Share

Guru Bao

Author: Maesaro Ardi
last update Last Updated: 2024-02-16 00:19:47

Bingwen berhasil berteduh di gua yang berada di dekat dia tadi jatuh. Gua itu tidak begitu besar dan tidak pula menyeramkan.

"Semoga tidak ada hal buruk lagi. Izinkan aku istirahat demi memulihkan kondisiku," gumam Bingwen.

Disekanya air hujan di wajahnya, karena luka cakaran harimau itu masih mengeluarkan darah. Bingwen merobek baju yang dia kenakan, untuk menutup luka tersebut. Jangan ditanya gimana rasanya, tentu sakit sekali. Namun Bingwen tidak bisa berbuat apapun selain menahan rasa sakit itu.

Mungkin akibat kelelahan dan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Bingwen pun terlelap begitu saja. Tanpa dia mengkhawatirkan akan adanya hewan buas lainnya.

Malam makin larut, hujan di luar gua juga sekarang sudah berhenti. Meninggalkan dingin yang membuat tubuh Bingwen menggigil. Bingwen terbangun dari tidurnya, kondisinya masih belum begitu pulih. Akan tetapi jauh lebih baik dari pada sebelumnya.

"Syukurlah ternyata gua ini jauh lebih aman dari pada tempat latihan." Bingwen mulai mengamati dalamnya gua tersebut.

"Nampaknya gua ini pernah disinggahi manusia," gumamnya. Ketika dia melihat adanya beberapa goresan di tembok-tembok gua.

"Aku rasa ini bukan goresan semata? Apa ya? Mirip orang yang sedang bertarung. Apa dulu ada orang yang menggambarnya di sini? Lalu apa maksudnya untuk meninggalkan jejak keberadaan orang itu?" Bingwen menyadari satu hal menarik dari coretan gambar di tembok tersebut.

Entah siapa yang melakukannya, tapi Bingwen terpegun dengan pedang yang digenggam oleh ksatria di dalam gambar tersebut.

"Pedang yang sangat indah dan keren. Aku baru pertama kali melihat ada pedang seperti ini, bahkan pedang Guru Bao saja tidak sebanding."

Bingwen menyentuh gambar pedang tersebut, seakan ada energi kuat yang memintanya untuk menyentuhnya. Ketika kulit jari jemarinya dia letakkan di gambar pedang tersebut, saat itulah Bingwen merasa ada perasaan asing yang dia rindukan.

"Kenapa aku merasa familiar dengan pedang ini?" gumamnya.

Berapa kali pun Bingwen berusaha mengingat ingatan tentang pedang tersebut, tapi tidak juga dia temukan. Hingga akhirnya Bingwen menganggap hal itu hanya khayalannya semata.

Perut Bingwen berbunyi begitu nyaring dan bergema di dalam gua itu, seharian ini dia belum mengisi perutnya sama sekali. Tidak aneh jika suara cacing yang hidup di dalam perutnya berontak dengan kuat.

"Haaa... Apa di gua ini ada makanan?" Bingwen melangkah perlahan, menyusuri gua tersebut. Tidak sangka setelah hujan yang teramat deras itu, bulan menampakkan dirinya. Sehingga memudahkan Bingwen untuk melihat.

"Tidak ada yang bisa di makan. Apakah aku harus keluar dari gua dan mencari makanan di luar sana? Tapi giman kalau ada harimau atau binatang buas lainnya?"

Bingwen tidak punya perlengkapan apa-apa, tidak mungkin juga berburu dalam keadaannya sekarang.

"Aku tunggu sampai besok saja kalau gitu, mungkin ada penduduk desa yang mencari kayu bakar. Dengan begitu aku bisa meminta tolong padanya," ucap Bingwen.

Anak lelaki itu kembali duduk dengan kaki selonjoran, lelahnya bukan main mengitari gua yang tidak seberapa luas itu.

"Mungkin karena aku luka-luka, jadinya kekuatan fisikku lebih buruk dari sebelumnya."

Bingwen mencoba memejamkan matanya kembali, tapi sialnya rasa lapar membuatnya susah untuk tidur. Akhirnya hal yang bisa dilakukan Bingwen saat ini hanya menatap langit-langit gua.

Dia teringat akan Guru Bao yang selalu memperhatikannya. Jika Guru Bao tahu dia hilang, pasti Guru Bao akan khawatir.

"Guru.... Aku kangen Guru..." Hampir saja Bingwen menangis.

Walau Bingwen selalu diperlakukan buruk oleh Ni Lou dan Ni Me, tapi tidak pernah sekalipun Bingwen menangis karenanya. Bagi Bingwen, menangis bukan cara menyelesaikan masalah. Menangis tidak akan membuatnya kuat.

"Sadarlah, Bingwen. Jangan lemah. Kalau seperti ini saja kamu tidak bisa menanganinya, maka kamu tidak akan pernah bisa maju."

Air mata yang hampir menyeruak itu dia tarik kembali, padahal tidak boleh ada yang melarang untuk menangis di saat suasana hati memang tidak mendukung untuk itu. Namun tidak bagi Bingwen. Kalau Ni Lou dan Ni Me memergokinya menangis, maka hukuman yang akan Bingwen terima jauh lebih banyak lagi.

"Ween....."

"Bingwen....!"

"Bingwen....!"

Sayup-sayup Bingwen seperti mendengar suara Guru Bao memanggil dirinya beberapa kali.

"Guru Bao? Apa benar itu suara Guru? Ku dengar ada penghuni gunung yang dapat meniru suara manusia?"

Bingwen bingung apa yang harus dia lakukan, dia tidak harus membalas atau tidak panggilan suara tersebut.

"Bingwen! Kamu ada di sini? Ini Guru Bao!" Suara itu kembali memanggil Bingwen. Kali terdengar sangat jelas, yang artinya dia tidak berhalusinasi. .

"Bingwen...!"

Bingwen bangun dari duduknya dan berjalan mendekati pinggiran gua yang tertutup oleh pohon.

"Benar itu Guru Bao!"

"Guru! Guru Bao! Saya ada di sini!"

Sekuat tenaga Bingwen memanggil sang guru. Suara panggilan Bingwen mengalahkan suara seraknya, karena tidak diberi minum seharian penuh.

Suara langkah kaki berlari menuju arahnya makin dekat, sesekali orang tersebut juga kerap kali memanggil kak.

"Bingwen! Akhirnya ketemu juga.…" Guru Bao dengan wajahnya yang penuh khawatir itu langsung memeluk tubuh anak muridnya itu.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu menderita banyak luka? Ni Lou bilang kalau kamu sedih karena tidak bisa menahan serangannya.Ni Lou juga bilang kalau tidak mau pulang dulu, sampai kamu berhasil menguasai jurus pertama," ujar Guru Bao.

"Tidak, Guru, Ni Lou berbohong. Bukan aku yang tidak mau pulang tapi mereka yang meninggalkanku, padahal saya terluka cukup parah."

Bingwen tidak mau lagi menutupi perbuatan Ni Lou dan Ni Me, biarlah jika dia dianggap sebagai tukang lapor.

"Lalu, kenapa dengan lenganmu? Apa Ni Lou yang memberikan luka di sekujur tubuhmu ini?" tanya Guru Bao.

"Bukan, Guru. Ini sebenarnya......."

Bingwen kemudian mulai menceritakan pertarungannya dengan harimau dan bagaimana dia jatuh dari tebing itu.

"Bingwen....!"

Pelukan Guru Bao makin erat, hampir membuat Bingwen kesulitan bernafas.

"Sungguh luar biasa kamu lolos dari target-an sang harimau. Pantas saja dari atas tebing sana ada jejak habis bertarung, lalu ada tanda kalau seseorang habis jatuh dari tebing."

"Sini, biar Guru obati lukamu."

Bingwen mengangguk dan menuruti perintah gurunya, dia duduk membelakangi sang guru. Bingwen mendengar gurunya bergumam sesuatu.

Bugh...!

Telapak tangan Guru Bao memukul kuat punggung Bingwen, yang membuat anak laki-laki itu terbatuk dan mengeluarkan darah.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Guru Bao.

"Iya, Guru. Guru, kenapa Guru sudah ada dini? Bukankah Guru akan kembali esok lusa?" Pertanyaan beruntun Bingwen tidak langsung dijawab sang guru.

"Urusanku lebih cepat selesai dari yang aku lihat, tapi saat aku kembali justru kamu yang menghilang," ucap Guru Bao.

Bingwen dan Guru Bao tidak menyadari ada sesuatu di pojok gua yang terus memperhatikannya. Bingwen yang mengalami proses penyembuhan secara bertahap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Swordmaster   Menjadi Prajurit Bayaran

    "Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked

  • Bangkitnya Swordmaster   Trik sihir

    Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma

  • Bangkitnya Swordmaster   Sebuah janji

    Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa

  • Bangkitnya Swordmaster   Rencana Baru

    "Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan

  • Bangkitnya Swordmaster   Sebuah Kenyataan

    Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik

  • Bangkitnya Swordmaster   Menghadap Raja Peri Fei Gu

    "Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status