Share

Awal Mula

Part 6

Di rumah Nuning dan Jamil. 

"Dik, sudahlah. Jangan usil sama keluarga Abi!" kata Jamil mengingatkan ketika melihat istrinya bersiap mengirimkan demit ke sana. "Kita 'kan dengan mudah mendapatkan tumbal dari yang lainya. Kita buang uang di pasar saja banyak anak-anak yang ambil dan menjadi tumbal kita. Tanpa harus susah-susah," terang jamil.

"Nyi Ratu sangat menyukai Mila. Lagi pula, kamu tidak ikut apa-apa. Semuanya, aku yang mengerjakan. Tugasmu hanya menutup mulut saja!" cecar Nuning kepada suaminya sendiri. Memang, Nuninglah dalang di balik semuanya, yang memiliki ide mencari pesugihan pun juga Nuning. Ia jugalah yang menjalankan tapa brata di gunung kawi tiga tahun yang lalu. Pertama kali mereka mengambil pesugihan.

"Kita sudah kaya raya. Apa kita tidak bisa menghentikan semuanya!" ujar Jamil. Ia lelah dengan segala ritual yang selalu di jalaninya. 

"Apa kamu sudah siap mati? Heh!" 

"Maksudmu, Dik?" Jamil tak mengerti. 

"Aku sudah membuat perjanjian dengan Nyi Ratu. Aku tidak bisa mengakhiri semua ini kecuali kalau kita mati!" 

"Lalu, Ayu dan Dimas?" tanya Jamil. Ayu adalah anak pertama mereka berumur sembilan tahun, sementara Dimas berusia enam tahun. 

"Itulah sebabnya. Makanya aku masukan mereka ke pondok pesantren. Agar anak-anak kita menjadi ahli agama dan bisa menyelamatkan diri mereka sendiri nanti!" 

"Maksudnya menyelamatkan diri mereka apa, Dik?" Jamil sungguh tak mengerti.

"Kamu tahu sendiri. Bukan hanya satu pesugihan yang ku jalani. Seluruh keluarga kita, sudah kuserahkan namanya. Termasuk Ayu dan Dimas!" 

"Apa?! Lalu buat apa semua ini?" 

"Ah, sudahlah. Lagi pula ini semua salahmu. Kalau saja kamu mampu membahagiakan aku seperti Abi memenuhi semua kebutuhan Dyah!" 

"Jangan bilang kalau kamu masih menaruh hati padanya!" 

"Dyah memang beruntung!" ucap Nuning mengakhiri perdebatanya dengan Jamil. Nuning memang menaruh hati kepada Abi sedari dulu, sayang cinta itu harus bertepuk sebelah tangan.

Kehidupan Abi dan Dyah yang adem ayem selalu membuat iri Nuning. Abi sudah yatim piatu sejak berumur sepuluh tahun. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara. Abi mengemban tugas sebagai orang tua untuk adik-adiknya. Terbiasa hidup keras membuat Abi tahan banting. Usaha tak menghianati hasil. Susah payah Abi bisa membesarkan adik-adiknya. Kini adiknya sudah berumah tangga dan punya kehidupan masing-masing. 

Abi sendiri bekerja sebagai blantik kambing. Setiap hari senin dan kamis ia ke pasar untuk berjual beli kambing. 

Bersama Dyah, akhirnya Abi mampu membeli sepetak sawah. Raja kaya seperti kambing dan sapi pun di milikinya. Sangat bertolak belakang dengan kehidupan Nuning yang serba kekurangan. Jamil yang hanya bekerja serabutan dan buruh tani. Kurang bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Rumah reot dari bambu menjadi tempat benaung keluarga mereka. Tadinya itu tidak mengapa. Sampai akhirnya sesuatu terjadi.

Semua itu berawal dari rasa malu dan marah jadi satu. 

Kala itu ....

"Sudah tua bukanya insyaf! Ingat umur! Malah, maling!"

"Eling Mak ... eling. Inget umur!"

"Dasar maling!" umpatan demi umpatan itu di tujukan kepada Mak Ijah yang sudah tua renta. 

"Ada apa ya, kok rame pagi-pagi?" gumam Nuning yang masih belum sadar kalau ibunya sedang di hakimi masa.

Nuning yang sedari tadi sibuk di belakang rumah memberi makan ayam, sedikit heran dengan suara riuh di depan. Suasana desa yang biasanya sepi mendadak rame.

"Ning! Nuning!" suara Pak Burhan lantang.

"Eh, ada yang manggil." Nuning tergopoh berlari ke depan ingin tau, kenapa sepagi ini, ada yang mencarinya. Betapa kagetnya Nuning setelah sampai di depan, ia melihat Emaknya dipegang beramai ramai seperti tahanan polisi.

"Astaqfirullohaladzim, Emak! Ada apa dengan Emak saya?!"

Teriak Nuning Histeris. Dia pikir Emaknya jatuh atau kenapa-kenapa hingga harus diantar beramai- ramai ke rumah. 

"Ini!" Pak Burhan mendorong Mak Ijah dengan kasar hingga tubuh rentah itu hampir jatuh tersunngkur ke tanah. 

"Allahuakbar!" 

Nuning dengan sigap menangkap tubuh Emaknya, sebelum tubuh renta itu jatuh.

"Mak, nggak apa-apa Mak?" tanya Nuning. Dirabanya tubuh Emak Ijah dari atas sampai bawah, memastikan tak ada satu pun yang terluka.

Mak Ijah menangis.

"Ada apa dengan Emak saya. Memangnya kalian tidak punya hati, menyeret dan mendorong orang tua, hah!" bentak Nuning sambil memeluk erat tubuh emaknya. Nuning marah besar mendapati Emaknya diperlakukan tidak manusiawi oleh orang-orang.

"Emakmu itu maling! Kalau saja aku tidak ingat dia sudah tua. Mungkin suda aku seret ke penjara biar masuk bui sekalian."

"Jaga Emak kamu baik-baik. Biar nggak nyolong lagi!" pesan Pak Burhan sembari membubarkan warga.

"Ayo pulang saudara-saudara!" 

Cih. Pak Burhan membuang ludah di depan Nuning sebelum pergi membuat darah Nuning semakin mendidih. Mata Nuning berkaca-kaca. Menyimpan rasa marah yang luar biasa. 

🌿🌿🌿

Kini tinggal Nuning dan Emak nya di teras rumah menangis dan meraung sambil berpelukan. Nuning memeluk tubuh renta itu agar ia merasa tenang dan mastikan semua akan baik-baik saja.

"Ayo masuk Mak!" 

Di bopongnya tubuh rentah itu masuk ke rumah yang dindingnya terbuat dari bambu. 

"Hati-hati Mak." Kata Nuning saat kaki keriput Mak Ijah hampir terantuk daun pintu.

"Aku buatin teh ya, Mak. Terus Mak istirahat."

Nuning menuju dapur. Di ambilnya kayu bakar di belakang rumah untuk membuat api di tungku. Setelah itu dia meletakan panci untuk merebus air. 

"Ini Mak teh nya. Setelah itu Mak istirahat ya, Mak."

Nuning tidak bertanya perihal yang di alami Mak Ijah. Dia sadar itu akan sangat menyakiti hati ibundanya. Namun, di lubuk hati Nuning yang paling dalam. Dia menyimpan dendam kepada para tetangga. 

"Aku akan membalas semua perbuatan orang-orang dan membeli mulut mereka!" Nuning berjanji kepada dirinya sendiri. 

🌿🌿🌿

Malam.

"Anak-anak sudah tidur?" tanya Jamil suami Nuning yang baru saja pulang dari mencari belut. Lumayan hasilnya bisa buat beli kebutuhan dapur. Bukan hanya belut, kadang Jamil juga mencari kodok di sawah. Daging kodok banyak manfaatnya, salah satunya bisa untuk mengobati penyakit kulit. Tak sedikit juga orang yang butuh daging kodok. Hasilnya lumayan bisa membuat asap dapur tetap mengepul. Tidak cukup kalau hanya mengandalkan penghasilan sebagai buruh tani. Maka profesi apapun dilakoni oleh Jamil. Kadang ada juga yang menyuruhnya membenahi genteng atau sekedar membersihkan kebun. Semua di lakoni oleh Jamil demi memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. 

"Sudah Mas."

"Kamu kenapa?" 

Dengan mata berkaca-kaca Nuning menceritakan kejadian tadi padi yang di alami oleh ibunya.

"Sabar!"

"Sabar? Aku harus bersabar seperti apa mas! Mereka semua selalu saja menghina kita!" 

Kejadian tadi pagi sungguh mengiris hati Nuning. Malihat orang yang paling dicintainya diseret dan di dorong hingga hampir jatuh. Hati Nuning bagai di cabik-cabik. Hal itu membuatnya benar-benar kalap dan hilang akal.

"Nanti tanggal 12 suro aku mau Gunung Kawi dan melakukan tapa brata di sana mencari wangsit, siapa tau, tapa brata ku diterima dan kita bisa kaya, Mas!"

Nuning berniat mencari jalan pintas dengan cara menyembah dedemit. Pesugihan! Nuning sudah tidak perduli lagi dosa apa yang akan dia pikul. Di benaknya hanyalah balas dendam kepada orang-orang yang telah menyakiti hatinya. 

"Apa kamu sudah gila dik!" Bentak Jamil.

"Iya! Aku memang sudah gila Mas! Kalau kamu takut, kamu tidak usah ikut. Aku bisa kesana sendirian. Aku akan tetap kesana, dengan atau tanpa kamu Mas!" Ancam Nuning kepada suaminya yang menentang niatnya. Matanya merah menahan amarah. Darahnya mendidih setiap kali ingat kejadian tadi pagi.

Malam itu Jamil dan Nuning sama-sama tak bisa memejamkan mata mereka. Nuning terus saja mengumpat mengucapka sumpah serapah dalam hatinya kepada semua orang. Sementara Jamil tak mengerti harus berbuat apa.

Jamil sangat mengenal sifat istrinya. Keras kepala.  Apa yang sudah diucapkan Nuning akan sulit untuk di-ubah. Kini Jamil hanya bisa pasrah, semoga amarah Nuning mereda dan membatalkan niatnya.

Setiap hari Jamil mencoba mengingatkan kepada Nuning. Apa saja resikonya jika dia mencari jalan yang sesat. Namun, Nuning tak perduli. Dosa akan dia tanggung sendiri katanya. Dia ingin ibunya bisa bahagia meski dia harus masuk neraka karena melawan takdir sekalipun. 

Seakan semua jalan sudah buntu. Jamil tak berhasil membujuk istrinya untuk mengurungkan niatnya. Bulan suro akan segera datang. Nuning sudah mantab dengan langkah yang akan di ambilnya. Di persiapkan semuanya untuk bekal ke Gunung Kawi. 

 🌿🌿🌿

Bulan suro.

Memasuki bulan yang konon katanya bulan yang di keramatkan. Nuning sudah bersiap. Jamil tidak mendukung istrinya, akan tetapi dia juga tidak tega melepas Nuning pergi sendiri. 

"Besok Mas antar anak-anak dan Ibu ke Dek Lastri ya, Mas." Jamil mengangguk pelan.

Sebenarnya Nuning hampir berubah pikiran. Namun, gunjingan para tetangga membuatnya hillang akal. 

🌿🌿🌿

Mitos.

Pagi itu dengan mantab Nuning dan Jamil memulai perjalanan mereka mencari pesugihan. Mitos Gunung Kawi yang cukup terkenal memandu mereka untuk datang ke sana. Walau sebenarnya Nuning dan Jamil masih belum tahu apa yang akan dilakukannya di sana. Dan apa yang akan mereka temui. Namun, setan, tentu saja ikut andil dalam niat buruk manusia. Setan tidak akan lelah mengoda kita, maka dari itu Rosulullah bersabda yang artinya. 

Jika sesuatu (yang tidak engkau inginkan) menimpamu, maka janganlah engkau katakan ‘andaikan aku melakukan begini dan begitu tentu akan begini dan begitu’ namun katakanlah “Qodarullah wa ma syaa’a fa’ala” karena kalimat seandainya itu akan membuka (pintu) perbuatan syaithon.” [HR. Muslim]

(sumber g****e)

Aroma kemenyan dan bunga tujuh rupa yang sangat menyengat mulai tercium. Pertanda gerbang menuju Gunung Kawi tinggal sejengkal. Sebelum sampai ke petilasan yang sudah sangat terkenal dengan Mitos pesugihanya itu. Seseorang tiba-tiba mendatangi Nuning dan Jamil. Handoko, dia memperkenalkan diri. Seorang pemuda dengan perawakan tinggi semampai. Rambut cepak dan kulit sawo matang. Seakan sangat paham atas seluk beluk Mitos tentang Gunung Kawi.

"Maaf Buk, Pak. Mungkin saya bisa bantu, sebelumnya tujuan kalian datang kesini apa? Untuk treveling atau mencari pesugihan?"

Nuning dan Jamil saling berpandangan. Handoko dengan cepat menangkap ekpresi raut wajah mereka. Pesugihan! Tak diragukan lagi, suami istri itu pasti ingin melakukan ritual malam dua belas suro. Handoko mengajak mereka berdua bicara ke tempat yang sepi. Dengan menghidangkan kopi dan gorengan agar obrolan menjadi rilek. 

"Pesugihan, ya?" Dengan enteng Handoko mengatakan hal itu sambil meneguk kopi panas.  Dia bersedia membantu untuk mengantar Jamil dan Nuning ke petilasan. Handoko juga menawari penginapan buat mereka. Mengantar para peziarah ke petilasan adalah pekerjaan Handoko. Terlepas dari apa niat mereka mendatangi petilasan tersebut. 

"Apa memang benar saya bisa meminta ... maksud saya-"

"Saya tidak tau," ujar Handoko memotong ucapan Nuning.

"Namun, sejauh ini memang banyak yang bolak balik kesini dan keadaan mereka berubah dratis dari awal kesini," tambah Handoko membuat Nuning semakin bersemangat. Kalau mau ke Gunung Kawi lagi. Handoko akan mempersiapkan semuanya. Jadi mereka tidak perlu bingung lagi.

Setelah bicara cukup lama. Akhirnya Nuning dan Jamil diajak ke penginapan milik Handoko. Rupanya Nuning tak sendiri, ada banyak orang yang ingin mangadu nasib juga mendatangi petilasan. Bahkan banyak yang dari luar kota jauh-jauh kesana.

🌿🌿🌿

Ritual malam jum'at legi dua belas suro. Nuning dan jamil diantar oleh Handoko ke petilasan. Alih-alih sepi. Suasana di luar petilasan ramai seperti pasar. Ada yang menjual bunga, kemenyan, dan jimat untuk ritual khusus.

Handoko sudah menyiapkan semuanya. Kini Nuning melangkah ke dalam petilasan sendiri. Jamil tidak menemani sang Istri. Jauh di dalam lubuk hati Jamil dia tidak setuju dengan langkah istrinya.

"Aku tunggu di sini," kata Jamil kepada Nuning sebelum istrinya masuk ke petilasan. Jamil hanya ingin memastikan istrinya baik-baik saja. Nuning akan melakukan tapa brata selama empat hari tiga malam. Sementara itu jamil menunggu di penginapan.

🌿🌿🌿

Sampai di dalam petilasan Nuning disambut oleh seorang juru kunci. Aki-aki tua sedikit bungkuk itu memakai baju batik dan kain jarik. 

"Apa kamu yakin mau mencari pesugihan?" tanyanya dengan suara parau.

"Iya, Ki." 

"Kamu tidak akan bisa kembali jika sudah terlanjur mengambil keputusan ini. Pikirkan baik-baik!" 

"Sudah, Ki. Saya sangat yakin!" jawab Nuning mantab.

"Baiklah, ayo ikuti saya." Ajak lelaki tua itu. Nuning lantas dimandikan di sebuah sumur tua. Kemudian Nuning diberikan baju kebaya dan kain jarik. Selanjutnya mereka menuju ke tengah hutan gunung kawi. Mereka baru berhenti di sebuah tempat. Ada gundukan batu dengan bekas sesajen berserakan di sana. 

"Bertapalah di sini. Ingat, apapun yang muncul di hadapanmu nanti. Jangan pernah takut, atau tapa bratamu gagal!" 

"Baik, Ki," jawab Nuning. Ia pun duduk di depan gundukan batu tersebut. Begitu Nuning duduk, juru kunci itu tiba-tiba sudah menghilang meninggalkan Nuning sendirian di tengah hutan. 

lho, kemana si aki. Kenapa cepat sekali perginya? Apakah dia bukan manusia? 

Dalam sekejab Nuning sudah tidak bisa menemukan juru kunci tersebut. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status