Share

Antara Hidup dan Mati

Degup jantung Bingwen menggila, setelah dia mengetahui sesuatu yang menghampirinya adalah seekor harimau.

Geraman dan sorot mata harimau itu begitu tajam, hingga Bingwen merasa kalau harimau tersebut tengah mengincarnya.

"S--sialan... Kenapa harus ketemu dengan harimau itu sekarang? Ternyata rumor kalau ada harimau di pegunungan ini itu benar. Apa yang harus aku lakukan?" Bingwen memutar otaknya, dia tidak mau mati konyol diterkam harimau kelaparan yang sering kali memakan hewan ternak penduduk di lereng gunung.

"Ayo berpikirlah, Bingwen. Gunakan otakmu jika tubuhmu tidak bisa diajak kerja sama!" Bingwen mengutuk dirinya sendiri.

Biarpun Bingwen lemah, tapi dia memiliki otak yang cerdas. Dia lambat dalam melawan balik serangan Ni Lou, tapi dengan daya observasi yang Bingwen miliki dia berhasil mengelak dari serangan Ni Lou.

Kalau saja Bingwen tidak pandai mengamati gerakan lawannya, mungkin sudah lama Bingwen mati di tangan Ni Lou.

"Karena aku tidak bisa lari dan juga terlalu beresiko melarikan diri ditengah guyuran hujan di pegunungan. Aku harus mencari cara untuk menyerang atau setidaknya melindungi diriku dari harimau tersebut."

Bingwen melihat ke sekelilingnya, dia mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai senjata. Retinanya menemukan dahan pohon berukuran cukup besar yang bisa dia gunakan sebagai alat tempurnya.

"Majulah ke sini harimau sialan!"

Kuda-kuda Bingwen sudah cukup sempurna, hanya saja dia yang sudah menerima banyak luka akibat ulah Ni Lou membuatnya makin tidak bisa bergerak bebas.

Harimau itu menggeram dan makin mendekati Bingwen, sesekali harimau tersebut juga memamerkan deretan gigi tajamnya.

Bulu kuduk Bingwen meremang, jika dia gagal mempertahankan keselamatan dirinya. Dia dapat pastikan gigi harimau itu akan mengoyak habis dagingnya yang tidak seberapa itu.

Grrr.....!

Grrr....!

Harimau tersebut melompat ke arah Bingwen, yang dapat dihindari oleh Bingwen. Beruntung. Ya, hanya itu yang Bingwen dapat ucapkan. Penglihatannya yang dari tadi sudah mulai buram itu masih bisa melihat gerakan harimau yang tiba-tiba menyerangnya.

Mungkin karena kesal gagal menerkam Bingwen, harimau itu pun kembali menyerang Bingwen. Lagi-lagi Bingwen dapat mengelak, dia juga bahkan berhasil menyerang balik sang harimau dengan pukulan dahan miliknya.

"Berhasil!" Seru Bingwen tatkala sang harimau terkena pukulannya.

"Ternyata benar apa yang dikatakan Guru Bao, jika aku terus berlatih maka suatu saat aku akan berhasil. Mungkin ini langkah awal dari keberhasilan tersebut," gumam Bingwen.

Kesenangan Bingwen tidak begitu lama dia rayakan, sebab dia sadar kalau harimau yang masih menginginkannya itu belum menyerah. Harimau tersebut terbangun dan kembali mendekati Bingwen.

Grrrr...!

Lompatan harimau itu jauh lebih cepat, hingga Bingwen hampir saja tidak bisa melihat ke mana arah harimau tersebut akan mendarat.

"Aarghhh...!" Lengan Bingwen tergores kuku tajam harimau. Lukanya cukup dalam.

Rasa perih dari luka yang menganga dan terkena air hujan teramat menyakitkan, darah segar mengalir dari asal luka tersebut.

"Sialan....!"

Bingwen memicingkan matanya, dia harus mengamati lebih baik lagi. Sekali lagi dia gagal atau meleset, maka bukan hanya lengannya saja yang terluka. Namun nyawanya juga menjadi taruhannya.

"Berpikirlah Bingwen...!"

Ketika Bingwen berada dalam kebuntuannya, dia hampir saja terjatuh. Berkat dahan yang dia pegang, dia jadikan dahan itu sebagai penyanggah tubuhnya.

"Batu?" Bingwen menyadari adanya batu di sebelah kakinya.

Diambilnya batu itu, saat harimau itu kembali mendekatinya maka dia akan melempar batu tersebut padanya.

Grrr.....!

Grrrr....!

"Brengsek, harimau ini sepertinya kelaparan. Makanya dia tidak mau melepaskannya. Dia tidak tahu kalau aku juga lapar....!"

Dahan kayu yang semula di tangan kanan, kini beralih di tangan kiri Bingwen. Bingwen mengambil ancang-ancang, dengan menggenggam erat batu yang dia temukan.

Grrrr...!

Harimau itu kembali melompat ke arah Bingwen, sialnya Bingwen kehilangan keseimbangan. Hingga dirinya saat ini berada di bawah kungkungan sang harimau.

Grrrr....!

"Siaall..." Bingwen tidak menemukan dahan yang semula dia pegang. Hanya batu yang menjadi senjatanya sekarang.

Harimau itu menggeram dan membuka mulutnya selebar mungkin, siap menerkam dan mencabik-cabik tubuh Bingwen.

"Tidak semudah itu, harimau sialan!" .

Bugh!!

Bingwen memukul kepala harimau dengan batu, dengan sisa tenaganya Bingwen menendang harimau itu hingga terpental beberapa langkah dari tempatnya berada.

"Berhasil...." ucap Bingwen.

Untuk beberapa saat harimau itu masih belum bergerak.

"Aku rasa pukulan batu itu sangat ampuh, aku harus keluar dari sini sekarang. Sebelum harimau itu kembali mengejarku."

Bingwen terseok-seok menjauhi tempatnya, meski dia tidak tahu ke mana dia harus pergi. Saat ini prioritas utamanya hanyalah bisa menemukan tempat persembunyian.

Sraaak....!

"Aarghhh....!"

Nasib buruk Bingwen belum usai, dia tersandung dan berguling-guling di turunan gunung itu. Kepalanya beberapa kali terbentur gundukan tanah dan juga batang pohon.

Dengan sekuat tenaga Bingwen menautkan tangannya pada batang pohon yang dekat dengan posisinya. Nafas Bingwen tersengal-sengal.

"Kenapa aku harus melalui semua ini?" tanyanya dalam hati. Nafas Bingwen hampir putus, kejadian tiba-tiba itu membuatnya senam jantung.

"Sakit..." Lukanya yang masih menganga itu pun makin menyakitkan.

Setelah dirasa cukup beristirahat, Bingwen kembali berjalan dengan tertatih-tatih. Dia menduga ada beberapa tulang rusuknya yang patah, tapi dia tidak ingin berpangku tangan. Harimau itu pasti saat ini sudah siuman dari pingsannya.

"Jika aku ingin selamat, aku harus keluar dari gunung ini." Pendengaran Bingwen dia aktifkan, walau Bingwen tidak yakin dia akan bisa menangkap suara harimau di tengah hujan yang masih turun dengan deras.

Sraaak....!

Kaki Bingwen terpeleset, tubuh kurus Bingwen kali ini terjun bebas dari tebing.

Brugh..!

Tubuh Bingwen jatuh menghantam batu besar di bawah tebing, syukurnya tebing itu tidak begitu tinggi.

Bingwen merasa tubuhnya tercerai berai, suara tulang yang beradu dengan batu besar itu menandakan kalau tulangnya banyak yang patah.

"A...duh....!"

Mata Bingwen makin berat, tapi dia masih memiliki tekad untuk bertahan hidup.

"Bangunlah, Bingwen. Dasar bodoh...." Susah payah Bingwen mengangkat tubuhnya, meski sia-sia.

Bingwen kali ini kalah oleh keadaan, tumbuhnya tidak mau mengikuti apa yang otaknya perintahkan. Hingga Bingwen kembali ambruk.

Tubuh anak lelaki itu terbujur di atas batu besar, diguyur oleh derasnya air hujan.

"Bukankah hujan membawa keberuntungan dan rezeki, tapi kenapa yang terjadi padaku justru sebaliknya?"

Gumaman Bingwen begitu lemah, matanya makin berkunang-kunang hingga dia tidak bisa melihat apapun. Bingwen kembali pingsan.

Suara gemuruh petir saling bersahutan, seolah memanggil Bingwen dari pingsannya. Hujan yang tadinya begitu deras pun, perlahan mulai reda. Setidaknya hal itu meringankan rasa sakit yang diderita Bingwen.

Berjam-jam lamanya Bingwen tidak sadarkan diri. Hingga sewaktu kesadarannya tah pulih, Bingwen memegangi kepalanya.

"Aku masih hidup." Bingwen mencoba duduk, pandangannya kali ini jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Tempat itu kan....!"

Bingwen hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status