Part 13
"Jangan dibuka!" teriak Abi dari dalam kamar mandi seakan tahu apa yang akan dilakukan oleh Dyah. Dyah memang pemberani, tetapi kadang ia terlalu sembrono. Dyah buru-buru menutup pintu dan menunggu Abi ke luar dari kamar mandi. Setelah perutnya terasa enak, akhirnya Abi ke luar juga.
"Kenapa?" tanya Dyah ingin tahu. Tadi saat pergi kerumah Nuning, Abi baik-baik saja.
"Aku ngeri dengan makanan yang disajikan oleh Nuning dan Jamil. Entah apa cuma aku yang bisa melihatnya. Bangkai ayam dalam keadaan masih dipenuhi bulu. Hi," kata Abi begidik.
"Masak sih, Mas?! Yang benar saja!"
"Beneran! Makanya aku mual, bukan karena aku ikut makan! Aku hanya berpikir, apakah selama ini hidangan semacam itu jugalah yang kumakan setiap kali kundangan di rumah Jamil!"
"Jadi ... tadi orang-orang makannya biasa-biasa aja begitu?"
"Iya, mereka malah rebutan ayam panggang. Nah, itu dia, bukanya ayam panggang, aku lihatnya
Part 14🌿🌿🌿Terdengar suara deru mobil di jam dua belas malam. Dyah dan Abi menyibak korden. Terlihat Pak Lurah dan Abah turun dari mobil yang diparkir di depan rumah, tepatnya di kebun milik Nuning."Itu Abah!" kata Abi yang memang sudah sedari tadi menunggu kedatangan beliau sesuai janji. Dyah langsung menyalakan lampu dan bersiap menyambut beliau. Benar kata Abi, Abah begitu berkarisma meski tak lagi muda. Sebelum beliau mengetuk pintu, Dyah sudah membukannya terlebih dahulu. Abah melangkah dengan gagah, kaki jenjangnya persis seperti aktor india Amitabh Bachchan."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bah," jawab Abi dan Dyah hampir bersamaan."Mangga, Bah," kata Dyah mempersilakan Abah untuk masuk. Akan tetapi, Abah seperti menangkap sesuatu di luar, beliau tidak langsung masuk. Namun, perhatianya terfokus ke arah kiri beberapa saat. Barulah setelah itu Abah masuk, dan tentu saja beliau langsung mencari Mila. Aba
Part 15"Lalu, tanah dari kebun Nuning ini buat apa, Bah?""Sebarkan keseluruh rumah. Jangan di sapu. Sebarkan saja di pinggir. Dengan begitu, setiap Nuning menyerang, entah itu mengirim ilmu hitam, teluh, santet, guna-guna, maka, sama halnya dia menyerang dirinya sendiri," terang Abah."Oh ... jadi begitu!" Abi baru mengerti sekarang. Pantas saja saat tadi dia mau mengambil tanah dari kebun Nuning ada yang menghalangi. Ternyata cukup penting juga gunanya."Sebentar lagi memasuki bulan suro. Dia pasti di todong oleh demitnya. Aku lihat banyak sekali, ada kethek (monyet) putih juga." kata Abah. "Kamu Abi ... kalau bisa tidur di depan pintu sini, Bi," kata Abah sambil menunjuk depan pintu ruang tamu."Biar apa, Bah?""Tentu saja menjaga keluargamu, Bi," kata Abah lagi."Baik-baik Bah," kata Abi. Lantas Abah memberikan secarik kertas bertulis resep obat dan doa."Hafalkan doa itu. Baca seribu ka
Part 16"Mas, kaki Mila!"Dengan perasaan tidak karuan, belum hilang rasa lelah Abi sepulang dari sawah. Perutnya pun masih belum terisi, ia sudah harus menghadapi masalah baru seperti ini. Di satu sisi Abi harus tetap tegar untuk Dyah, di sisi lain ia juga merasakan ketakutan yang sama. Sebagai manusia biasa tentu saja Abi pun takut. "Onok opo?" tanya Mbah Uti tak mengerti melihat Dyah menangis tergugu."Iki, lho, Mbok. Kaki Mila lemes, Mbok. Kakinya mati rasa!" jawab Dyah panik. Mbah Uti lantas memeriksa kaki Mila. Mimik wajahnya seketika berubah menjadi tidak enak."Aku akan ke rumah Abah!" kata Abi. ia segera bergegas mandi. Dalam sekejab Abi sudah berpakaian rapi dan siap pergi ke rumah Abah."Makan dulu, Mas!" kata Dyah mengingatkan. Dyah sudah bisa mengendalikan dirinya, Dyah yakin kaki Mila dibuat seperti itu oleh Nuning. Jahat!Abi mengunyah makanan tanpa merasakannya, Dyah tahu sekarang p
Part 17Abi turun dari motor meski masih sedikit bingung. Dyah yang menangkap hal itu langsung angkat bicara."Rumah Mbah Jonet di tenggah hutan katanya. Kita lewat jalan setapak ini, Mas-mas ini akan menjemput kita besok jam sembilan pagi ya, Mas?" tanya Dyah meyakinkan."Iya, Bu!""Jangan lupa lho, Mas!""Iya, Bu. kalau begitu kami permisi dulu," kata ojek itu yang kemudian menghidupkan mesin motornya dan segera berbalik arah kembali ke pengakalannya. Mereka kini sudab berada di pinggir hutan dengan pohonnya yang masih lebat dan rindang. Jalan di hutan itu sebenarnya cukup lebar, namun sangat rusak dan sepi. Tanah gerak membuat jalan bergelombang. Hanya supir profesional saja sepertinya yang mampu menaklukannya.Sunyi dan sepi, sesekali terdengar suara kepakan sayap burung dan suara serangga yang melengking."Ayo!" kata Abi mengajak Dyah, mereka mulai masuk ke dalam hutan."Bismilah .
Part 18"Jadi, apa yang membuat Mas Abi dan Bu Dyah jauh-jauh datang kesini?"Abi melirik Dyah sesaat. "Abah, yang menyuruh kami ke sini. Kata Abah, mungkin Mbah Jonet bisa membantu anak kami Mila. Karena Abah sudah berusaha dan belum berhasil juga. Kata Abah, kaki Mila diikat secara gaib dan ikatannya begitu kuat," jelas Abi.Mbah Jonet kemudian memeriksa keadaan Mila. Hati Dyah dag dig dug menunggu beliau berbicara. Kemudian Mbah Jonet pergi kebelakang. Abi dan Dyah saling pandang. Mata mereka mengatakan percayalah, jangan kawatir, Mila pasti sembuh!Bismilah, oleh tombo.Bismilah, dapat obat.Sesaat kemudian Mbah Jonet telah kembali dengan membawa air di gelas. Kemudian beliau mulai mencelupkan jarinya ke air dan menyentuh mata kaki Mila. Seketika itu juga Mila pun menangis meronta-ronta. Padahal Mbah Jonet hanya menyentuh mata kakinya saja. Mila terus saja menangis dan menjeri kesakitan."Cup, cup, sayang. Biar sem
Part 19Nang! Ning! Nang! Dung!Nang! Ning! Nang! Dung!Suara itu terderngar di kejauhan."Nduk, Mila." Dyah memanggil Mila yang sedang asik membaca buku.Hem."Sini!" Panggil Dyah lagi. Ia mengaja Mila tidur bersamanya, biasanya Mila tidur sendiri. Mungkin agar Dyab tidak menginggat Mery lagi. Mila ke kamar Dyah sambil membawa buku. Ia membaca buku itu keras-keras di kamar Dyah. Sementara bunyi gamelan itu terus menganggu.Seperti biasa, Abi duduk berdzikir di musola. Karena itulah Mila tidak pernah takut ke belakang walau sendirian. Bapaknya selalu ada di sana. Kadang Mila merasa iri dengan teman-temannya yang bisa bersenda gurau dengan Bapaknya. Sementara Bapak Mila, bicaranya sangat irit. Bahkan bisa di bilang tidak pernah bicara. Sepulang dari kerja Abi mandi kemudian langsung salat dan dzikir di musola. Istirahat sebentar, kemudian dzikir lagi. Pagi, siang, malam, selalu di situ. Dzikir da
Part 20Dalam sekejab kue blackforest itu langsung habis. Tina mengusap mulutnya yang belepotan denngan coklat, kemudian meminum air agar kue itu turun ke lambungnya."Kamu kenapa nggak mau, Mil?" tanya Tina."Nggak ah. Aku kalau makan coklat gigiku suka sakit," kata Mila membuat alibi. Perseteruan orangnya secara gaib atau halus dengan Nuning harus di jaga rapat oleh Mila. Apalagi Mila juga mampu melihat makhluk-makhluk tak kasat mata itu berseliweran di rumah.Lailla ha illalah, Lailla ha illalah.Suara itu, jenazah Pak Makruf diberangkatkan juga ke makam. Mila berlari kedepan, menyibak Korden, ia menempelkan wajahnya di kaca. Melihat jenazah diberangkatkan ke kuburan adalah hal yang sangat menakutkan bagi anak-anak desa. Mereka akan bersembunyi di dalam dengan olesan kunyit di keningnya. Mitosnya biar tidak sawanan (sakit) orang meninggal.Mila menangkap sesuatu di atas keranda mayat, terlihat makhluk bertari
Part 21Abi yang mendengar suara Harun langsung turun dari musola."Ono opo, Kang?" tanya Abi tidak kalah panik."Wes, to, ayo. Aku jaluk tulung, Bi!""Sudahlah ayo. Aku minta tolong, Bi!"Abi pun segera bergegas ke rumah Harun. Mila dan Dyah membuntuti Abi dan Harun dari belakang. Dyah mengunci pintu lalu menyusul ke rumah Sulis.Ah ... sakit ....Suara teriakan Tina terdengar sampai ke jalan."Astagfirullahaladzim!" Seru Dyah. Sementara pandangan Mila terfokus pada sosok wanita yang berdiri di seberang jalan, tepatnya di bawah pohon bambu depan rumah Sulis.Ssulis menangis memangangi Tina yang mengamuk. Matanya melotot. Abi tahu, itu bukanlah Tina.Ha ha ha.Aku akan membawa anak ini!Teriak sosok yang merasuki tubuh Tina. Abi menyuruh Mila agar menjauh, Mila berdiri di ambang pintu kamar. Sulis dan Dyah memegangi tangan Tina, sementara Harun menekan lututnya agar