Share

Bab 11

Theo mengulurkan tangannya dan memberikan sebungkus tisu kepada Anisa.

Anisa tertegun melihat kebaikan Theo. "Terima kasih."

Setelah Anisa mengambil tisu tersebut, Theo menutup kaca jendela dan pergi.

Pukul 10 pagi.

Di perusahaan Kintara Group.

Meskipun sudah bangkrut, para pegawai masih bertahan. Bagaimanapun Kintara Group adalah salah satu perusahaan terbesar di kota. Terlepas dari semua pemberitaan negatif, para karyawan tidak mau menyerah sampai ada keputusan lebih lanjut.

Jika tidak mengetahui kebangkrutan yang dialami perusahaan, Anisa pasti mengira perusahaan baik-baik saja saat melihat para pegawai yang tampak tenang.

Anisa masuk ke ruang rapat dengan didampingi wakil presdir.

Sesaat melihat kedatangan Anisa, pengacara langsung berkata, "Nona Anisa, aku turut berduka cita. Aku dipercayakan ayahmu untuk membacakan surat wasiat ini."

Anisa mengangguk.

"Ayahmu memiliki 6 properti, ini surat-suratnya. Silakan diperiksa," kata pengacara sambil memberikan dokumennya.

"Ayahmu memiliki 3 lahan parkir, 8 toko, dan 12 mobil." Pengacara kembali menyerahkan setumpuk dokumen.

Anisa tidak tahu menahu soal semua harta yang dimiliki Omar. Pertama Anisa tidak tertarik, kedua Omar tidak pernah memberitahunya.

Anisa agak terkejut mengetahui semua harga yang dimiliki ayahnya. Jika Omar memiliki aset sebanyak ini, kenapa tidak dijual untuk biaya pengobatan?

"Selain aset-aset tersebut, ayahmu juga memiliki perusahaan ini." Pengacara terdiam sejenak saat membahas masalah perusahaan. "Ayahmu ingin memberikan perusahaan ini kepada kamu. Tapi seperti yang kamu tahu, perusahaan ini terlilit utang dan mengalami kerugian."

"Rugi berapa banyak?" tanya Anisa.

Wakil presdir berdeham, lalu menjawab, "Sekarang perusahaan membutuhkan dana sebesar 1,6 triliun. Kalau kamu bersedia menerima warisan perusahaan, berarti kamu juga bersedia bertanggung jawab atas semua utang-utangnya. Semua aset-aset yang disebut harus dijual untuk membayar utang perusahaan."

Anisa terkejut, 1,6 triliun?

Meskipun semua aset dijual, totalnya juga tidak sampai 1,6 triliun!

"Anisa, tapi kamu juga berhak menolak semua warisan ini. Dengan begitu kamu tidak perlu menanggung utang ayahmu." Raut wajah wakil presdir terlihat sedih. "Tapi kuharap kamu bisa mempertimbangkannya dulu. Ayahmu bekerja keras untuk mendirikan perusahaan ini, apakah kamu tega melihatnya hancur begitu saja?"

"Bagaimana dengan Malia dan Aida?" tanya Anisa.

"Jangan bahas ibu tirimu! Harusnya dia juga bertanggung jawab atas kerugian yang dialami perusahaan. Beberapa tahun lalu dia mengutus adiknya untuk bekerja di departemen keuangan. Adiknya menggelapkan banyak uang, sekarang orangnya kabur entah ke mana." Wakil presdir menghela napas.

Anisa memijat kening, suaranya terdengar gemetaran. "Aku juga tidak mau perusahaan ayahku bangkrut, tapi dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?"

"Pinjam! Perusahaan sedang mengembangkan produk terbaru, sudah tahap akhir. Begitu produk baru diluncurkan, hasil penjualan bisa sedikit membantu operasional perusahaan," jawab wakil presdir.

"Pinjam sama siapa? Siapa yang mau meminjamkanku uang sebanyak itu?" Anisa mengerutkan alis.

"Pinjam sama bank. Kalau bank tidak mau memberikan pinjaman, cari investor yang mau mendanai. Pokoknya kita coba dulu, jangan langsung menyerah."

....

Tera Group.

Jendela besar membentang di sepanjang ruangan. Di ruangannya yang besar, Theo duduk di depan meja sambil membaca setumpuk dokumen yang ada di hadapannya.

Eden mengetuk pintu ruangan Theo, lalu masuk dan memberikan sebuah dokumen. "Pak Theo, utang Kintara Group mencapai hampir 2 triliun. Malia dan Aida kabur ke luar negeri, mereka naik penerbangan paling pagi. Sepertinya mereka tidak akan pulang sampai masalah perusahaan selesai. Aku rasa Nona Anisa akan melepaskan perusahaannya, Beliau tidak mungkin sanggup melunasi utang sebanyak ini."

Eden adalah asistennya Theo. Dia memberikan berkas-berkas yang dibawa sekaligus menjelaskan analisisnya kepada Theo.

Theo memang sedang memerlukan data-data Kintara Group.

Sebagai kepala keuangan Tera Group, Sabai Radiah memiliki pemikirannya sendiri.

"Eden, mari kita bertaruh!" kata Sabai sambil menggoyangkan cangkir kopi yang dipegang. "Aku yakin Anisa akan meminjam uang sama Theo. Sedikit banyak Theo pasti akan meminjamkannya."

Setelah keluar dari ruangan Theo, Eden dan Sabai membicarakan utang yang dihadapi Kintara Group.

"Dia tidak mungkin seberani itu." Eden menggelengkan kepala.

Sabai tersenyum sambil menyeruput kopinya. "Kamu tidak datang sih tadi malam. Anisa memecahkan sebotol anggur yang berumur 47 tahun di hadapan kami! Dia berani melawan Clara. Walaupun terlihat polos, dia lebih mengerikan daripada Clara."

"Oke, kita taruhan!" kata Eden.

"Yakin?" Sabai memastikan. "Kalau aku kalah, aku akan mentraktirmu kopi selama sebulan penuh. Kalau kamu kalah, kamu harus mentraktir seluruh jajaran direksi selama sebulan penuh. Bagaimana?"

"Oke."

....

Pada sore hari, Anisa sibuk menghubungi berbagai bank besar. Fakta di lapangan jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan.

Di antara 8 bank yang dihubungi, Kintara Group berutang kepada 6 di antaranya. Kedua bank yang tersisa tentu saja tidak berani meminjamkan uang.

"Anisa, ini adalah penjelasan rinci mengenai produk terbaru kita. Aku akan berusaha untuk membuat janji dengan kedua CEO bank itu. Kita harus menemui mereka, tapi kamu perlu berdandan dan berpakaian yang rapi." Wakil presdir memberikan setumpuk dokumen kepada Anisa.

"Kenapa harus dandan? Kayak gini tidak boleh?" tanya Anisa.

"Kamu terlihat pucat, nanti dikira tidak sopan," jawab wakil presdir.

"Em, aku pelajari dulu produknya."

"Baik, aku akan menghubungi kedua CEO bank tersebut. Setelah tahu jam yang pasti, aku akan memberi tahu kamu," jawab wakil presdir sambil beranjak pergi.

Pada pukul enam sore.

Eden mendapatkan informasi yang akurat. "Pak Sabai, Anisa tidak melepaskan perusahaannya. Sebenarnya aku agak kaget .... Selain itu dia juga mengajak CEO River Bank dan Sunshine Bank untuk makan malam bersama."

Sabai terlihat sangat kecewa. "Kedua CEO itu sangat genit, Anisa lagi masuk ke dalam perangkap buaya! Dia bahkan belum lulus kuliah, belum tahu betapa kejamnya dunia bisnis. Cuma aku bingung, kenapa dia tidak meminta bantuan Theo? Bagaimanapun Theo adalah suaminya, jauh lebih baik daripada kedua tua bangka itu."

Eden diam-diam melirik ke arah Theo dan mengamati raut wajahnya.

Ekspresi Theo terlihat mengerikan. Meskipun tidak mencintai wanita tersebut, Anisa tetap adalah istrinya.

Kalau sampai Anisa menemani kedua pria mesum itu, mau ditaruh di mana muka Theo? Eden ikut cemas setiap membayangkan masalah yang akan dibuat Anisa.

"Pak Theo, apakah kita perlu mengingatkan Nona Anisa?" tanya Eden.

"Tidak ada yang boleh menghubunginya!" jawab Theo sambil meremas kertas yang ada di depannya.

Theo ingin lihat apakah Anisa berani berbuat macam-macam di belakangnya.

Sabai berdeham. "Ehem. Bagaimana kalau kita minum? Aku traktir?"

Theo menutup laptopnya, lalu melirik pengawal yang ada di sebelah. Pengawal bergegas mengangguk dan mendorong kursi roda Theo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status