Part 5
Maaaaas!!!
Dyah berteriak, menunduk, dan mendekap erat putrinya. Sementara Abi mendekap Dyah. Dyah melindungi Milla, dan Abi melindungi Dyah. Kemudian suasana berubah menjadi hening. Bau anyir menyeruak.
Allahuakbar Allahu akbar.
Azan subuh berkumandang. Sesaat kemudian disusul berita kematian yang disiarkan lewat toa masjid pagi itu.
๐ฟ๐ฟ๐ฟ
"Siapa?!" tanya Dyah kepada suaminya. Dyah seakan tak percaya dengan pedengarannya sendiri."Innalilahiwainna ilaihi rojiun," ucap Abi. "Yusuf nggak ada."
Hah ...
"Yu_yusuf putranya Hindun? Innalilahi wainna ilaihi rojiun." Sambil mengucap demikian Dyah memeluk erat dan menangisi Mila. Padahal Mila tidak apa-apa. "Ya, Allah jaga selalu Mila untukku."
Abi mengusap pundak Dyah. " Mila akan selalu baik-baik saja. Aku janji!"
Setelah memastikan anak dan istrinya baik-baik saja. Abi memeriksa ke luar kamar. Suara menggelegar apa gerangan yang mereka dengar sebelum azan subuh tadi.
"ALHAMDULILLAAHIL LADZII'AAFAANII MIMBAB TALAAKA BIHI WA FADHDHOLANII'ALAA KATSIIRIM MIMMAN KHOLAQO TAFDHIILA"
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari bahaya yang menimpaku dan telah banyak memberikan karunia-Nya kepadaku melebihi karunia yang diberikan kepada mahluk lainnya.
(Sumber g****e)
"Ada apa, Mas?" Dyah yang tak sabar melihat suaminya terdiam mematung di depan pintu kamar pun mendekati Abi.
"Ya, Allah." Hanya asma Allah yang keluar dari mulut Dyah ketika melihat ruang tengah sudah berantakan. Plafon rumah mereka jatuh.
Anehnya, hiasan, foto, bahkan lampu yang menempel di plafon tidak ikut terjatuh. Masih utuh nangkring di atas. Rumah mereka sudah seperti habis terkena gempa bumi. Porak poranda.
Syukurlah, Allah masih melindungi Abi sekeluarga. Mungkin itu adalah santet yang meleset. Entahlah, Dyah dan Abi sendiri tidak tahu menahu. Usai melaksanakan salat subuh, Abi menyingkirkan puing-puing plafon yang berbahan gibsum itu ke belakang. Dyah mau membantu sambil menggendong putrinya. Namun, Abi melarangnya. Abi menyuruh Dyah untuk beristirahat. Memang dasarnya Dyah adalah wanita yang tak bisa tinggal diam. Ia tetap membantu Abi menyingkirkan puing-puing plafon tersebut.
"Bau anyir ini dari mana ya, Mas?"
"Entahlah, sudah. Sebaiknya kamu duduk saja. Semalaman kamu tidak tidur, kan?" kata Abi lagi.
Dyah pun menurut, tetapi sebelumnya Dyah membuatkan suaminya kopi terlebih dahulu, dengan menggendong Mila. Untuk sarapan Abi lebih memilih membeli nasi jagung bungkus dengan lauk sambal terasi dan ikan asin.
Tiba-tiba Dyah mendengar Abi berteriak cukup keras. "Astagfirullahaldzim!"
"Ada apa, Mas?" sahut Dyah dari dapur.
"Nggak ada apa-apa!" jawabnya. Dyah tahu, pasti ada yang tidak beres. Abi sedang berusaha menyembunyikan sesuatu darinya. Dyah lantas ke ruang tengah melihat apa yang terjadi.
"Ya, Allah!" teriak Dyah, membuat Abi spontan menoleh. Abi melepas napas berat, lalu mendekap Dyah agar tidak melihat sesuatu di balik puing gipsum.
"Aku tidak takut, Mas! Aku hanya tak habis pikir. Kenapa Nuning sejahat ini kepada kita. Sementara kita cuma diam saja!" Dyah sangat murka.
"Jangan menuduh orang sembarangan!"
"Aku nggak sembarangan, Mas! Pertama mimpi, lalu tadi malam mereka datang dan ingin membawa Mila. Lalu, aku melihat Nuning berdiri di bawah pohon mangga depan rumah kita. Apa itu semua tak cukup untuk membuktikan kalau Nuninglah pelaku teror ini, Mas!" Dyah sangat murka. "Kita harus minta bantuan orang pintar, Mas," tambah Dyah. Abi hanya terdiam melihat semua fakta yang ada. Ilmu klenik begini memang tidak bisa dibuktikan.
"Percayalah padaku." Hanya itu saja yang keluar dari mulut Abi. Lantas ia menyingkirkan bangkai kucing tanpa kulit yang disayat-sayat dengan sangat jahat dan ususnya tergurai. Mungkin dari bangkai kucing itulah bau anyir itu berasal.
Rumah masih berantakan. Namun, Dyah harus tetap ke rumah Hindun untuk ngelayat.
"Mas ... mas jagain Mila. Aku ngelayat dulu sebentar. Kita gantian aja," kata Dyah. Karena biasanya ibu-ibu tidak langsung pulang. Mereka biasanya akan membantu mengurus segala keperluan sampai jenasah dimakamkan.
Sudah pagi bukan berarti Mila luput dari pengawasan orang tuanya. Jangan sampai lengah. Abi mencuci tangan lalu menemani putrinya tidur di kamar.
๐ฟ๐ฟ๐ฟ
Di rumah Hindun.
Bapak-bapak hanya beberapa saja yang sudah nongkrong di depan. Sementara ibu-ibu memenuhi rumah sederhana itu. Lantunan surat yasin terdengar dari luar. Kaki Dyah sedikit gemetar membayangkan betapa sedihnya Hindun di tinggalkan oleh putranya Yusuf yang baru berusia sepuluh bulan, umurnya cuma beda dua bulan dengan Mila.
Kematian adalah hal biasa, mau tidak mau kita harus ikhlas. Tapi, ini pasti sangag berat bagi Hindun. Bagaimana tidak. Ia menunggu kehadiran Yusuf selama tujuh tahun. Itu bukanlah waktu yang sebentar. Wanita mandul, predikat itu sempat di sandangnya sampai akhirnya kabar menghembirakan itu datang. Ia hamil, sembilan bulan kemudian bayi mungil itu hadir. Namun, sekarang ia harus pergi lagi.
Dyah menyerahkan buah tangan yang dibawanya kemudian mencari Hindun di kamarnya. Ia tampak sangat terpukul. Dyah duduk di sebelahnya bergantian dengan tetangga lainya yang saling memberi support.
"Ndun, sabar ya," ucap Dyah sambil mengusap punggung wanita malang tersebut.
"Kemarin ma_lam dia masih sehat, bahkan bi_bisa melangkah tiga langkah. Kami tertawa lepas semalaman, terlalu bahagia melihat anakku melangkahkan kaki kecilnya. Bapaknya membelikan sepatu yang ada lampunya. Be_belum sempet di_dipakai, Yusuf malah pergi." Suara Hindun terpatah-patah. Kali ini Dyah tidak menjawab, ia hanya memeluk erat Hindun. Merasakan berada di posisinya.
"Luka sesarku saja masih terasa nyeri. Tapi, anakku sudah pergi!" celoteh Hindun di antara isak tangisnya.
"Sabar, Ndun, sabar!"
"Yang sabar ya, Ndun!" sahut seseorang membuat Dyah mendongkak.
Nuning!
Apakah! Yusuf sudah menjadi tumbal, atau memang mati secara wajar? Batin Dyah bergejolak. Nuning duduk di sebelah kiri Hindun. Sementara Dyah di sebelah kanan. Ia ikut mengusap punggung Hindun.
"Aku pulang dulu ya, Ndun. Kamu yang sabar, ini adalah ujian. Allah lebih menyayangi Yusuf. Percayalah," ucap Dyah sebelum pulang. Beberapa saat kemudian Dyah dan Nuning saling bersitatap.
Sebelum pulang, Dyah menyempatkan melihat jenazah anak Hindun. Bayi tampan itu belum dimandikan. Masih ditidurkan di ruang tamu. Dyah mendekatinya, dan melihat dengan seksama. Tak, ada sesuatu yang janggal. Namun, rasa penasaran yang besar membuat jiwa detektif Dyah muncul seketika. Dyah berpura-pura membenarkan posisi bayi.
"Oalah, le. Surga menunggumu, Nak," ucap Dyah sambil membolak-balikan posisi yusuf. Sampai akhirnya Dyah menemukan tanda itu. Tanda hitam di balik daun telinga Yusuf.
Deg.
Dada Dyah berdegub kencang, gemetar rasanya tangan Dyah berkelana memeriksa sebelah kiri daun telingga Yusuf.
ADA!
Tanda hitam itu tembus dari daun telinga kiri ke kanan. Sekali lagi Dyah mengusap kening Yusuf dengan pelan sebelum pulang.
Ya, Allah. Tempatkan si tole di tempat terindah.
Kini, ganti giliran Abi yang pergi ke rumah Hindun untuk melayat.
๐ฟ๐ฟ๐ฟ
Mantari mulai tenggelam, seperti biasa sebelum magrib Abi menyebarkan garam mengelilingi rumah sambil membaca doa. Ba'da magrib Abi bersiap ke rumah Hindun untuk mengaji.
Setelah beberapa lama, Abi sudah kembali.
"Lho, kok, cepet?" tanya Dyah sambil menerima bungkusan dari suaminya. "Apa ini?"
"Nasi rawon. Makanlah," ucap Abi singkat. Kemudian Dyah ke dapur untuk mengambil piring dan sendok.
"Wah, sedep banget!" Belum sempat Dyah memakan nasi rawon tersebut. Terdengar seseorang mengetuk pintu belakang.
Tok! Tok! Tok!
Seluruh badan Dyah tiba-tiba membeku. Masih sangat sore sudah ada yang menganggunya.
"Si_siapa?" tanya Dyah.
"Aku, Dik!"
Lho.
Dyah sangat bingung. Lawong suaminya ada di kamar bersama putrinya. Tanpa banyak bicara Dyah langsung berlari ke kamar. Bahkan Dyah belum sempat membukakan pintu belakang untuk Abi.
Brakkk!
Dyah membuka pintu kamar dengan kasar.
Milaaaa!!!
Teriakan Dyah membuat Abi panik. Abi menggedor-gedor pintu. Namun, sama sekali tak di hiaukan oleh Dyah.
"Dik, buka pintunya, Dik! Ada apa dengan Mila!"
Part 6Di rumah Nuning dan Jamil."Dik, sudahlah. Jangan usil sama keluarga Abi!" kata Jamil mengingatkan ketika melihat istrinya bersiap mengirimkan demit ke sana. "Kita 'kan dengan mudah mendapatkan tumbal dari yang lainya. Kita buang uang di pasar saja banyak anak-anak yang ambil dan menjadi tumbal kita. Tanpa harus susah-susah," terang jamil."Nyi Ratu sangat menyukai Mila. Lagi pula, kamu tidak ikut apa-apa. Semuanya, aku yang mengerjakan. Tugasmu hanya menutup mulut saja!" cecar Nuning kepada suaminya sendiri. Memang, Nuninglah dalang di balik semuanya, yang memiliki ide mencari pesugihan pun juga Nuning. Ia jugalah yang menjalankan tapa brata di gunung kawi tiga tahun yang lalu. Pertama kali mereka mengambil pesugihan."Kita sudah kaya raya. Apa kita tidak bisa menghentikan semuanya!" ujar Jamil. Ia lelah dengan segala ritual yang selalu di jalaninya."Apa kamu sudah siap mati? Heh!""Maksudmu, Dik?" Jamil tak menger
Part 7 "Bertapalah di sini. Ingat, apapun yang muncul di hadapanmu nanti. Jangan pernah takut, atau tapa bratamu gagal!" "Baik, Ki," jawab Nuning. Ia pun duduk di depan gundukan batu tersebut. Begitu Nuning duduk, juru kunci itu tiba-tiba sudah menghilang meninggalkan Nuning sendirian di tengah hutan. lho, kemana si aki. Kenapa cepat sekali perginya? Apakah dia bukan manusia? Dalam sekejab Nuning sudah tidak bisa menemukan juru kunci tersebut. ๐ฟ๐ฟ๐ฟ Nuning celingukan memerhatikan sekitar. Ia sendirian di tengah hutan. Dua botol air minum menjadi bekalnya selama bertapa. Nuning hanya bertapa pada saat matahari tenggelam, di siang hari ia bisa menghentikan tapa bratanya. Angin berhembus kencang. Gemerisik dedaunan menjadi teman Nuning. Sesekali terdengar suara, entah benda jatuh, atau mungkin hewan kecil yang tak sengaja lewat. Nuning duduk layaknya sinden. Ia mulai menarik napas panjang dan dikeluarkanya
Part 8Nyi Ratu tersemyum kecil. Ia memberikan sebuah mantra kepada Nuning untuk bisa memanggilnya."Tutup mata kamu," kata Nyi Ratu. Beberapa saat kemudian Nuning mendengar suara motor. Ketika Nuning membuka matanya, Ia sangat terkejut, ternyata ia sudah berada di depan gerbang penginapan. Pakaian Nuning pun sudah berubah menjadi baju yang dipakainya saat ke petilasan, tidak memakai kebaya dan kain jarik lagi. Sedikit kaget Nuning menoleh kekiri dan kanan. Kemudian baru masuk ke penginapan menuju kamar nomor lima. Jadi, benar ... yang menyambut dan mengantar Nuning ke tengah hutan pasti bukanlah juru kunci yang sebenarnya. Tapi, abdi dari Nyi Ratu yang ia kirimkan.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum, Mas!""Waalaikumsalam," jawab Jamil. Ia membuka pintu dan mendapati istrinya sudah berdiri di sana. "Dik, ya Allah. Bagaimana?" tanya Jamil. Dengan masih menginggat sang pencipta Jamil lega Nuning sudah kembali dari petilasan. Ia
Part 9"Ada apa, Rif?""Bapak nggak ada, Kang!""Apa?! Innalilahi wainna ilaihi rojiun."Jamil mumutar kepalanya, menoleh kepada Nuning. Menatap tajam matanya. Nuning tertunduk, mungkinkah tumbal pertama itu adalah Bapaknya?๐ฟ๐ฟ๐ฟBibir Jamil bergetar, seluruh tubuhnya gemetar. Melihat raut wajah Nuning, dia tau pasti. Bapaknya sudah jadi tumbal ke-egoisanya."Pulanglah dulu, Rif. Sebentar, aku ke sana.""Iya, Kang!"Jamil segera menutup pintu setelah Arif pulang. Diseretnya Nuning ke kamar."Dik, katakan! Apa Bapakku yang kau jadikan tumbal?"Nuning terdiam, matanya berkaca-kaca. Dua tetes air mata jatuh dari pelupuk mata Nuning saat dia memejamkan matanya. Jamil memegang kedua lengan Nuning. Berharap sang istri bilang 'Tidak' . Berharap kalau dugaanya salah."Dik!"Nuning terisak. "Iya Mas, Bapak adalah tumbal pertamaku.""Apa?!"Jamil tak percaya denga
Part 10"Dik, hentikan!" ucap Abi. Akhirnya Abi berhasil masuk ke rumah juga. Ia menyambar gunting itu dari tangan isyrinya dan membuangnya."Jangan hentikan aku, Mas. Ular ini mau membunuh anak kita, Mila. Mas!" Dyah kembali berusaha mencari sesuatu. Matanya mengedar ke penjuru kamar. Garbu di atas nakas menjadi sasaran. Dyah mengambilnya dan mau ditusukkan kembali ke tangannya yang ia lihat adalah seekor ular.๐ฟ๐ฟ๐ฟ"Dik, sadar. Istigfar!" Abi memegang kedua lengan istrinya dan berusaha menyadarkanya, setelah istrinya tenang, Abi memeluk erat Dyah."Kenapa Nuning terus saja menganggu kita, Mas!" Abi mengelus lengan istrinya dan menuntunya duduk di ranjang. Mereka berdua menatap putrinya tangis Mila memecah kesunyian malam."Cup, cup sayang. Bismilahirohmanirohim." ucap Abi kemudian ia membacakan surat An-nas untuk mengusir jin. Sementara Dyah masih terdiam, syok atas kejadian barusan. Abi sudah mengikat lengan tangan Dyah di b
Part 11 Kami persembahkan tumbal kami Nyi. Terimalah!" Dyah mendengar Nuning berkata demikian. Tak, akan kubiarkan. Klik. Pintu pun terbuka. Milaaa ... Dyah berteriak kencang. "Dik, Dik, bangun, Dik!" Abi mengoyang-goyangkan tubuh Dyah dengan kencang dan menepuk-nepuk pipinya. Hah. "Istigfar, kamu mimpi buruk!" "Mimpi?" Dyah menoleh ke samping dan mendapati putrinya sedang tertidur. "Ya, Allah, Mila," ucap Dyah. "Minumlah," kata Abi. Sementara itu napas Dyah mulai stabil. Untunglah semua itu cuma mimpi. "Kamu mimpi apa?" tanya Abi. Dyah pun menceritakan perihal mimpinya. "Ini bukan sekedar mimpi, Mas. Ini petunjuk, ini firasat!" "Lagi-lagi Nuning," jawab Abi. Sekarang Abi seratus persen percaya, ini sudah kesekian kalinya Dyah bermimpi tentang Nuning. Firasat Dyah memang kuat. Badan Mila mulai panas lagi, Dyah mengompres sambil terus memba
Part 12Arrrggg!Suara Abi semakin keras, sementara itu, tamu itu makin kencang mengedor-ngedor pintu, seakan ikut merasakan kepanikan si empunya rumah."Waalaikumsalam," jawab Dyah. "Lho, Pak Lurah. Ada perlu apa malam-malam bertamu, Pak?" tanya Dyah setelah pintu terbuka."Suara apa itu?" tanya Pak Lurah."Itu suami saya, Pak!" Pak Lurah dengan wajah panik langsung nyelonong begitu saja. Dyah mengikutin Pak Lurah dari belakang. Mendapati Abi yang kesakitan, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Pak Lurah langsung komat-kamit dan memegang bagian pusar Abi. Abi menjerit keras, Dyah hanya jadi penonton di ambang pintu. Apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana Pak Lurah bisa tahu?"Tutup pintu depan!" Perintah Pak Lurah. Dyah tergopoh menutup pintu depan. Kemudian Pak Lurah kembali membaca doa, Abi makin menjerit dan berguling kekiri dan kanan. Abi terus menyebut asma Allah, peluh membasahi seluruh badannya, bola mata A
Part 13"Jangan dibuka!" teriak Abi dari dalam kamar mandi seakan tahu apa yang akan dilakukan oleh Dyah. Dyah memang pemberani, tetapi kadang ia terlalu sembrono. Dyah buru-buru menutup pintu dan menunggu Abi ke luar dari kamar mandi. Setelah perutnya terasa enak, akhirnya Abi ke luar juga."Kenapa?" tanya Dyah ingin tahu. Tadi saat pergi kerumah Nuning, Abi baik-baik saja."Aku ngeri dengan makanan yang disajikan oleh Nuning dan Jamil. Entah apa cuma aku yang bisa melihatnya. Bangkai ayam dalam keadaan masih dipenuhi bulu. Hi," kata Abi begidik."Masak sih, Mas?! Yang benar saja!""Beneran! Makanya aku mual, bukan karena aku ikut makan! Aku hanya berpikir, apakah selama ini hidangan semacam itu jugalah yang kumakan setiap kali kundangan di rumah Jamil!""Jadi ... tadi orang-orang makannya biasa-biasa aja begitu?""Iya, mereka malah rebutan ayam panggang. Nah, itu dia, bukanya ayam panggang, aku lihatnya