Beberapa bulan sebelumnya ... "Raya, kamu pasti kuat sayang."Radit menggenggam tangan Raya erat saat wanita itu kesakitan menahan kontraksi."Ya Allah, kenapa harus prematur?"Ajeng, mertua Raya mondar mandir tak karuan menunggu kelahiran sang cucu yang sangat dinantikannya.Wanita itu berharap anak yang dilahirkan Raya adalah laki-laki agar menjadi penerus perusahaan mendiang suaminya."Aku gak kuat, Mas."Raya menangis, wajahnya basah karena peluh yang membanjiri kepala."Dokter Rian mana? Operasi saja, kasihan istri saya," pinta Radit pada perawat."Dokter Rian masih di perjalanan, Pak. Sebentar lagi datang, kami akan menghubunginya sebentar ya, Pak," tutur perawat sambil beranjak pergi.Pembukaan jalan lahir Raya belum lengkap, tetapi wanita itu sudah kehabisan tenaga lantaran banyak menjerit, menangis, berteriak dan marah-marah tak karuan. Padahal, perawat sudah menyuruhnya tenang, tetapi Raya justru semakin marah."Baik Pak, kalau begitu silakan Bapak urus berkas-berkas perset
Di kantor polisi, Indira menjenguk Raya dengan membawa sang cucu. Melihat putrinya, hati Raya kian hangat. "Maira sayang."Raya langsung meraih dan mencium kening putrinya yang hampir berusia setahun. Bayi itu hanya beda usia dua bulan saja dengan Citra, si kecil itu sangat cantik, wajahnya mirip dengan Erlangga."Ma ... Ma ... Ma ...."Maira terus mengoceh sembari menggigit tangannya, membuat hati Raya kian teriris perih. Pun Indira, air matanya mengalir deras melihat kemalangan cucu dan anaknya."Maafkan Mama ya, sayang."Raya terus menciumi pipi Maira, tetapi sesekali tatapan wanita itu nampak kosong."Kamu kenapa bisa ceroboh, Raya?"Indira bertanya sambil terus menangis, wanita itu kesal, kecewa, sedih dan marah karena anaknya tengah ditahan di kantor polisi dengan meninggalkan sang cucu yang masih balita."Aku gak sengaja Bun, tapi sejujurnya aku gak mau hidup semakin susah. Aku cuma minta Erlangga bertanggung jawab atas Maira, setelah Mas Radit tahu semuanya, kita dibuang bag
Melihat wajah sang kakak yang nampak modis dan elegan, seketika Indira teringat bayangan masa-masa yang membuatnya begitu benci pada Hasna. .Puluhan tahun lalu ...."Indira, sudah berapa kali Bapak katakan, kamu jangan sering pulang malam, contohlah Mbak mu itu. Malu Bapak ini, setiap hari pulang malam dengan lain lelaki."Indira baru saja pulang dengan mengendap-endap di kegelapan. Wanita itu seketika terkejut saat lampu dinyalakan oleh bapaknya yang tengah menunggu di kamar dengan kemarahan yang memuncak."Mbak Hasna lagi, Mbak Hasna lagi, kenapa sih Bapak selalu saja bandingkan aku sama dia?"Indira membalas dengan lantang perkataan bapaknya, suaranya kian meninggi. Wanita itu jengah selalu dibandingkan dengan Hasna, Indira kesal karena sangat kakak selalu lebih unggul darinya, karena itu dirinya semakin hari semakin bertambah kebenciannya pada Hasna."Dengar Indira, kamu itu perempuan dan harus jaga diri. Bapak gak mau kamu sampai menoreh aib di keluarga kita."Soleh, sang ayah m
Sepulangnya Indira, suasana kini nampak haru, terlebih saat Nurul memeluk Dian dan Citra penuh kerinduan."Citra cantik, ketemu lagi sama Oma ya, Oma kangen bangeeeet."Nurul menggendong Citra yang usianya sudah lebih dari satu tahun itu, bobotnya semakin bertambah sehingga Nurul sedikit kesulitan saat mengangkat gadis kecil kesayangannya.Wanita itu menciumi pipi Citra yang gembul tanpa henti, membuat Dian begitu haru lantaran banyak curahan kasih sayang untuk sang putri."Hasna, silakan duduk."Damar berbicara dengan nada yang sedikit ketus, tak dipungkiri lelaki itu masih sedikit kecewa dengan Hasna yang tega menelantarkan anak kandungnya.Nurul dan Dian menangkap raut ketus itu, tetapi mereka berusaha tetap diam dan tenang, sementara Hasna menunduk, wanita itu merasa bersalah pada lelaki yang sudah dianggap sebagai kakaknya itu."Kang Damar, Teh Nurul terima kasih sudah menyayangi Dian seperti anak kalian sendiri," kata Hasna dengan mata berkaca-kaca."Gak perlu dipikirkan Hasna,
Indira tengah berjalan di trotoar, tetapi pikirannya melayang jauh pada percakapannya dengan Damar sesaat sebelum kedatangan Hasna tempo hari. "Maaf Indira, tapi saya rasa Rudi juga gak bisa bantu dalam hal ini."Damar menyesap kopi, jauh dalam hatinya lelaki itu tak tega melihat kesusahan Indira, terlebih saat ini Raya memiliki anak yang masih membutuhkannya, tetapi Damar sadar, Raya harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya."Saya mohon Kang, untuk kali ini saja, tolong bantu Raya, coba saja Kang Damar sama Teh Nurul bilang dulu sama Rudi, bisa gak bantu bebaskan Raya dari kasus ini."Indira memohon pada kerabatnya itu, Rudi adalah suami Rara, anak semata wayang Damar dan Nurul yang berada di Kalimantan, Rudi bekerja sebagai pengacara."Saya gak bisa memastikan, tapi coba kamu tanya sendiri sama Rudi. Maaf, saya gak bisa bantu kamu, Indira," tolak Damar. Suara klakson mobil menyadarkan Indira dari penolakan Damar dan Nurul beberapa waktu lalu.Indira terus melangkah menyusu
"Itu Raya ...."Indira berkata pada mantan suaminya saat membuka pintu kamar. Di sana anak perempuan mereka tengah melamun, tatapan wanita itu nampak kosong, sesekali tersenyum tetapi sesekali juga air mata menitik di kedua netra.Adi berjalan perlahan menghampiri sang putri, hatinya begitu hancur melihat kondisi Raya yang kian menyedihkan."Apa yang sebenarnya terjadi pada Raya, Indira ...?" tanya Adi dengan menatap iba putrinya, "putriku pasti sangat tertekan," lanjut Adi, pandangannya tak beralih dari gerak gerik Raya.Indira hanya diam, bulir bening terus menitik dari kedua netra, ingatannya berputar, membawa dirinya pada kejadian hampir dua tahun yang lalu.Dua tahun lalu .... "Raya, apa yang kamu sembunyikan dari Bunda?"Indira menatap putrinya penuh selidik. Wanita itu khawatir karena Raya lama sekali di kamar mandi."Gak apa-apa, Bunda."Raya nampak ketakutan dan menyembunyikan sesuatu, tetapi Indira tak menyadari gerak-gerik putrinya."Oh ya sudah, Bunda sudah masak, kamu ma
Dokter Rian berhenti di sebuah rumah berlantai dua dengan gaya minimalis modern. Lelaki itu ingat saat pulang dari rumah teman, Dian pernah mengatakan padanya bahwa dulu tinggal di sana saat masih menjadi istri Radit. "Permisi Pak, apa benar itu rumahnya pak Radit?" tanya dr. Rian pada seseorang. Lelaki itu sengaja memarkirkan mobilnya di tepi jalan. "Oh iya betul pak," balas lelaki itu ."Terima kasih, pak."Dokter Rian gegas berlari dan melihat gerbang tak dikunci. Di post satpam, seorang lelaki dengan seragam putih itu nampak tertidur, dr. Rian masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu.Sesampainya di teras rumah Radit, dr. Rian seketika ragu karena pintu nampak tertutup rapat."Mungkin Dian memang gak ke rumah Radit," gumam dr. Rian lirih.Perasaanya tak karuan karena ia yakin kalau calon istrinya itu sedang tidak baik-baik saja, tetapi prasangka berubah saat melihat rumah Radit sepi.Putra almarhum Adrian itu baru saja melangkah hendak pergi, tetapi urung karena mendengar suara
"Radit ...."Ajeng menjerit saat melihat putranya masih menggenggam gunting yang berlumuran darah.Semua mata warga tertuju pada Dian yang membalut tubuhnya dengan selimut, desas-desus tak enak mulai terdengar seiring riuhnya kehebohan.Salah satu warga menelpon polisi, Bu Fitri, tetangga yang dulu pernah dekat dengan Dian gegas mengambil pakaian tertutup dan memberikannya pada mantan istri Radit agar wanita itu tak lagi jadi bahan tontonan.Sementara satpam yang sudah tak berdaya lantaran kehilangan banyak darah gegas digotong hendak dibawa ke rumah sakit."Pakai mobil saya saja, Pak," kata dr. Rian sembari mengusap pelipis yang juga berdarah lantaran terkena ujung meja yang tajam.Setelah berpakaian rapi, Dian berlari keluar, wanita dan calon suaminya itu lantas membawa satpam yang bekerja di rumah Radit ke rumah sakit ditemani oleh dua orang warga.Beberapa orang menenangkan istri satpam dan juga Ajeng, sementara Radit dihajar warga yang geram karena telah melukai penjaga keamanan