Perjalanan hidup Dian yang berjuang untuk bangkit setelah dibuang oleh sang suami saat hamil tua demi wanita lain. Sialnya, wanita lain itu adalah sepupunya sendiri yang sudah menindasnya dari kecil. Dian tidak terima, dia berjanji akan membongkar semua kejahatan Raya. Di tengah perjalanan dia menemui berbagai kasus yang membuat semua misteri masa lalu terpecahkan.
더 보기Di ambang pintu telah berdiri seorang wanita dengan pakaian kurang bahannya, ia menatap sinis dengan bibir menyeringai.
"Mas, kamu tega usir aku yang lagi hamil anak kamu?"
Dian mengiba, berharap masih ada secercah rasa kasihan di hati suaminya, setidaknya untuk calon anak mereka yang saat ini berusia delapan bulan di kandungan."Aku gak peduli, dia bukan anakku, dia anak hasil perselingkuhan kamu sama laki-laki itu, cih! Tak sudi memungut anak haram itu."
Radit murka lalu masuk ke dalam rumah membuat mata Dian membulat seketika lantaran ketidakpedulian suaminya.Radit nampak marah besar, urat-urat di lehernya menonjol, bahkan sebelum pergi ia tega meludahi Dian. Sementara Raya dan ibunya menatap sinis ke arah Dian, mereka tersenyum menyeringai melihat penderitaan wanita hamil itu.
Dada Dian terasa sesak diperlakukan hina oleh suaminya sendiri, suami yang dulu berjanji akan selalu melindungi dan mencintai sepenuh jiwa.
"Silakan pergi, jangan ganggu suamiku lagi!"
Kali ini Raya bicara sembari menyilangkan kedua tangan di dada."Dian, anak haram kayak kamu itu cuma bisa jadi ibu dari anak haram juga."
Indira ikut menimpali, Ibu kandung Raya itu tersenyum sinis."Kalian dengar, saya bukan anak haram. Satu lagi, anak yang saya kandung ini anak biologis Mas Radit," sergah Dian membela diri, "justru anak di dalam kandungan Raya yang entah siapa ayahnya," balas Dian sinis.
"kamu!"
Raya mengangkat tangannya hendak melayangkan tamparan ke arah pipi Dian."Apa? Mau tampar, tampar silakan!"
Dian mengancam, ia sama sekali tak gentar oleh layangan tangan sepupu pengkhianat itu, justru Dian mendekatkan pipinya ke arah Raya untuk menantang emosinya. Wanita itu sudah muak dengan semua keangkuhan mereka.Dian melangkah pergi meninggalkan rumah dan suami yang selama ini menemani, wanita itu berjanji akan mengambil semua hak-haknya, tak mau lagi diinjak-injak oleh mereka, Dian tak boleh terus mengalah, ini saatnya Dian harus bahagia, catatan kelam kehidupan harus berganti dengan catatan kebahagiaan.
Raya adalah sepupu Dian dan Indira adalah adik kandung dari ibunya, tetapi dari dulu mereka tak pernah menyayangi Dian laksana keluarga.
Bahkan saat Nenek Dian masih ada pun wanita malang itu selalu dibedakan oleh mereka. Sementara ibunya lebih memilih menjadi istri kedua laki-laki lain dan meninggalkan Dian, sedangkan ayahnya entah siapa. Ibu kandung Dian melahirkan tanpa ikatan pernikahan dengan lelaki manapun. Membuat hidup Dian terhina dan tak punya harga diri.
Dian berjuang menempuh pendidikan tinggi lalu dipersunting oleh Radit, pemilik perusahaan material bangunan yang memiliki beberapa cabang di negeri ini. Hidup keduanya rukun dan bahagia, tetapi semua berubah saat Raya dan Indira kembali hadir dalam kehidupan Dian.
Nasi sudah menjadi bubur, kebaikan Dian pada Raya dan Indira tak pernah berarti di matanya, mereka bak singa peliharaan yang memangsa tuannya. Kini Dian tak lagi mau dibodohi mereka, pengusiran ini sudah cukup menjadi penghinaan perih yang menghunus jiwanya.
Dengan berat hati Dian melanjutkan perjalanan sambil mengelus perut yang semakin membuncit, berjalan tak memiliki tujuan, seketika bayangan kelam masa kecil berkelebat di benaknya bagaikan slide film yang tengah dipertontonkan."Nek, tadi Dian dikasih sate sama Om Damar," ucapnya dengan mata berbinar.
Dian bahagia karena bisa menikmati makanan mewah bersama-sama dengan orang yang ia sayang.
"Wah, wanginya enak banget," ucap Raya yang tengah asyik menonton TV, ia segera berlari ke arah Dian lalu mengambil satu tusuk sate dan memakannya dengan lahap.
"Raya, aku juga belum makan, kita barengan ih," kata Dian pada Raya saat ia mengambil lagi satu tusuk padahal di tangannya sudah habis satu tusuk.
"Pelit amat sih kamu Dian, timbang makanan begini doang, Ayah sama Bunda aku juga bisa beliin banyak kalau mereka pulang nanti," balas Raya kecil dengan sombongnya.
"Iya kamu ini Dian, begitu saja pelit, barengan lah makan itu."
Nenek menimpali tanpa melihat wajah Dian. Bukannya membela, wanita tua itu pun malah ikut menyalahkannya.Nenek Dian berjalan mendekati mereka yang tengah rebutan sate, lalu Nenek memberikan dua tusuk sate pada Dian, sisanya sang Nenek berikan pada Raya.
"Sudah, kamu dua saja, sisanya buat Raya."
Nenek memberikan sisa sate yang Dian hitung masih delapan tusuk itu pada Raya.Hati Dian kecil sangat sedih, padahal Om Damar memberikan sate itu untuknya, tapi saat dibawa pulang Dian hanya boleh makan dua tusuk saja.
Dian tak berani melawan meski ia ingin melawan, gadis kecil itu membawa dua tusuk sate dan piring nasi ke dapur, hatinya kian sakit karena selalu dibedakan oleh Nenek.
Dian menyuap nasi dan sate ke dalam mulutnya dengan air mata yang tak mampu terbendung, bukan karena sate yang diberikan kurang, melainkan karena perlakuan sang Nenek yang kerap pilih kasih.
Setiap hari pun Dian tak pernah diberi jajan oleh sang Nenek, sedih rasanya jika waktu istirahat di sekolah semua temannya jajan, sedangkan Dian hanya minum air putih yang dibawa dari rumah menggunakan botol bekas air mineral.
Tapi Dian cukup tahu diri, ia tak pernah meminta uang jajan pada Neneknya saat wanita tua itu memberi uang jajan pada Raya, karena Dian sadar tak memiliki orang tua yang menitipkan uang jajan pada sang Nenek. Kadang sesekali ada orang baik yang memberinya uang sehingga bisa jajan es atau cilok seperti teman lainnya.
"Dian, nih cuci piringnya."
Raya melempar piring plastik bekas makannya ke arah Dian.Sang Nenek hanya melirik sekilas saat Raya memperlakukan Dian bagai pembantu, tak menegurnya atau membelanya. Dian tahu, Neneknya pasti tak berani menegur Raya, karena pasti sang Nenek akan dimarahi habis-habisan oleh Indira. Ibu kandung Indira itu tak berani menegur anak keduanya karena hidupnya ditanggung oleh Indira.
Pembagian raport kenaikan kelas enam masih setengah jam lagi, Dian bermain dengan temannya yang lain, tapi lagi-lagi gadis kecil itu memilih bermain sendiri saat temannya hendak jajan. Malu jika ikut mereka sedangkan Dian tak punya uang, takut disangka celamitan.
"Ma, baksonya enak banget, terima kasih ya sudah belikan Raya sama teman-teman bakso, Mama baik deh."
Sepupu Dian itu bergelayut manja di pundak ibunya. Sementara Dian menoleh ke arah pedagang bakso keliling saat mendengar sumber suara yang tak asing di telinga, ternyata di sana ada Indira yang sedang membelikan Raya dan teman-temannya semangkuk bakso, Raya dan teman-temannya terlihat begitu bahagia."Kok Tante Indira gak beliin aku ya, padahal aku keponakannya sendiri," gumam Dian pelan, hatinya sakit melihat Tante sendiri mentraktir orang lain, sedangkan dirinya tak dihiraukan, padahal Indira melihat Dian mematung seorang diri saat ditinggal teman-temannya jajan tadi.
"Dian, sini!"
Indira memanggil, gadis kecil itu segera berlari ke arahnya yang masih menikmati semangkuk bakso, mungkinkah Dian hanya terlalu terbawa perasaan, pasti Indira kasihan melihat keponakannya tak jajan, wanita itu pasti akan membelikan Dian semangkuk bakso juga. Dengan perasaan bahagia gadis kecil itu menghampiri mereka sambil berlari."Iya Tan, kenapa?" tanya Dian dengan wajah berbinar, berharap Indira akan memesankan bakso untuknya.
"Kamu mau?" tanya Indira, membuat mata Dian semakin berbinar bahagia.
"Iya mau, Tan." Dian mengangguk cepat.
"Nih...." Indira menyodorkan mangkuk yang hanya tersisa kuahnya saja.
"Apa ini, Tan?" tanyanya heran.
"Katanya mau, nih makan."
Indira menaruh mangkuk berisi kuah ke atas tanah, kebetulan mereka makan bakso dengan duduk di atas matras, karena matras itu penuh oleh teman-teman Raya, maka Indira menaruh mangkuknya di atas tanah."Tapi ini tinggal kuahnya saja Tan."
Dian protes sambil menatap mangkuk berisi kuah."Iya memang, tapi kuah juga enak kok, bisa makan kuah bakso saja harusnya kamu bersyukur, jarang kan makan bakso?"
Meski bertanya, tetapi perkataan Indira terdengar seperti ledekan di telinga Dian. Karena rasa lapar yang mendera, terpaksa Dian menerima pemberian dari Indira."I_iya Tan, terima kasih ya," balas Dian lalu melahap kuah bakso, dengan sekuat tenaga menahan air mata agar tak tumpah.
Beeeepp ... beepp....
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Dian tentang kepedihan masa kecilnya bersama dua mahluk berhati iblis. Hampir saja wanita hamil itu terjungkal saking kagetnya.
"Eh Bu, jalan jangan ke tengah-tengah dong, mau mati apa?" hardik pemilik mobil itu.
"I_iya, maaf Pak," jawab Dian dengan perasaan bersalah.
'Ya Allah, aku harus ke mana sekarang?'
Dian bergumam dalam hati sembari menatap langit yang kian gelap, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan."Kenapa Raya dan Tante Indira selalu jahat dan tak pernah bisa melihatku bahagia? Kenapa mereka selalu menghancurkan kebahagiaanku? Aku sudah berjuang keras untuk mendapatkan kebahagiaan dengan bersekolah tinggi dan mendapatkan suami yang mapan, tapi lagi-lagi Raya datang menghancurkan semuanya dengan memfitnahku. Kenapa harus kamu, Raya?"
Dian berbicara sendiri sambil menangis."Mungkin saat ini kita kalah Nak, tapi kita gak boleh menyerah, kita harus membalas semua perbuatan mereka, mereka harus membayar luka masa kecil Mama, juga membayar luka karena telah merebut hak yang seharusnya milikmu."
Dian mengelus perut dengan lembut lalu menatap langit yang kian mendung laksana hati dan kehidupannya.Meskipun perih, tetapi dia yakin akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada bahagia setelah air mata, badai akan sirna dan langit cerah akan membentang, wanita dengan perut buncit itu terus memberikan energi positif pada dirinya sendiri untuk tetap bertahan dan bangkit."Lihat saja Raya, jika kamu anggap aku sebagai musuh, mari kita mulai permainan ini dan lihatlah siapa yang akan menangis nantinya."Dian tersenyum sinis membayangkan rencana demi rencana yang akan ia jalankan untuk memberi pelajaran pada Raya dan Indira. Sementara tangannya mengepal kuat hingga uratnya menonjol.Bersambung.
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글