Share

Guru Bao

Bingwen berhasil berteduh di gua yang berada di dekat dia tadi jatuh. Gua itu tidak begitu besar dan tidak pula menyeramkan.

"Semoga tidak ada hal buruk lagi. Izinkan aku istirahat demi memulihkan kondisiku," gumam Bingwen.

Disekanya air hujan di wajahnya, karena luka cakaran harimau itu masih mengeluarkan darah. Bingwen merobek baju yang dia kenakan, untuk menutup luka tersebut. Jangan ditanya gimana rasanya, tentu sakit sekali. Namun Bingwen tidak bisa berbuat apapun selain menahan rasa sakit itu.

Mungkin akibat kelelahan dan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Bingwen pun terlelap begitu saja. Tanpa dia mengkhawatirkan akan adanya hewan buas lainnya.

Malam makin larut, hujan di luar gua juga sekarang sudah berhenti. Meninggalkan dingin yang membuat tubuh Bingwen menggigil. Bingwen terbangun dari tidurnya, kondisinya masih belum begitu pulih. Akan tetapi jauh lebih baik dari pada sebelumnya.

"Syukurlah ternyata gua ini jauh lebih aman dari pada tempat latihan." Bingwen mulai mengamati dalamnya gua tersebut.

"Nampaknya gua ini pernah disinggahi manusia," gumamnya. Ketika dia melihat adanya beberapa goresan di tembok-tembok gua.

"Aku rasa ini bukan goresan semata? Apa ya? Mirip orang yang sedang bertarung. Apa dulu ada orang yang menggambarnya di sini? Lalu apa maksudnya untuk meninggalkan jejak keberadaan orang itu?" Bingwen menyadari satu hal menarik dari coretan gambar di tembok tersebut.

Entah siapa yang melakukannya, tapi Bingwen terpegun dengan pedang yang digenggam oleh ksatria di dalam gambar tersebut.

"Pedang yang sangat indah dan keren. Aku baru pertama kali melihat ada pedang seperti ini, bahkan pedang Guru Bao saja tidak sebanding."

Bingwen menyentuh gambar pedang tersebut, seakan ada energi kuat yang memintanya untuk menyentuhnya. Ketika kulit jari jemarinya dia letakkan di gambar pedang tersebut, saat itulah Bingwen merasa ada perasaan asing yang dia rindukan.

"Kenapa aku merasa familiar dengan pedang ini?" gumamnya.

Berapa kali pun Bingwen berusaha mengingat ingatan tentang pedang tersebut, tapi tidak juga dia temukan. Hingga akhirnya Bingwen menganggap hal itu hanya khayalannya semata.

Perut Bingwen berbunyi begitu nyaring dan bergema di dalam gua itu, seharian ini dia belum mengisi perutnya sama sekali. Tidak aneh jika suara cacing yang hidup di dalam perutnya berontak dengan kuat.

"Haaa... Apa di gua ini ada makanan?" Bingwen melangkah perlahan, menyusuri gua tersebut. Tidak sangka setelah hujan yang teramat deras itu, bulan menampakkan dirinya. Sehingga memudahkan Bingwen untuk melihat.

"Tidak ada yang bisa di makan. Apakah aku harus keluar dari gua dan mencari makanan di luar sana? Tapi giman kalau ada harimau atau binatang buas lainnya?"

Bingwen tidak punya perlengkapan apa-apa, tidak mungkin juga berburu dalam keadaannya sekarang.

"Aku tunggu sampai besok saja kalau gitu, mungkin ada penduduk desa yang mencari kayu bakar. Dengan begitu aku bisa meminta tolong padanya," ucap Bingwen.

Anak lelaki itu kembali duduk dengan kaki selonjoran, lelahnya bukan main mengitari gua yang tidak seberapa luas itu.

"Mungkin karena aku luka-luka, jadinya kekuatan fisikku lebih buruk dari sebelumnya."

Bingwen mencoba memejamkan matanya kembali, tapi sialnya rasa lapar membuatnya susah untuk tidur. Akhirnya hal yang bisa dilakukan Bingwen saat ini hanya menatap langit-langit gua.

Dia teringat akan Guru Bao yang selalu memperhatikannya. Jika Guru Bao tahu dia hilang, pasti Guru Bao akan khawatir.

"Guru.... Aku kangen Guru..." Hampir saja Bingwen menangis.

Walau Bingwen selalu diperlakukan buruk oleh Ni Lou dan Ni Me, tapi tidak pernah sekalipun Bingwen menangis karenanya. Bagi Bingwen, menangis bukan cara menyelesaikan masalah. Menangis tidak akan membuatnya kuat.

"Sadarlah, Bingwen. Jangan lemah. Kalau seperti ini saja kamu tidak bisa menanganinya, maka kamu tidak akan pernah bisa maju."

Air mata yang hampir menyeruak itu dia tarik kembali, padahal tidak boleh ada yang melarang untuk menangis di saat suasana hati memang tidak mendukung untuk itu. Namun tidak bagi Bingwen. Kalau Ni Lou dan Ni Me memergokinya menangis, maka hukuman yang akan Bingwen terima jauh lebih banyak lagi.

"Ween....."

"Bingwen....!"

"Bingwen....!"

Sayup-sayup Bingwen seperti mendengar suara Guru Bao memanggil dirinya beberapa kali.

"Guru Bao? Apa benar itu suara Guru? Ku dengar ada penghuni gunung yang dapat meniru suara manusia?"

Bingwen bingung apa yang harus dia lakukan, dia tidak harus membalas atau tidak panggilan suara tersebut.

"Bingwen! Kamu ada di sini? Ini Guru Bao!" Suara itu kembali memanggil Bingwen. Kali terdengar sangat jelas, yang artinya dia tidak berhalusinasi. .

"Bingwen...!"

Bingwen bangun dari duduknya dan berjalan mendekati pinggiran gua yang tertutup oleh pohon.

"Benar itu Guru Bao!"

"Guru! Guru Bao! Saya ada di sini!"

Sekuat tenaga Bingwen memanggil sang guru. Suara panggilan Bingwen mengalahkan suara seraknya, karena tidak diberi minum seharian penuh.

Suara langkah kaki berlari menuju arahnya makin dekat, sesekali orang tersebut juga kerap kali memanggil kak.

"Bingwen! Akhirnya ketemu juga.…" Guru Bao dengan wajahnya yang penuh khawatir itu langsung memeluk tubuh anak muridnya itu.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu menderita banyak luka? Ni Lou bilang kalau kamu sedih karena tidak bisa menahan serangannya.Ni Lou juga bilang kalau tidak mau pulang dulu, sampai kamu berhasil menguasai jurus pertama," ujar Guru Bao.

"Tidak, Guru, Ni Lou berbohong. Bukan aku yang tidak mau pulang tapi mereka yang meninggalkanku, padahal saya terluka cukup parah."

Bingwen tidak mau lagi menutupi perbuatan Ni Lou dan Ni Me, biarlah jika dia dianggap sebagai tukang lapor.

"Lalu, kenapa dengan lenganmu? Apa Ni Lou yang memberikan luka di sekujur tubuhmu ini?" tanya Guru Bao.

"Bukan, Guru. Ini sebenarnya......."

Bingwen kemudian mulai menceritakan pertarungannya dengan harimau dan bagaimana dia jatuh dari tebing itu.

"Bingwen....!"

Pelukan Guru Bao makin erat, hampir membuat Bingwen kesulitan bernafas.

"Sungguh luar biasa kamu lolos dari target-an sang harimau. Pantas saja dari atas tebing sana ada jejak habis bertarung, lalu ada tanda kalau seseorang habis jatuh dari tebing."

"Sini, biar Guru obati lukamu."

Bingwen mengangguk dan menuruti perintah gurunya, dia duduk membelakangi sang guru. Bingwen mendengar gurunya bergumam sesuatu.

Bugh...!

Telapak tangan Guru Bao memukul kuat punggung Bingwen, yang membuat anak laki-laki itu terbatuk dan mengeluarkan darah.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Guru Bao.

"Iya, Guru. Guru, kenapa Guru sudah ada dini? Bukankah Guru akan kembali esok lusa?" Pertanyaan beruntun Bingwen tidak langsung dijawab sang guru.

"Urusanku lebih cepat selesai dari yang aku lihat, tapi saat aku kembali justru kamu yang menghilang," ucap Guru Bao.

Bingwen dan Guru Bao tidak menyadari ada sesuatu di pojok gua yang terus memperhatikannya. Bingwen yang mengalami proses penyembuhan secara bertahap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status