Share

9 - Dibuang

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-13 08:07:11

Begitu asap dan debu luruh, suasana di dalam gua menjadi begitu hening. Seta berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia tak dapat menggerakkan sekujur tubuh sama sekali. Namun sepasang telinga sang prajurit masih dapat menangkap suara-suara, meski samar.

Suara yang pertama didengarnya adalah langkah kaki seseorang mendekat. Itu Ranajaya yang menghampirinya sembari membawa dua batang obor. Lelaki bercambang bauk lebat tersebut hentikan langkah setengah depa dari tubuh Seta.

"Agaknya dia sudah mati, Kang," terdengar satu suara. Yang berkata anak buah Ranajaya yang masih hidup.

Yang diajak bicara tak langsung menanggapi. Sepasang matanya masih terus mengamat-amati keadaan Seta baik-baik. Lalu dengan sebelah kakinya tubuh si prajurit ditendang hingga terbalik, menjadi telentang. Dalam penglihatannya tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

"Pukulan kami mendarat tepat di dadanya. Mustinya dia sudah mampus, atau setidak-tidaknya tengah sekarat," imbuh suara lain. Salah satu dari dua lelaki bertopeng yang tadi menghajar Seta.

Ranajaya masih diam. Namun sejurus kemudian terdengar ia menyahut.

"Benar katamu, Wirama. Kalau dilihat-lihat, sepertinya prajurit tengik ini memang sudah mati. Kalaupun belum, pastilah dia tengah sekarat dan tak lama lagi bakal modar."

Terdengar satu dengusan tak setuju. Asalnya dari lelaki bertopeng yang satu lagi.

"Kenapa tidak kau tusuk saja dadanya dengan parang di tanganmu itu? Atau sekalian penggal lehernya sampai putus?" ujar lelaki si lelaki bertopeng.

Suara tawa Ranajaya membahana. Bergema setelah memantul di dinding-dinding gua.

"Balanatha, dengar. Orang-orang memang menyebutku sebagai penjahat. Tapi aku bukanlah seorang pengecut! Mana mungkin aku menyerang musuh yang sudah dalam keadaan tak berdaya seperti ini," sahutnya.

"Jangan mencari penyakit, Rana! Bagaimana kalau ternyata dia masih hidup? Ketimbang menyimpan masalah di masa depan, lebih baik habisi saja dia sekarang," ujar lelaki yang dipanggil Balanatha.

"Tidak, tidak, Natha," Ranajaya berkeras. "Bukankah kau ingin kematian prajurit tengik menggegerkan?"

Lelaki yang dipanggil Balanatha kembali mendengus. Agaknya ia masih kurang sepakat, namun tak ada bantahan lagi yang keluar dari mulutnya.

Sementara di tempatnya, jantung Seta berdetak lebih cepat mendengar nama yang disebut Ranajaya tersebut.

'Balanatha? Apakah dia ...?' desis sang prajurit bertanya-tanya dalam hati.

Seketika satu dugaan berkelebat di kepala Seta yang mulai terasa pusing. Namun prajurit Kerajaan Jenggala itu tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan membuka kelopak mata pun ia tak kuat.

"Kita tetap pada rencana semula." Kembali terdengar suara Ranajaya. "Buang tubuh prajurit ini ke sungai dan biarkan mengambang hanyut, sampai ditemukan oleh penduduk. Atau ditemukan nelayan kalau ternyata tubuhnya terbawa sampai ke laut."

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo cepat kita tenggelamkan dia di sungai!" sahut orang yang dipanggil Balanatha.

Usai berkata begitu lelaki bertopeng tersebut bungkukkan badan, siap mengangkat tubuh Seta.

"Sudah, biar prajurit tengik ini jadi urusan kami. Kau dan Wirama cepatlah pergi sejauh mungkin dari sini. Jangan sampai ada yang melihat keberadaan kalian berdua di sini," kata Ranajaya mencegah.

Balanatha urungkan niat. Setelah anggukkan kepala pada Ranajaya, ia memberi isyarat pada lelaki bertopeng satu lagi. Dengan membawa sebatang obor kedua orang itu melangkah keluar gua.

Berselang beberapa saat kemudian, Ranajaya berpaling pada satu-satunya anak buahnya yang tersisa.

"Ayo kita seret dia keluar!" perintahnya.

Anak buah Ranajaya mengangguk patuh. Lalu keduanya keluar sembari menggotong tubuh Seta.

Setibanya di mulut gua, malam telah benar-benar datang. Kegelapan menyungkupi kawasan hutan di sekeliling Gua Selogiri.

Ranajaya membawa tubuh Seta di atas punggung kudanya. Berdua bersama anak buahnya ia berkuda ke arah selatan. Tiba di satu tepian sungai, keduanya hentikan kuda masing-masing dan membawa turun tubuh sang prajurit.

"Sudah, di sini saja. Aku rasa arusnya sudah cukup deras," terdengar suara Ranajaya.

Seta masih dapat merasakan tubuhnya diturunkan dari atas punggung kuda, lalu digotong sebentar. Akan tetapi ia tak kuasa membuka mata untuk melihat di mana dirinya dibawa. Hanya sepasang telinganya lamat-lamat mendengar suara gemericik air mengalir.

Beberapa kejap kemudian, Seta merasa tubuhnya diayun-ayun beberapa kali. Setelah itu tangan-tangan yang memegangi kedua tangan dan kakinya dilepaskan. Dalam keadaan antara sadar dan tidak Seta merasakan dirinya tengah melayang dan....

Byuuurrr!

Terdengar suara kecipak air bersamaan dengan hawa dingin yang seketika menyelimuti sekujur kulit. Tepat di saat itulah kesadaran Seta lenyap.

)|(

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 203

    Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 202

    Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 201

    Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 200

    Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 199

    Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 198

    Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status