Bau amis laut memenuhi hidung Sagara. Tubuhnya terantai, semakin ia meronta, semakin ia ditelan ke dasar samudera. Namun yang paling berat bukanlah rantai besi, melainkan belenggu pengkhianatan.
Di antara pusaran air, wajah Larisa muncul. Matanya bengkak, bibirnya bergetar, air mata bercampur dengan asin laut. Sagara berusaha meraih, namun tubuhnya lumpuh. Suara-suara pun terdengar, teriakan penuh cacian. “Pengkhianat!” “Pembunuh!” Semua menunjuk ke arahnya. Di antara kerumunan, Rangga berdiri tegak. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dingin dan kejam. Ia mengangkat tangan, seolah memberi isyarat. Seketika, lautan menelan Sagara ke dalam kegelapan. Sagara tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Ia terduduk di ranjang kayu, matanya merah dan kosong. “Mimpi buruk kembali mengganggu, Nak?” suara Ki Jatmika terdengar dari pintu. Pria tua itu berdiri diterpa cahaya rembulan. Sagara menunduk, tidak menjawab. Ki Jatmika melangkah masuk. Ia duduk di bangku kayu, menatap tajam muridnya. “Kau tampak seperti mayat hidup. Apakah kau sudah menyerah? Setelah hidup yang kuberikan kembali padamu, apakah ini akhirnya?” Sagara menoleh, suaranya serak. “Untuk apa aku bertahan, Guru? Larisa… Rangga… wajah mereka terus menghantuiku. Aku hancur.” “Rasa sakit adalah bagian dari hidup, Nak,” ucap Ki Jatmika tenang. “Yang membedakan prajurit dan pecundang adalah cara mereka menghadapinya.” “Aku bukan prajurit lagi. Aku pengkhianat. Aku pembunuh di mata mereka,” kata Sagara pahit. Ki Jatmika mendekat, menepuk bahunya. “Apakah kau percaya tuduhan itu? Kau percaya benar-benar pembunuh?” Sagara terdiam. Kenangan pahit menyesakkan dada. “Aku… aku tidak tahu lagi, Guru. Aku hanya merasa hancur.” Tanpa diduga, Ki Jatmika menamparnya. “Bangun, Sagara!” bentaknya. “Kau pikir dengan meratap dan mengasihani diri kau akan menyelesaikan masalahmu? Kau pikir dengan menyerah kau akan membuktikan kebenaranmu?” Sagara menatap gurunya, terkejut. Pipi kirinya terasa panas, namun tamparan itu lebih terasa di dalam hatinya, mengguncang jiwanya yang rapuh. Ia belum pernah melihat Ki Jatmika semarah itu, namun ia tahu, kemarahan itu bukan ditujukan padanya, melainkan pada kelemahannya. “Kau sudah kehilangan semuanya, Sagara,” lanjut Ki Jatmika, suaranya kembali datar, namun ada nada peringatan yang jelas. “Kau kehilangan kehormatanmu, masa depanmu, tunanganmu, bahkan identitasmu. Apakah kau juga ingin kehilangan jiwamu?” Sagara menatap tajam ke arah Ki Jatmika, berusaha memahami maksud kata-kata itu. Kehilangan jiwanya? Apa maksudnya? “Luka di tubuh bisa sembuh,” kata Ki Jatmika, menunjuk bekas luka Sagara yang masih terlihat di lengannya. “Dengan ramuan dan waktu, ia akan tertutup, meninggalkan bekas. Tapi luka di hati? Luka karena pengkhianatan dan dendam? Ia akan membusuk kalau kau pelihara.” “Membusuk?” Sagara mengulang, suaranya tipis. “Ya, membusuk,” Ki Jatmika menegaskan. “Ia akan meracuni setiap sudut pikiranmu, setiap sendi jiwamu. Kau akan menjadi cangkang kosong yang dipenuhi amarah dan kepahitan. Kau akan menjadi monster yang kau benci, tanpa kau sadari.” Pernyataan Ki Jatmika bagai belati yang menusuk langsung ke ulu hati Sagara. Monster. Apakah ia akan menjadi monster? Ia memejamkan mata, membayangkan dirinya yang dipenuhi amarah, haus akan pembalasan, melupakan semua nilai-nilai yang pernah ia pegang. Dalam imajinasinya, ia membayangkan wajahnya sendiri mulai berubah. Keriput kebencian terpahat di sana, matanya membara dingin seperti Rangga. Gambaran itu sangat menakutkan, bahkan lebih menakutkan daripada kematian. “Aku, aku tidak ingin menjadi seperti itu,” gumam Sagara, suaranya bergetar. Sebuah kesadaran baru mulai menyelinap ke dalam benaknya. Ia ingin membuang rasa dendam. Selama ini, ia hanya berpikir tentang pembalasan, tentang membuat Rangga membayar perbuatannya. Tetapi ia belum pernah merenungkan apa dampak pembalasan itu terhadap dirinya sendiri dan orang-orang yang ia cintai. Ki Jatmika mengangguk perlahan. “Itulah yang harus kau pahami. Dendam memang bisa menjadi bahan bakar untuk bangkit, untuk mencari keadilan. Tapi ia juga bisa menjadi api yang melahapmu habis tak bersisa, mengubahmu menjadi abu. Kau harus menguasainya, Sagara. Kau harus memegang kendali atas dendam itu, jangan sampai ia yang mengendalikanmu.” Sagara terdiam, memikirkan setiap kata yang diucapkan gurunya. Mimpi buruk itu, rasa sakit yang mendalam, semuanya kini terasa berbeda. Bukan lagi sekadar penderitaan, melainkan sebuah peringatan. Peringatan tentang jurang kegelapan yang siap menelannya jika ia tidak berhati-hati. Ia mengangkat kepalanya, menatap Ki Jatmika dengan tatapan yang sedikit lebih jernih, meski masih ada gurat kesedihan di sana. “Bagaimana caranya, Guru?” tanya Sagara, suaranya kini lebih mantap, ada secercah harapan di dalamnya. “Bagaimana aku bisa mengendalikan ini semua?” Ki Jatmika tersenyum tipis, senyum yang jarang sekali terlihat di wajahnya yang keras. “Itulah bagian dari pelajaranmu. Perjalananmu untuk menguasai jurus Cakra Laut Selatan bukan hanya tentang kekuatan fisik. Ia juga tentang menguasai dirimu sendiri, menguasai emosimu. Lautan bisa mengamuk, tetapi ia juga bisa menjadi tenang, setenang cermin.” Ia menepuk bahu Sagara sekali lagi. “Sekarang, istirahatlah. Tapi ingat, Sagara. Mulai sekarang, setiap kau merasa amarah itu membara, setiap kau ingin menyerah pada rasa sakit, ingatlah apa yang kuberitahu padamu. Pertarungan terberatmu bukanlah melawan Rangga, melainkan melawan dirimu sendiri. Dan jika kau kalah dalam pertarungan itu, maka tidak akan ada kemenangan yang menantimu di luar sana.” Sagara mengangguk perlahan. Kata-kata Ki Jatmika menggema di benaknya, menancap dalam. Ia menatap telapak tangannya yang gemetar, lalu mengepalkannya. Ini adalah pertama kalinya ia menyadari bahwa jalan yang ingin ia pilih adalah jalan untuk mencari kebenaran. Ia pada akhirnya sadar bahwa membalas pengkhianatan adalah jalan yang dipenuhi perangkap tak kasat mata. Perangkap yang lebih berbahaya daripada pedang Rangga. Perangkap yang kapan saja bisa merampas jiwanya bahkan sebelum ia sempat menghadapi musuhnya. Ia tahu, mulai malam ini, tidurnya tidak akan pernah terasa sama lagi. Setiap mimpi buruk bukan hanya akan menjadi pengingat pengkhianatan, tetapi juga ujian akan seberapa kuat ia bisa mempertahankan dirinya dari bayang-bayang kehancuran. Dan pertanyaan terpenting sekarang adalah apakah mungkin ia benar-benar mampu menguasai iblis yang kini mulai bersemayam di dalam hatinya? Mampukah ia menjadi lautan yang tenang, ataukah akan terbakar habis oleh api dendamnya sendiri? Sebuah pertarungan baru, yang tak kalah beratnya dari pertarungan fisik, baru saja akan dimulai. Di sebuah pendopo mewah di tengah kota pelabuhan, lampu minyak berderet menggantung, memantulkan cahaya kekuningan ke dinding ukiran kayu jati. Aroma dupa samar bercampur dengan wangi bunga melati. Rangga duduk di kursi berlapis kulit, wajahnya teduh namun mata menyimpan bara yang sulit ditebak. Di hadapannya, seorang pria berjubah gelap menunduk hormat. Ia bukan orang sembarangan—salah satu tangan kanan Rangga yang selalu menjalankan perintahnya tanpa bertanya. Rangga meneguk arak dari cawan peraknya, lalu tersenyum tipis. “Kau tahu apa yang kurasakan sekarang?” suaranya rendah, hampir seperti bisikan. Pria itu menggeleng pelan. “Aku merasa lega setelah Sagara tiada.” Rangga bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan senyum samar. “Selama ini dia seperti duri di dalam daging. Murid kesayangan Guru Besar, calon pewaris ajaran, bahkan tunangan Larisa. Semua orang mengagung-agungkannya. Tapi lihatlah sekarang—” Ia terdiam sejenak, menunduk, lalu mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, “Kini semua itu hilang. Yang tersisa hanya bayang-bayang pengkhianat yang dibenci.” Pria berjubah gelap itu menelan ludah, namun tak berani bicara. “Dan yang lebih indah,” lanjut Rangga, kali ini matanya menyipit licik, “Ia sendiri yang percaya bahwa dirinya adalah pengkhianat. Ia sendiri yang menanggung beban itu. Aku tak perlu menodai tanganku lagi. Dunia sudah menghakiminya.” Rangga terdiam sejenak, lalu tertawa pelan, getir namun dingin. “Kadang, menghancurkan jiwa seseorang jauh lebih memuaskan daripada membunuh tubuhnya.”Bau amis laut memenuhi hidung Sagara. Tubuhnya terantai, semakin ia meronta, semakin ia ditelan ke dasar samudera. Namun yang paling berat bukanlah rantai besi, melainkan belenggu pengkhianatan.Di antara pusaran air, wajah Larisa muncul. Matanya bengkak, bibirnya bergetar, air mata bercampur dengan asin laut. Sagara berusaha meraih, namun tubuhnya lumpuh. Suara-suara pun terdengar, teriakan penuh cacian. “Pengkhianat!” “Pembunuh!” Semua menunjuk ke arahnya.Di antara kerumunan, Rangga berdiri tegak. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dingin dan kejam. Ia mengangkat tangan, seolah memberi isyarat. Seketika, lautan menelan Sagara ke dalam kegelapan.Sagara tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Ia terduduk di ranjang kayu, matanya merah dan kosong.“Mimpi buruk kembali mengganggu, Nak?” suara Ki Jatmika terdengar dari pintu. Pria tua itu berdiri diterpa cahaya rembulan.Sagara menunduk, tidak menjawab.Ki Jatmika melangkah masuk. Ia duduk di bangku kayu
Setelah tiga hari lamanya pemulihan, pagi itu Sagara akhirnya akan memulai latihan pertamanya dengan Ki Jatmika. Pagi-pagi sekali pemuda itu bangun dan langsung mandi di sungai membersihkan tubuhnya dengan air segar. Setelah sarapan, Ki Jatmika pun mulai melatih Sagara untuk bisa mewarisi jurus Cakra Laut Selatan. “Sebelum aku mengajarimu dasar-dasar Jurus Cakra Laut Selatan, kau harus bisa memahami jurus ini dengan baik,” ucap Ki Jatmika membuka sesi latihan pagi itu.“Jurus Cakra Laut Selatan adalah kekuatan yang tiada henti. Ia berputar tanpa akhir seperti cakra, sekaligus dalam dan luas seperti lautan,” jelasnya.Pendekar legendaris itu menerangkan pada Sagara bahwa jurus dasar cakra laut selatan terdiri dari beberapa tahapan diantaranya langkah arus samudra, tapak gelombang, pukulan ombak bergulung, perisai buih laut dan tarikan pasang surut.“Cakra laut selatan bukan sekadar gerakan fisik, Nak. Jika kau ingin menguasainya harus bisa memadukan tenaga dalam, pernapasan, dan ir
Samar-samar, seperti sebuah bisikan dari alam mimpi yang memudar, kesadaran mulai merayapi Sagara. Udara dingin yang menusuk tulangnya kini digantikan oleh kehangatan samar, diiringi aroma herbal yang pekat dan asing. Namun, yang paling terasa adalah rasa sakit. Rasa sakit di sekujur tubuhnya, seolah setiap tulangnya remuk, setiap ototnya terkoyak. Gelombang mual dan pusing menyerbu kepalanya yang terasa begitu berat. Ia mencoba membuka mata, namun kelopak matanya terasa bagai ditarik timah. Hanya cahaya jingga redup yang menembus celah, menari-nari di balik kelopak.Suara gemericik air terdengar pelan, disusul gesekan benda kayu. Lalu sebuah suara berat namun menenangkan, yang terasa akrab sekaligus asing, memecah keheningan.“Akhirnya kau menunjukkan tanda-tanda, Nak.”Sagara mengerang pelan, tenggorokannya kering dan perih. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, sensasi kesemutan menjalar, namun kekuatannya tak lebih dari sehelai benang rapuh. Ingatan-ingatan mulai menerobos masuk,
Kabar tentang Sagara yang akan dihukum mati karena membunuh Guru Besar menyebar cepat, bagaikan api membakar ilalang kering. Bisikan itu akhirnya sampai juga ke telinga Larisa, tunangan Sagara.“Nona, Tuan Sagara… besok fajar ia akan dihukum dibuang ke Tebing Selatan,” bisik seorang pelayan tergopoh-gopoh.“Apa?!” Larisa terperanjat. Rangkaian bunga di tangannya terjatuh. “Itu tidak mungkin!”Ia pun berlari menembus lorong rumah keluarganya. Ayahnya, Ki Atmaja, mencoba menahan.“Larisa! Jangan ikut campur! Putusan sudah final!”Namun Larisa membalas dengan mata berkaca-kaca.“Tidak, Ayah! Aku tahu Sagara. Dia bukan pembunuh! Aku harus menemuinya malam ini!”Malam itu, Larisa berhasil menyelinap ke ruang tahanan batu. Obor redup berkelip di dinding. Di dalam, Sagara duduk bersandar dengan tubuh penuh luka.“Larisa,” suara pemuda itu serak, matanya terbelalak tak percaya.Larisa segera mendekat, jemarinya meraih tangan Sagara lewat sela jeruji. Air matanya jatuh tanpa henti.“Sagara! Ka
“Guru Besar! Guru Besar!”Teriakan seorang murid muda menggema di halaman padepokan, membuat semua orang yang sedang berkumpul langsung menoleh dan berlari mengikuti suara itu.Orang-orang berhamburan, langkah kaki mereka berat dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Suasana hening malam seketika berubah menjadi gaduh.Saat mereka sampai di ruang Guru Besar, pandangan mereka tertuju pada sosok yang tergeletak di lantai kayu.Tubuh Guru Besar bersimbah darah segar yang mengalir deras dari luka di dadanya. Para murid yang melihatnya terdiam, napas mereka tersengal-sengal, jantung berdegup kencang. Tidak lama kemudian, para tetua perguruan datang, wajah mereka serius dan penuh kecemasan.Mereka mendekat dan memperhatikan luka sang Guru dengan seksama.Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekpresi.Mereka kaget setelah memperhatikan goresan luka yang ada di tubuh sang guru besar. Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekspresi. Mata para tetua melebar, napas mereka terhenti sejen