Share

Perasaan Aneh

Penulis: Maesaro Ardi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-17 22:43:58

"Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen.

"Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang."

"Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang."

"A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen.

Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi.

"Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao.

Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru.

"Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya.

"Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," titah Guru Bao.

"Baik, Guru..." Bingwen mengamati sekelilingnya dari atas punggung Guru Bao. Dia tidak menemukan barang yang belum dibawa. Namun mata Bingwen terpaku pada satu sudut di dalam gua tersebut.

"Ada tidak, Bingwen?"

"T--tidak ada, Guru," jawab Bingwen. Bingwen tidak mengatakan tentang apa yang dia lihat.

"Mungkin aku salah lihat," gumam Bingwen.

Akhirnya guru dan murid itu pun meninggalkan gua tersebut, Guru Bao berjalan dengan hati-hati. Namun juga dengan kecepatan yang sedang.

Bingwen yang berada di gendongan sang guru hanya bisa merasa takjub. Padahal gurunya tersebut sudah berusia empat puluh tahun lebih, tapi Guru Bao tidak terlihat kelelahan sekali menggendongnya dengan iklim yang tidak bersahabat.

"Sesampainya kita nanti, aku akan memanggil Ni Lou dan Ni Me. Aku menitipkan kamu pada keduanya bukan untuk menjadikanmu sebagai samsak," ujar Guru Bao.

Dari nada suara yang Guru Bao, terdengar kalau laki-laki itu menahan emosi. Guru Bao kecewa dengan perilaku Ni Lou dan Ni Me, padahal keduanya merupakan murid terbaik.

"Kenapa kamu diam saja, Bingwen. Coba kalau aku tidak datang tepat waktu, entah banyakkamu masih hidup atau sudah mati," imbuh Guru Bao.

Kali ini Bingwen tidak biss membantah, mungkin memang sudah saatnya Ni Lou dan Ni mei mendapat hukuman.

Keduanya kembali terdiam, keheningan menyelimuti guru dan murid tersebut. Sebenarnya Bingwen masih penasaran dengan apa yang dia lihat, meski belum yakin dengan penglihatannya itu. Namun satu hal yang pasti, Bingwen merasa seperti ada sesuatu yang menariknya dan memintanya untuk memeriksa tempat tersebut.

Namun karena Bingwen tidak ingin membuat gurunya menunggu lama, dia akhirnya hanya mengabaikannya.

"Aku akan ke sini lagi, jika kondisiku sudah membaik," gumam Bingwen.

Ternyata butuh waktu cukup lama sampai keduanya tiba di rumah Guru Bao.

"Ayah....! Apa yang terjadi?" Seorang gadis terburu-buru berjalan menghampiri Guru Bao.

"Mei Lin, jangan berlarian nanti kamu jatuh. Tolong Ayah untuk menyiapkan obat-obatan dan kain perban."

Guru Bao berjalan berdampingan dengan putri tunggalnya, Mei Lin. Gadis itu langsung menjalankan apa yang sang ayah minta. Guru Bao menurunkan Bingwen yang tertidur di pundaknya dengan perlahan ke tempat tidur yang terbuat dari bambu.

Mei Lin menghampiri sang ayah dengan tangan penuh akan benda yang diminta ayahnya, "Apa yang terjadi dengan Bingwen, Ayah?"

"Sepertinya Ni Lou dan Ni Me kembali berulah, anak ini terluka cukup parah ditinggalkan begitu saja di gunung. Bingwen bilang dia sempat melawan harimau sebelum akhirnya dia terjatuh dari tebing di belakang gunung itu," jawab Guru Bao.

"Astaga...! Mereka masih saja menggangu Bingwen?" Mei Lin hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Sebab Ni Lou dan Ni Me selalu bersikap baik dan seolah peduli terhadap Bingwen. Namun ternyata justru sebaliknya.

"Pasti Bingwen kesakitan dan ketakutan di atas gunung sana. Mereka kok tega sekali," ujar Mei Lin.

Guru Bao tidak menyahuti ucapan putrinya, dia hanya fokus akan penyembuhan luka luar Bingwen. Dibantu dengan Mei Lin, akhirnya Bingwen telah diobati.

Keesokan harinya Bingwen bangun dengan tubuh yang jauh lebih segar dari pada kemarin.

"Mei Lin, terima kasih karena sudah mengurusku," ucap Bingwen saat Mei Lin masuk ke kamarnya dengan nampan ditangannya.

"Tidak perlu memikirkan hal itu, gimana keadaanmu sekarang?"

"Berkat Guru dan kamu, sekarang aku lebih baik. Oh iya, di mana Guru Bao?"

"Guru sedang menghukum Ni Lou dan Ni Me," jawab Mei Lin. Dia mengambil mangkuk berisi bubur dan diserahkan pada Bingwen.

"Menghukum?" Wajah Bingwen memucat, dia tidak menyangka Guru Bao akan langsung bertindak setelah kejadian kemarin. Padahal dia sudah berusaha untuk menutupinya dari sang guru.

"Sudah, jangan terlalu banyak berpikir. Makanlah dulu, kamu pasti lapar bukan?"

Bingwen memang lapar, tapi dalam situasi sekarang dia jadi tidak begitu berselera. Namun karena Mei Lin sudah susah payah memasak makanan untuknya, dia pun menghabiskan bubur tersebut.

"Lain kali, kalau mereka bersikap keterlaluan dan melampaui batas kamu harus lapor pada Ayah. Jangan sembunyikan semuanya sendirian. Kamu tidak tahu kan betapa Ayah khawatir," ujar Mei Lin.

"Maaf... Aku tidak bermaksud untuk itu. Aku hanya tidak mau merepotkan Guru. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa, tapi ternyata aku masih belum mampu untuk itu. Kamu juga pasti kecewa denganku bukan?"

Bingwen tertunduk lesu, kalau boleh jujur dia tidak ingin membuat Guru Bao dan Mei Lin kecewa. Hanya keduanya yang selalu berpihak padanya, Mei Lin yang lebih muda dua tahun darinya mempunyai pembawaan yang tenang. Hal itu yang membuat Bingwen merasa nyaman untuk mengungkapkan segala kegundahannya.

Tuk..!

Mei Lin menjitak kepala Bingwen, "Jangan berpikiran sempit begitu, kamu kira aku akan kecewa hanya dengan hal itu? Aku tahu seberapa keras kamu berusaha. Mungkin sekarang kamu belum bisa mencapai apa yang kamu inginkan, tapi percayalah suatu saat kamu akan bisa melampaui apa yang kamu inginkan."

Bingwen menatap lurus ke wajah teduh Mei Lin.

"Aku tidak menyangka kamu lebih muda dari ku, Mei Lin."

"Makanya dengarkan ucapanku ini wahai orang yang jauh lebih tua tapi masih seperti anak kecil," sahut Mei Lin sambil mendabik dadanya.

Keduanya pun tertawa bersama, sejenak Bingwen melupakan semua hal yang membuatnya terpuruk.

"Menurutmu, kapan aku bisa keluar? Aku bosan terus berbaring. Ada yang ingin aku lakukan," kata Bingwen setelah tawanya reda.

"Hei, kamu baru juga mendapat perawatan. Apa yang mau kamu lakukan dengan tubuhmu itu? Jangan bilang kamu mau melakukan hal yang nekat lagi?" Mei Lin tahu betul sifat Bingwen.

Bingwen yang pantang menyerah itu selalu berlatih diam-diam tanpa sepengetahuan Guru Bao. Karena Bingwen tidak bisa mengandalkan Ni Lou dan Ni Me, satu-satunya jalan hanyalah berlatih sendiri.

"Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal yang berbahaya. Hanya saja, ada yang ingin aku pastikan. Kalau kamu tidak percaya padaku, kita bisa pergi bersama. Gimana?"

"Hm... Nantilah aku pikirkan dulu. Kesembuhanmu jauh lebih penting sekarang. Sudah jangan banyak bicara, istirahatlah lagi, aku mau ke ladang." Mei Lin meninggalkan Bingwen agar Bingwen bisa istirahat.

"Aku harap bisa segera sembuh, aku penasaran dengan goa itu," gumam Bingwen.

Bingwen masih belum bisa melupakan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya, terlebih saat dia hendak meninggalkan gua. Perasaan yang seolah memintanya untuk kembali, tapi Bingwen tidak mengerti kenapa dia bisa merasakan hal tersebut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bangkitnya Swordmaster   Menjadi Prajurit Bayaran

    "Apa kamu yakin surat yang kita kirimkan itu akan sampai ke tangan Guru Bao?" tanya Ming ketika Bingwen kembali. Ming membiarkan Bingwen menghabiskan makanannya lebih dulu, sama seperti dia yang kelaparan. Bingwen pun pasti demikian. Apalagi Bingwen yang lebih banyak menggunakan tenaga dari pada dia. "Iya tenang saja. Hanya aku dan Guru Bao yang paham tentang metode itu," jawab Bingwen. Diambilnya beberapa uang koin perak dan memberikannya pada pemilik kedai. Uang yang dia miliki pun makin berkurang. Dia harus mencari pekerjaan sementara sambil menunggu surat balasan dari Guru Bao. Setidaknya Minggu ini dia harus menetap di tempat ini terlebih dahulu. "Kita mau ke mana sekarang?" Tanya Ming. "Cari penginapan, kita kehabisan uang." "Oh! Kebetulan, tadi aku lihat ada orang yang sedang mencari prajurit bayaran. Katanya untuk mengisi kekosongan saat acara festival rakyat berlangsung, apa kita coba saja?" Ming sempat mendengar obrolan para pemuda yang duduk tidak jauh darinya di ked

  • Bangkitnya Swordmaster   Trik sihir

    Setelah perjalanan yang cukup panjang, kini Bingwen sudah berada di pusat kota kekaisaran. Suasana di pusat kota jauh lebih ramai dari pada di tempat lainnya, mengingat banyaknya aktivitas yang dilakukan penduduk setempat maupun pendatang. Tidak aneh juga jika pusat kota jauh lebih hidup, di mana di sini lah tempat mereka saling melakukan transaksi jual beli. Barang yang diperdagangkan pun jauh lebih beragam. Kain-kain sutra dengan kualitas terbaik, giok yang beraneka jenis ragamnya dan kualitasnya. Pandai besi yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga senjata yang dia buat pun dijamin bagus. Di saat semua kemewahan tersedia di pusat kota kekaisaran, bukan tidak mungkin masih adanya tindak kejahatan. Pencopet ada di mana-mana, jika tidak ingin uang atau benda berhagamu hilang. Maka kamu harus lebih hati-hati dengan barang bawaanmu. "Kita mau ke mana, Bingwen?" tanya Ming. "Ayo cari makan dulu, kamu pasti lapar." Dari tadi Bingwen dapat mendengar gemuruh dari perut Ming. Ya ma

  • Bangkitnya Swordmaster   Sebuah janji

    Baik Bingwen maupun Ming keduanya tercengang dengan apa yang mereka dengar. Bingwen memang menduga bahwa masih ada keturunan penyihir putih yang tersisa, tapi tidak dengan kenyataan bahwa Fei Hung yang selama ini dia kenal ternyata salah satunya. Bahkan empat keturunan penyihir putih yang tersisa. "Jadi, kamu benar keturunan langsung dari penyihir putih ini?" tanya Ming yang masih tidak percaya dengan semua hal yang dia ketahui. Fakta bahwa bangsa peri itu nyata saja merupakan hal yang mengejutkan bagi, Ming. Apa lagi makhluk yang ada di depannya ini merupakan keturunan dari penyihir putih dengan bangsa peri. "Begitulah, aku dan ketiga kakak laki-laki ku. Jadi totalnya ada empat, setelah ibu kami meninggal setelah melahirkanku," ujar Fei Hung. Ada mendung di raut wajah Fei Hung, ketika dia mengatakan meninggalnya sang ibu yang mana merupakan penyihir putih yang murni terakhir. Pasti ada rasa bersalah di hati Fei Hung, menyalahkan takdir. "Hei, jangan bersedih. Maaf ya kalau ucapa

  • Bangkitnya Swordmaster   Rencana Baru

    "Ambil ini," ucap Fei Hung sambil memberikan sebuah alat pada Bingwen. "Apa ini?" "Alat komunikasi, jika kamu mengalami kesulitan dalam rencanamu maka jangan segan untuk menghubungiku." "Eh, tapi, bukankah ayahmu bilang kalau dia tidak akan ikut campur dengan masalah kami?" tanya Ming. "Ayah hanya mengatakan saja, tapi bukan benar-benar akan dilakukan. Tidak mungkin kami diam saja jika benar para penyihir ilmu hitam itu ikut terlibat," sahut Fei Hung. Fei Hung kemudian menceritakan alasan kenapa bangsa peri menjauh dari hubungan kerja sama dengan bangsa manusia dan penyihir ilmu hitam. Dua ratus tahun yang lalu, ada dua ilmu sihir yang ada di kontinen saat itu. Penyihir putih yang menggunakan ilmu sihirnya untuk menolong siapapun yang membutuhkan, termasuk bangsa manusia. Awalnya ketiga ras ini hidup dalam kerukunan yang damai, hingga suatu saat ketua penyihir ilmu hitam mengetahui kenyataan bahwa pihak penyihir putih mengetahui adanya sihir terlarang yang telah di segel ribuan

  • Bangkitnya Swordmaster   Sebuah Kenyataan

    Raja Fei Gu, terdiam untuk beberapa saat. Sebab apa yang ditanyakan Bingwen bukan menjadi tanggung jawabnya. Ada batas yang tidak boleh dilanggar, meski penyihir hitam dan para peri tidak saling hidup berdampingan. Selagi kelompok penyihir hitam tersebut tidak melakukan kesalahan atau mengganggu bangsa peri terlebih dahulu, maka Raja Fei Gu juga tidak akan memulai duluan. "Katakan apakah yang kamu tanyakan ini berhubungan dengan kerjaan peri. Sebab apa yang kamu tanyakan itu murni berhubungan dengan manusia saja, tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa peri," ujar Raja Fei Gu. Tergambar raut kekecewaan dan kesedihan di wajah Bingwen. Ketika harapan yang dia yakini telah dipatahkan langsung oleh sang raja. Menyadari suasana hati Bingwen yang langsung gelap, Fei Hung berjalan ke arah tahta ayahnya. "Ayah, izinkan saya berbicara sebentar dengan Ayah." Fei Hung tidak mengatakan dengan suara latang, sebab apa yang akan dia katakan adalah sebuah rahasia besar. Sesudah Fei Hung berbisik

  • Bangkitnya Swordmaster   Menghadap Raja Peri Fei Gu

    "Jadi? Kenapa dua manusia ini bisa ada di wilayah kekuasaan kita?" tanya Fei Zhi yang masih tidak suka akan kedatangan Bingwen dan Ming. Bingwen tidak gentar sedikitpun dengan tekanan yang diberikan oleh kakak laki-laki Fei Hung. Di saat Ming ketakutan dan tidak bisa berbicara dengan benar, Bingwen justru tersenyum saja melihat kelakuan Ming. "Apa yang kamu lakukan? Beginikah sikap manusia tidak tahu diri yang tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Apa kamu kira aku ini badut yang bisa kamu tertawakan seperti itu?" Fei Zhi makin kesal akan tingkah lamu Bingwen yang disangka untuknya, padahal tidak demikian. "Oh, maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Saya tidak menertawakan Anda, tapi pada teman saya ini. Padahal dia anak yang cerewet, tapi sekarang dia bahkan tidak bisa berkata sepatah kata pun," tutur Bingwen. Bingwen tidak mau memberi kesan buruk pada orang yang mungkin membantunya, makanya dia sebisa mungkin memperhatikan kalimat yang dia ucapk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status