Share

Perasaan Aneh

"Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen.

"Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang."

"Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang."

"A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen.

Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi.

"Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao.

Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru.

"Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya.

"Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," titah Guru Bao.

"Baik, Guru..." Bingwen mengamati sekelilingnya dari atas punggung Guru Bao. Dia tidak menemukan barang yang belum dibawa. Namun mata Bingwen terpaku pada satu sudut di dalam gua tersebut.

"Ada tidak, Bingwen?"

"T--tidak ada, Guru," jawab Bingwen. Bingwen tidak mengatakan tentang apa yang dia lihat.

"Mungkin aku salah lihat," gumam Bingwen.

Akhirnya guru dan murid itu pun meninggalkan gua tersebut, Guru Bao berjalan dengan hati-hati. Namun juga dengan kecepatan yang sedang.

Bingwen yang berada di gendongan sang guru hanya bisa merasa takjub. Padahal gurunya tersebut sudah berusia empat puluh tahun lebih, tapi Guru Bao tidak terlihat kelelahan sekali menggendongnya dengan iklim yang tidak bersahabat.

"Sesampainya kita nanti, aku akan memanggil Ni Lou dan Ni Me. Aku menitipkan kamu pada keduanya bukan untuk menjadikanmu sebagai samsak," ujar Guru Bao.

Dari nada suara yang Guru Bao, terdengar kalau laki-laki itu menahan emosi. Guru Bao kecewa dengan perilaku Ni Lou dan Ni Me, padahal keduanya merupakan murid terbaik.

"Kenapa kamu diam saja, Bingwen. Coba kalau aku tidak datang tepat waktu, entah banyakkamu masih hidup atau sudah mati," imbuh Guru Bao.

Kali ini Bingwen tidak biss membantah, mungkin memang sudah saatnya Ni Lou dan Ni mei mendapat hukuman.

Keduanya kembali terdiam, keheningan menyelimuti guru dan murid tersebut. Sebenarnya Bingwen masih penasaran dengan apa yang dia lihat, meski belum yakin dengan penglihatannya itu. Namun satu hal yang pasti, Bingwen merasa seperti ada sesuatu yang menariknya dan memintanya untuk memeriksa tempat tersebut.

Namun karena Bingwen tidak ingin membuat gurunya menunggu lama, dia akhirnya hanya mengabaikannya.

"Aku akan ke sini lagi, jika kondisiku sudah membaik," gumam Bingwen.

Ternyata butuh waktu cukup lama sampai keduanya tiba di rumah Guru Bao.

"Ayah....! Apa yang terjadi?" Seorang gadis terburu-buru berjalan menghampiri Guru Bao.

"Mei Lin, jangan berlarian nanti kamu jatuh. Tolong Ayah untuk menyiapkan obat-obatan dan kain perban."

Guru Bao berjalan berdampingan dengan putri tunggalnya, Mei Lin. Gadis itu langsung menjalankan apa yang sang ayah minta. Guru Bao menurunkan Bingwen yang tertidur di pundaknya dengan perlahan ke tempat tidur yang terbuat dari bambu.

Mei Lin menghampiri sang ayah dengan tangan penuh akan benda yang diminta ayahnya, "Apa yang terjadi dengan Bingwen, Ayah?"

"Sepertinya Ni Lou dan Ni Me kembali berulah, anak ini terluka cukup parah ditinggalkan begitu saja di gunung. Bingwen bilang dia sempat melawan harimau sebelum akhirnya dia terjatuh dari tebing di belakang gunung itu," jawab Guru Bao.

"Astaga...! Mereka masih saja menggangu Bingwen?" Mei Lin hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Sebab Ni Lou dan Ni Me selalu bersikap baik dan seolah peduli terhadap Bingwen. Namun ternyata justru sebaliknya.

"Pasti Bingwen kesakitan dan ketakutan di atas gunung sana. Mereka kok tega sekali," ujar Mei Lin.

Guru Bao tidak menyahuti ucapan putrinya, dia hanya fokus akan penyembuhan luka luar Bingwen. Dibantu dengan Mei Lin, akhirnya Bingwen telah diobati.

Keesokan harinya Bingwen bangun dengan tubuh yang jauh lebih segar dari pada kemarin.

"Mei Lin, terima kasih karena sudah mengurusku," ucap Bingwen saat Mei Lin masuk ke kamarnya dengan nampan ditangannya.

"Tidak perlu memikirkan hal itu, gimana keadaanmu sekarang?"

"Berkat Guru dan kamu, sekarang aku lebih baik. Oh iya, di mana Guru Bao?"

"Guru sedang menghukum Ni Lou dan Ni Me," jawab Mei Lin. Dia mengambil mangkuk berisi bubur dan diserahkan pada Bingwen.

"Menghukum?" Wajah Bingwen memucat, dia tidak menyangka Guru Bao akan langsung bertindak setelah kejadian kemarin. Padahal dia sudah berusaha untuk menutupinya dari sang guru.

"Sudah, jangan terlalu banyak berpikir. Makanlah dulu, kamu pasti lapar bukan?"

Bingwen memang lapar, tapi dalam situasi sekarang dia jadi tidak begitu berselera. Namun karena Mei Lin sudah susah payah memasak makanan untuknya, dia pun menghabiskan bubur tersebut.

"Lain kali, kalau mereka bersikap keterlaluan dan melampaui batas kamu harus lapor pada Ayah. Jangan sembunyikan semuanya sendirian. Kamu tidak tahu kan betapa Ayah khawatir," ujar Mei Lin.

"Maaf... Aku tidak bermaksud untuk itu. Aku hanya tidak mau merepotkan Guru. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa, tapi ternyata aku masih belum mampu untuk itu. Kamu juga pasti kecewa denganku bukan?"

Bingwen tertunduk lesu, kalau boleh jujur dia tidak ingin membuat Guru Bao dan Mei Lin kecewa. Hanya keduanya yang selalu berpihak padanya, Mei Lin yang lebih muda dua tahun darinya mempunyai pembawaan yang tenang. Hal itu yang membuat Bingwen merasa nyaman untuk mengungkapkan segala kegundahannya.

Tuk..!

Mei Lin menjitak kepala Bingwen, "Jangan berpikiran sempit begitu, kamu kira aku akan kecewa hanya dengan hal itu? Aku tahu seberapa keras kamu berusaha. Mungkin sekarang kamu belum bisa mencapai apa yang kamu inginkan, tapi percayalah suatu saat kamu akan bisa melampaui apa yang kamu inginkan."

Bingwen menatap lurus ke wajah teduh Mei Lin.

"Aku tidak menyangka kamu lebih muda dari ku, Mei Lin."

"Makanya dengarkan ucapanku ini wahai orang yang jauh lebih tua tapi masih seperti anak kecil," sahut Mei Lin sambil mendabik dadanya.

Keduanya pun tertawa bersama, sejenak Bingwen melupakan semua hal yang membuatnya terpuruk.

"Menurutmu, kapan aku bisa keluar? Aku bosan terus berbaring. Ada yang ingin aku lakukan," kata Bingwen setelah tawanya reda.

"Hei, kamu baru juga mendapat perawatan. Apa yang mau kamu lakukan dengan tubuhmu itu? Jangan bilang kamu mau melakukan hal yang nekat lagi?" Mei Lin tahu betul sifat Bingwen.

Bingwen yang pantang menyerah itu selalu berlatih diam-diam tanpa sepengetahuan Guru Bao. Karena Bingwen tidak bisa mengandalkan Ni Lou dan Ni Me, satu-satunya jalan hanyalah berlatih sendiri.

"Kamu tenang saja, aku tidak akan melakukan hal yang berbahaya. Hanya saja, ada yang ingin aku pastikan. Kalau kamu tidak percaya padaku, kita bisa pergi bersama. Gimana?"

"Hm... Nantilah aku pikirkan dulu. Kesembuhanmu jauh lebih penting sekarang. Sudah jangan banyak bicara, istirahatlah lagi, aku mau ke ladang." Mei Lin meninggalkan Bingwen agar Bingwen bisa istirahat.

"Aku harap bisa segera sembuh, aku penasaran dengan goa itu," gumam Bingwen.

Bingwen masih belum bisa melupakan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya, terlebih saat dia hendak meninggalkan gua. Perasaan yang seolah memintanya untuk kembali, tapi Bingwen tidak mengerti kenapa dia bisa merasakan hal tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status