhana, tema baju musim panas." kilah Kania asal.

Dewi terlihat menggaruk kepalanya sementara yang lain berpandangan dengan bingung.

Melihat ketiganya yang hanya terdiam, Kania kembali membuka suara, "Kenapa? Kalian tidak mau? Selama ini kita diam di tempat, kita harus maju. Kita harus jadikan ajang perlombaan itu untuk mengasah kemampuan kita. Kalian tahu tidak? Hari ini ada orang yang berkomentar bahwa baju kita itu seperti sampah,"

"Siapa yang berkata jahat seperti itu, Bu?" Tanya Lana mulai terpancing.

"Mulutnya seperti orang yang tidak pernah makan bangku sekolah," timpal Dewi yang ikut geram.

Kania mengibaskan tangannya, "Sudahlah, saya tidak mau mengingatnya. Dia hanya orang gila yang tidak penting. Jadi, bagaimana? Apa kalian rela orang itu terus merendahkan kerja keras kita?" Tanya Kania emosional. Mengingat penghinaan Sean membuat emosinya selalu terusik.

"Tidak Bu,"

Jawaban yang serempak dari ketiganya membuat senyum Kania akhirnya mengembang, "Kalau begitu ayo kita bekerja, kita harus menyumpal mulut orang gila itu dengan kemampuan kita. Sekarang bubar dan lakukan kembali pekerjaan kita,"

Ucapan Kania sukses membuat ketiga pegawainya dibakar oleh semangat. Mereka segera berjalan ke arah tempatnya masing-masing. Kania juga kembali ke tempatnya, ia mulai berkutat dengan pena dan juga kertas-kertasnya. Lihat saja, ia tidak akan membiarkan Sean merasa menang.

****

"Sebaiknya kalian pulang, ini sudah hampir larut malam. Kita lanjutkan besok pagi," ucap Kania. Melihat raut wajah letih di mata para pegawainya, Kania mulai merasa bersalah. Gara-gara emosinya yang terpancing karena Sean, mereka mendapat imbasnya.

Ketiga pegawainya mulai mematikan mesin jahit lalu bersiap-siap pulang.

"Ibu tidak pulang?" Tanya Isa saat melihat Kania tidak beranjak dari tempat duduknya.

Kania mengulas senyumnya saat mendengar pertanyaan dari Isa. Isa adalah pegawainya yang paling pendiam, tapi dibalik sifat pendiamnya, Isa merupakan pribadi yang perhatian.

"Saya akan pulang nanti, ada hal yang harus saya kerjakan dulu."

Isa yang mendengar hal itu mengangguk, "Kalau begitu saya permisi," pamit Isa.

Kania balas mengangguk, ia kembali membenamkan wajahnya ke arah tumpukan kertas. Keningnya berkerut dengan dalam, bagaimanapun ia harus mendapat desain yang bagus untuk ajang kontes nanti.

Selama beberapa jam, Kania kembali tenggelam dalam gadget dan juga penanya hingga melupakan waktu.

Tok tok tok

Kania mengangkat wajahnya dengan mata yang letih saat mendengar suara kaca dari pintu butiknya diketuk dengan perlahan. Sebuah senyuman seketika mengembang saat melihat siapa yang berada di hadapannya. Kania melonjak dari kursinya lalu bergerak ke arah pintu.

"Astaga, Leon. Kenapa kau kemari di jam seperti ini?" Tanya Kania antusias.

Leonard masuk ke dalam butik, ia mengangkat plastik yang tengah ia bawa lalu berkata, "Untuk mengingatkan seorang yang gila kerja untuk makan. Kau pasti belum makan, bukan? Sudah ku bilang Kania, perhatikan tubuhmu yang semakin mengering itu. Kau semakin kurus saja, bagaimana bisa kau menggendong Devan dengan tubuh sekurus itu?"

Kania mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Leon, "Sungguh Leon, kau bersikap seperti ibuku." Keluh Kania.

"Walaupun kau memiliki dua orang ibu, kau tetap melupakan kesehatanmu."

Kania mengibaskan tangannya dengan cepat, mencoba menghentikan ocehan Leon saat ini, "Sudahlah, kau kemari untuk memberiku makan atau tidak?"

Leon kembali mengulurkan makanannya, mereka duduk saling berhadapan, "Silahkan Nona Muda,"

Kania terkekeh kecil mendengar gurauan Leonard, "Terimakasih teman,"

Leonard adalah satu-satunya teman yang ia miliki setelah pindah ke daerah ini. Mereka bertemu saat Kania hendak panik membawa Devan yang tengah sakit sekitar dua tahun yang lalu. Kania yang tidak melihat kanan-kiri saat menyebrang hampir tertabrak oleh mobil Leonard. Mereka sama-sama terlihat kaget dengan insiden itu. Melihat Kania yang sedang kesusahan membawa Devan, Leonard segera menawarkan diri untuk mengantarnya ke rumah sakit.

Sejak saat itu, hubungan Kania dan Leon menjadi dekat. Mereka bertukar cerita apapun hingga menjadi teman seperti ini. Bukan hanya Kania, Devan juga sangat akrab dengan Leon. Terkadang Leon mengajak Devan bermain saat Kania sangat sibuk.

"Jadi, kenapa kau bekerja sangat keras hari ini, Kania? Kau bahkan meninggalkan Devan hingga larut seperti ini," Tanya Leon saat makanan di hadapan Kania hampir habis. Kania menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Leon, ia juga merasa sangat bersalah karena meninggalkan Devan, tapi mau bagaimana lagi? Ia harus mengikuti permainan Sean.

"Ada seseorang yang harus aku kalahkan."

"Seseorang? Siapa?"

"Kau tidak akan mengenalnya,"

Leon terlihat mengangkat alisnya mendengar jawaban Kania yang terkesan menghindar, aneh sekali biasanya Kania akan bercerita apapun saat merasa kesal seperti ini, "Sepertinya kau lupa, tujuh puluh persen pelanggan yang kau ceritakan mengesalkan adalah orang yang tidak ku kenal,"

Kania hanya terdiam mendengar ucapan Leon. Leon memang tidak mengetahui tentang Sean. Kania menghela nafas berat, sungguh saat ini ia tidak ingin membahas masa lalu yang menyakitkan baginya.

"Kania?"

Demi menghindari pertanyaan Leon, Kania seketika beranjak, "Aku sudah selesai makan, ayo kita pulang Devan sepertinya sudah menunggu." balas Kania.

Leonard terlihat mengangkat alisnya melihat perubahan sikap Kania. Raut wajahnya yang berubah murung membuat Leonard bertanya -tanya. Sebenarnya siapa yang Kania tengah maksudkan saat ini?

****

"Jadi bagaimana persiapan acaranya, Sayang?" Tanya Catherine kepada Sheline.

Hari ini adalah hari dimana Catherine dan Sheline selalu menyempatkan waktu untuk berbelanja bersama.

Sheline menghela nafasnya panjang mendengar pertanyaan Catherine, "Kacau Ma,"

Alis Catherine mengerut mendengar jawaban dari Sheline, "Kacau? Kenapa?"

"Sean malah mempersulit orang yang akan mendesain gaunku. Aku tidak mengerti kenapa Sean sangat membencinya padahal mereka baru saja bertemu. Bayangkan saja, Sean malah menantangnya ikut ajang perlombaan. Aku tidak paham kenapa Sean sangat mengintimidasi Kania." Gerutu Sheline.

Catherine seketika tertegun mendengar jawaban Sheline. Ia memutar jari jemarinya dengan gugup, entah kenapa perasaannya berubah menjadi tidak enak saat Sheline menyebut nama Kania.

"Jadi nama orang yang akan mendesain gaunmu itu Kania? Apa kamu punya fotonya, Sayang?" Tanya Catherine dengan cepat.

Sheline terlihat mengingat-ingat sejenak, "Ah, sepertinya ada di akun Bu Astuti. Sebentar biar aku carikan, Ma."

Selama beberapa saat Sheline terlihat memutar jari jemarinya diatas ponsel. Setelah beberapa menit, calon menantunya itu mengulurkan ponselnya ke arah Catherine, "Ah, ini dia."

Mata Catherine terbelalak melihat foto yang diulurkan oleh Sheline. Rahang Catherine seketika bergemretak. Itu benar Kania. Bagaimana bisa wanita rendahan itu kembali berkeliaran di sekitar Sean?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rani Saidah
jadi ikut terbawa emosi bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status