Share

Bab 17

Sesaat mendengar mobil yang melaju lewat, Anisa mengangkat kepalanya dan bergegas mengusap wajahnya yang berlinang air mata.

Apakah itu mobilnya Theo?

Setelah mengatur ulang suasana hati, dia pun berjalan ke arah pintu rumah. Sesampainya di depan, dia melihat mobil yang ada di depan pintu.

Anisa berdiri di dekat pintu, dia tidak mau berpapasan dengan Theo.

Sembari menunggu, Anisa mengangkat kepalanya dan memandang langit yang penuh dengan bintang-bintang dan berkelap-kelip.

Pemandangan yang cantik ....

Tak terasa Anisa sudah satu jam berdiri di sana. Mobil Theo bahkan sudah dimasukkan ke dalam garasi.

Lampu ruang tamu masih menyala, tetapi tak ada seorang pun di sana.

Anisa menarik napas panjang, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.

Theo duduk di balkon lantai 2 sambil menikmati segelas anggur. Anisa berdiri selama satu jam, Theo juga sudah memandangi Anisa selama satu jam.

Entah apa yang sedang dipikirkan Anisa, kenapa dia berdiri di sana?

Sejak kecil, Theo bertemu dengan banyak orang yang cerdas. Hanya orang-orang cerdas yang berhak menjadi temannya.

Keberadaan Anisa adalah sebuah kecelakaan. Dia jelas bukanlah wanita yang cerdas. Kalau Anisa adalah wanita yang cerdas, dia tidak mungkin terus membuat Theo marah.

Anisa adalah seorang wanita yang bodoh.

Namun melihatnya yang sedih, entah kenapa hati Theo juga ikut terenyuh. Ini adalah pertama kalinya dia merasakan gejolak seperti ini.

....

Anisa berjalan secara perlahan-lahan ke kamarnya.

Angin di luar sangat dingin. Anisa mengeluarkan selimut yang lebih tebal dan membungkus dirinya sendiri.

Malam ini Anisa tidur dengan nyenyak.

Keesokan pagi, Anisa merasa segar dan bersemangat.

Dia mandi, lalu mengganti baju dan turun ke bawah.

Bibi Wina sedang sibuk menyajikan sarapan.

"Dia sudah sarapan?" tanya Anisa.

"Belum, Tuan belum turun," jawab Bibi Wina.

Anisa mengangguk, lalu bergegas menghabiskan susu dan sarapannya. Anisa menghabiskan sarapannya dalam waktu kurang dari 5 menit.

"Nona takut banget sama Tuan?" Bibi Wina tertawa melihat tingkah Anisa.

"Bukan takut sih, aku cuma malas melihat dia." Anisa tersenyum lebar. "Kalau ada dia rasanya nggak bebas."

"Tidak apa-apa, Nona dan Tuan masih beradaptasi. Nona nanti makan siang di rumah?" tanya Bibi Wina.

"Nggak, ada kegiatan di kampus. Bibi tidak usah menungguku."

"Baiklah. Nona, sebentar, aku suruh sopir antar," kata Bibi Wina.

"Nggak perlu, aku naik taksi saja. Lagi pula dia kan perlu sopir." Anisa mencegat Bibi Wina.

"Di rumah ada 2 sopir, satu buat beli sayur, satu buat Tuan. Aku minta sopir yang satu lagi untuk mengantar Nona." Bibi Wina terus mendesak.

Sesampainya di kampus, Anisa berterima kepada sopir. "Pak, terima kasih. Bapak pulang saja, nanti aku naik taksi."

Setelah mobil pergi, seorang gadis menghampiri Anisa dan menepuk pundaknya. "Anisa, itu siapa?"

Anisa terkejut melihat keberadaan Sania, sahabatnya.

"Bukan siapa-siapa." Anisa dan Sania masuk berjalan masuk ke dalam kampus. "San, kayaknya aku nggak bisa lanjut S2."

Sania terkejut. "Gara-gara masalah keluargamu? Aku sudah dengar ceritanya dari ayahku."

"Sebenarnya aku juga nggak kepengen banget lanjut S2." Anisa tersenyum.

"Aku tahu. Habis lulus kamu mau langsung menikah sama pacarmu, 'kan? Kapan kamu mau kenalin pacarmu?" Sania mendesak.

Untuk masalah Leo, Anisa hanya menceritakannya kepada ibunya sendiri.

Sebagai seorang sahabat, Sani cuma tahu kalau Anisa sudah punya pacar, tetapi tidak mengetahui namanya.

"Sudah putus. Sania, kamu tahu rasanya dikhianati? Awalnya aku kira dia adalah pria yang baik, ternyata dia bajingan." Anisa menghela napas.

Sania menatap kedua mata Anisa yang memerah, lalu memeluk dan menghiburnya, "Anisa, jangan sedih. Kita masih muda, pasti ada pria yang lebih baik. Oke?"

"Daripada mengharapkan pria, lebih baik mengandalkan diri sendiri," jawab Anisa sambil tersenyum.

"Kalau nggak pernah disakiti, kita nggak akan bertumbuh. Kemarin di otakmu cuma ada pacarmu, tapi lihat dirimu sekarang? Jauh lebih dewasa!" Sania terus mendukung Anisa.

"Aku hanya ingin cepat lulus ...." Anisa menundukkan kepala.

"Kamu adalah mahasiswa berprestasi dan pintar. Masa depanmu pasti cerah!" jawab Sania.

Anisa tersipu malu mendengar pujian Sania.

Kelas selesai pukul 5 sore. Anisa dan Sania sudah janjian mau makan malam bersama.

Sesampainya di depan gerbang kampus, Sania menunjuk sebuah mobil Porsche yang tadi pagi mengantar Anisa. "Anisa, itu mobil yang mengantarmu, 'kan? Dia menjemputmu?"

Begitu melihat Anisa, sopir menurunkan kaca jendela dan memanggilnya.

Anisa tertegun, bukankah Anisa sudah bilang tidak perlu dijemput?

Anisa berlari ke arah mobil, lalu bertanya, "Ada apa? Aku sudah bilang tidak perlu dijemput."

Melihat keberadaan Sania, sopir membukakan mobil dan menjawab, "Nona, silakan masuk. Saya jawab nanti."

Anisa mengerutkan alis.

"Anisa, nggak apa-apa, lain kali saja!" teriak Sania.

"San, maaf, ya! Lain kali aku traktir," jawab Anisa, lalu masuk ke dalam mobil.

Sania melambaikan tangan. "Nggak perlu sungkan-sungkan. Kalau butuh bantuan, segera hubungi aku!"

Begitu masuk ke dalam mobil, sopir pun bertanya, "Nona, apakah kamu membuat Tuan marah?"

Anisa terkejut, dia membelalak dan menjawab, "Nggak, aku nggak melakukan apa-apa. Apakah dia yang menyuruhmu menjemput aku?"

"Em. Sebaiknya Nona mempersiapkan diri," jawab sopir.

Jantung Anisa berdegup sangat kencang. Otaknya terus berpikir keras, dia tidak merasa membuat Theo marah.

Anisa berusaha mengingat semua yang dilakukannya selama beberapa hari ini, tetapi dia tak kunjung menemukan alasan Theo marah.

Anisa tiba di rumah pada pukul 5.40.

Anisa masuk ke dalam rumah, lalu melepaskan sepatunya. Ketika menoleh ke ruang tamu, dia melihat sebuah sosok yang menyeramkan sedang duduk di sana.

Hari ini Theo mengenakan kemeja berwarna biru tua. Seperti biasa, wajahnya memancarkan aura yang mengintimidasi, sikapnya dingin dan mengerikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status