LOGINII. Duel Para Panglima dan Astra Kenanga di Hutan TambanganSementara di kaki bukit Sambhara drama penentuan takdir bergejolak, jauh di dalam rimba keramat Hutan Tambangan, dentuman tenaga dalam bergaung hebat, meruntuhkan keheningan yang mistis. Jentra Kenanga, Panglima Bala Bhumi yang dihormati, dan Kunara Sancaka, Panglima Bala Samudra yang berkhianat, terlibat dalam pertarungan yang intens dan setara. Mereka berdua, bagaikan cermin satu sama lain, memamerkan keahlian bertarung yang tiada tanding, sebuah hasil didikan militer kerajaan Medang yang sama. Sejak kecil, mereka berlatih di bawah bimbingan guru yang sama, menguasai ilmu yang sama, namun kini berdiri sebagai musuh bebuyutan.Setiap serangan telapak tangan mereka menghantarkan gelombang energi. Baruna Warih dan Tapak Segara, dua ajian inti militer kerajaan yang mereka kuasai dengan sempurna, saling beradu dengan kecepatan yang menakjubkan, menciptakan pusaran energi di antara mereka. Benturan tenaga dalam itu menggerus bumi
Pada sebuah pagi yang kelabu, tatkala sang surya enggan memancarkan cahayanya secara penuh, takdir Medang terayun pada seutas benang tipis yang hampir putus. Di dua medan pertempuran yang terpisah oleh hamparan bukit dan rimba, badai dahsyat bergolak, siap mengubah peta kekuasaan. Di kaki Bhumi Sambhara, fondasi agung sebuah monumen spiritual yang kelak akan megah bernama Borobudur, pertarungan antara elemen angin dan air pekat mengukir takdir. Serentak, di kepekatan Hutan Tambangan, dua sosok panglima besar mengadu keampuhan ilmu kanuragan yang selama ini tersimpan rapat sebagai rahasia militer kerajaan. Setiap tarikan napas dan hentakan langkah dalam pertarungan-pertarungan ini, disadari atau tidak, akan menentukan wajah masa depan negeri yang dicintai.I. Amuk Sriti dan Keteguhan Rahastya di Bhumi SambharaPelataran candi yang masih dalam tahap pembangunan, berdebu dengan sisa-sisa pekerjaan tukang batu, seketika menjadi arena pertarungan yang sengit. Sriti, pemimpin Sanditaraparan
Kabut tipis menyelimuti Hutan Tambangan yang agung, memeluk rapat batang-batang pepohonan raksasa dan menyisir lembah-lembah sunyi di lereng suci Gunung Kawi. Atmosfer pagi yang sejuk nan damai membungkus area itu, menjanjikan ketenangan spiritual bagi siapa pun yang melintasi jalurnya. Di bawah pengawalan ketat, langkah-langkah halus namun penuh tekad terdengar, menembus kerapatan semak belukar dan dedaunan yang basah. Dyah Pramodhawardhani, Putri Mahkota Medang yang jelita, maju dengan penuh kehati-hatian, busana kebesarannya tak mengurangi kelincahannya melangkahi akar-akar kuno yang melintang. Misinya pada hari ini adalah sebuah perjalanan yang melampaui kepentingan duniawi, melainkan sebuah ritual spiritual dan simbolis yang dalam. Ia harus menemukan biji benih dari pohon Mahkota Dewa yang langka, serta bibit-bibit istimewa dari pohon Sri Gading, Dewandaru, dan Dewaretna—tanaman-tanaman suci yang menyimpan daya luhur dan diberkahi oleh para dewata."Kita tidak boleh hanya asal me
Malam di situs pembangunan Bhumi Sambhara Budura biasanya melaju dalam keheningan purba, hanya dipecah oleh konser jengkerik yang mendesau dan hembusan angin bukit yang menelusup celah-celah bebatuan. Namun, pada malam ini, ketenteraman semu itu menyembunyikan ancaman maut. Sebuah kekuatan gelap merayap dari lereng perbukitan, membawa serta niat kehancuran yang tak terbantahkan. Sriti, dengan ketetapan hati baja yang tersirat di garis wajahnya, memimpin lima ratus prajurit wanita elitnya—Pasukan Sanditaraparan Medang—menyusup ke dalam jantung area konstruksi tersebut. Tujuan mereka telah dipahat dalam hati dan benak setiap prajurit: menghancurkan fondasi agung dan ukiran-ukiran sakral yang tengah dikerjakan, demi menggagalkan Sayembara besar yang sedang diupayakan para pembesar Mataram.Gerakan mereka lincah bagai bayangan, tak terdengar kecuali oleh daun-daun kering yang sesekali terinjak. Sriti sendiri, seorang strategist ulung dan komandan tanpa tanding, menghentikan langkah di bal
Udara dingin pegunungan Sadara menyergap rombongan yang baru tiba dari hiruk pikuk kota Medang. Kudah-kuda yang mereka tunggangi terengah, kepulan embun keluar dari lubang hidung mereka yang lelah. Meski telah menjelang tengah malam, Vihara Sadara tidak sepenuhnya sepi. Beberapa pelita temaram menghiasi pelataran batu, melukiskan siluet pepohonan yang bergoyang lembut diterpa angin malam.Di balik gerbang kayu ukiran sederhana, tiga sosok tegap berdiri menyambut. Mereka adalah Jentra Kenanga sang panglima elite yang tersembunyi identitas aslinya, ditemani istrinya yang tak kalah tangguh, Candrakanthi, serta sang penasihat paling jenaka di seluruh Medang, Gagak Rukma. Langkah mereka berbalut rasa lelah namun penuh determinasi, menyusuri bebatuan licin yang mengarah ke bangunan utama vihara.Namun, di antara bayangan temaram, ada yang tidak biasa. Rahastya, sang biksu yang terkenal dengan kekhusyukannya, berdiri tegak menyambut, namun bukan dalam jubah keagamaannya. Matanya membelalak k
Halaman belakang istana Mataram Kuno diselimuti rembulan, membiaskan siluet pohon kemboja yang menjulang ke angkasa. Udara malam yang semestinya membawa ketenangan, kini terasa menghimpit, penuh ketegangan yang pekat. Kemarahan yang meluap dari sosok tegap itu bukanlah sekadar amarah seorang prajurit yang tunduk pada titah, melainkan gemuruh batin seorang pria yang merasa seluruh pengorbanan masa lalunya telah diinjak-injak dengan congkak. Tumenggung Gagak Rukma, komandan terpercaya, mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih pasi, menunjukkan betapa hebatnya badai yang bergejolak dalam sanubarinya. Matanya yang tajam berkilat-kilat, menyimpan kobaran amarah yang tertahan, nyaris membakar kegelapan di sekelilingnya.Bagi Gagak Rukma, rencana Pangeran Balaputeradewa untuk menikahi Dyah Pramodawadhani bukan sekadar manuver politik demi stabilitas kekuasaan Mataram, melainkan sebuah pengkhianatan keji yang menusuk ulu hatinya. Itu adalah sebuah penghinaan terhadap Mayang Salew