“Jangan mengancam, Fe.” Mama Erna terlihat hendak meraih pundak Fenita, tetapi gadis itu cepat berkelit.
“Sungguh, ini semua demi kebaikanmu. Karena papamu itu bukan orang sembarangan,” kata Mama Erna lagi.
Fenita merasa frustasi setiap mendengar kalimat itu. Memangnya kenapa kalau papanya bukan orang sembarangan? Dia tetap punya hak untuk mengetahui siapa ayahnya, seperti milyaran anak lain di dunia ini.
“Oke, jadi Mama lebih pilih aku tanya ke Tante Desi ya?” tantang Fenita.
Mama kandungnya itu terlihat melenguh. “Tidak akan ada bed–”
“Ada bedanya, Ma. Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Ada bedanya untuk masa depanku,” potong Fenita. Suaranya terdengar seperti berputus asa. Perdebatan ini sejatinya sudah sering terjadi di antara mereka.
Mama Erna menghela napas panjang. Wanita cantik itu tampak menghindari tatap muka dengan sang anak.
“Ma, lihatlah diri Mama. Sampai sekarang Mama tidak menikah. Apa Mama juga ingin aku melajang seumur hidup, hanya karena nggak ada laki-laki yang mau menerima ketidakjelasan ini?”
“Nggak menikah itu bukan sesuatu yang buruk, Fe. Lihat, Mama baik-baik saja.”
Kini Fenita yang menghela napas. Bulir air mata kembali jatuh. Entah dengan cara apalagi dia membujuk mamanya. Dia hanya ingin tahu siapa ayah kandungnya, kenapa susah sekali?
Fenita tiba-tiba meletupkan tawa sumbang dua detik. Lalu menarik napas kembali. “Oke, mungkin memang hanya Tante Desi yang bisa menolong aku.”
Gadis ramping berambut panjang itu bergerak menuju pintu sembari merapikan pakaiannya. Dia baru membuka pintu ketika akhirnya Mama Erna bersuara.
“Namanya Galih. Dia baru berumur delapan belas tahun waktu kamu lahir.”
Fenita membeku. Hatinya langsung bergetar mendengar nama lelaki yang baru saja disebut sang mama. Jadi papanya bernama Galih?
Dengan gerakan amat pelan gadis itu menutup pintu. Lalu kembali mendekati Mama Erna.
“Mama memang pernah menjadi ART di rumah seorang konglomerat. Galih adalah anak bungsu mereka, yang satu hari pulang dalam keadaan mabuk, lalu….” Mama Erna cepat memalingkan wajahnya lagi. Terlihat dia begitu berat untuk melanjutkan cerita.
“Mama….” Fenita memeluk Mama Erna. Dia tidak menyangka jika ternyata cerita yang sebenarnya lebih kelam daripada dugaannya. Dia pernah menduga mama dan papanya terlibat pergaulan bebas.
“Maafkan Mama, maafkan… sebab kamu harus hidup seperti ini sekarang,” ucap Mama Erna seraya berusaha mundur.
Fenita melepaskan pelukan. Hatinya mencelos. Selain tanda tanya tentang ayahnya, Fenita selalu menyimpan tanya kenapa sang mama terlihat tidak ingin berkontak fisik dengannya.
“Setelah kamu tau, Mama harap kamu tidak perlu mencari lebih jauh lagi.” Mama Erna terlihat merapikan rambutnya.
“Kenapa?”
“Fe, hanya Mama yang menginginkan kamu lahir. Jadi kamu tidak berhak menuntut papamu, atau keluarganya. Kamu benci saja sama Mama.”
Fenita spontan menggerungkan tangis. Hatinya perih sekali, seperti diiris-iris.
“Jangan usik papamu. Papamu dan keluarganya punya kekuasaan, punya banyak uang. Cukuplah kamu tau segitu saja, sebab uang dan kekuasaan di negara ini bisa membuatmu celaka. Kamu mengerti maksud Mama?”
Fenita tidak merespon. Dia masih syok.
“Jujur, mereka memberi Mama banyak uang agar Mama menggugurkan kamu. Tapi Mama tidak berani menggugurkanmu karena Mama takut mati,” tandas Mama Erna.
“Hanya itu alasan Mama?” Dua butir air mata berlomba turun di kedua pipi Fenita.
Mama Erna mengangguk. “Maaf kalau kamu kecewa, tapi jawabannya iya. Uang yang mereka berikan, Mama pakai untuk membangun resto ini, yang satu hari nanti untuk kamu juga.”
Isak Fenita kembali kencang. Dulu dia menyangka akan menjadi lebih tenang setelah tahu siapa lelaki yang sudah menghadirkan dirinya ke dunia ini. Namun mendengar semua kenyataannya, kenapa justru dia merasa menjadi orang yang paling menyedihkan sekarang?
“Apa Mama benci aku?” tanya Fenita dengan suara susah payah. “Apa itu sebabnya Mama nggak pernah mau memelukku?”
“Fe, sudahlah. Jangan merambat kemana-mana. Katamu hanya ingin tahu siapa nama papamu. Sudah kan? Namanya Galih.”
“Jadi akhiri drama-drama kamu itu. Lebih baik kamu menatap masa depan kamu. Jangan hanya memikirkan laki-laki,” sembur Mama Erna. “Kamu masih muda, kamu cantik….”
Fenita menelan ludah. Mama Erna mulai lagi, mengoceh tentang teorinya soal perempuan bernilai tinggi, yang bisa bahagia tanpa lelaki. Apa dia tidak mengerti jika anak perempuannya ini butuh kasih sayang, bukan materi semata.
Setelah Mama Erna diam, Fenita berdiri. “Aku mau cari angin dulu, Ma.”
“Mama harap kamu nggak bodoh dengan mengemis cinta sama Kemal,” ucap Mama Erna penuh penekanan. “Laki-laki seperti dia hanya ingin numpang hidup sama kamu. Mama sudah bisa melihat gelagatnya.”
Fenita hanya melirik. Terkadang dia heran, meski hubungan di antara mereka tidak harmonis, tetapi dalam beberapa hal Mama Erna seakan bisa menebak isi hati Fenita.
Dia memang baru saja berniat pergi ke rumah kekasihnya itu, dia ingin menjelaskan sesuatu pada Kemal. Fenita yakin cinta Kemal masih sangat besar untuk dirinya.
Fenita membulatkan mata. Jadi kalau benar begitu, artinya dia bukan murni anak haram? Meskipun siri, sebenarnya Mama Erna dan Pak Galih menikah?Tiba-tiba Pak Galih merangkul Fenita dengan erat. Membuat Fenita sedikit gelagapan. Gadis itu spontan saja balas memeluk, lalu menyembunyikan wajahnya di dada Pak Galih.Sedang Pak Galih kembali menatap pada para wartawan yang sepertinya kalap mengabadikan momen mereka.“Ya, kami memang menikah siri, tapi sehabis melahirkan kami bercerai baik-baik,” desah Pak Galih.Fenita menegakkan kepala. Kembali menatap Pak Galih. Matanya sudah basah. “Benarkah?” lirihnya.Lirih sekali suara itu. Saking lirihnya, tidak dapat ditangkap oleh telinga siapa pun yang ada di sekitar situ. Sebab suara gemuruh dari para kuli tinta terus bergelombang naik. Gemuruh hebat, yang seakan-akan tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi suara lain.“Mungkin kami bisa mendengar dari Bu Erna?” teriak salah satu di antara gerombolan wartawan yang duduk di sebelah kanan. Dia me
Fenita menelan ludah. Dia sampai tidak mampu mengangguk. Namun kakinya melangkah, mengiringi ayunan kaki Pak Galih. Dia berjalan sembari menunduk, membiarkan ayahnya menuntun langkah. Sementara Mama Erna berjalan di belakangnya, berjejer dengan Keira dan Pak Ferdinand.Semakin jauh melangkah, Fenita merasa kakinya semakin lunglai. Apalagi saat melihat sebuah pintu besar yang terbuka, dan terdengar suara-suara bergemuruh dari sana. Tangan Fenita spontan meraih pinggang Pak Galih.“Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” bisik Pak Galih sembari mengambil tangan Fenita yang sempat meremas pinggangnya. Kemudian dia genggam tangan anaknya itu.Dengan bergandengan, Pak Galih dan Fenita memasuki ruangan.Pak Ferdinand terlihat sigap mendahului, sehingga kini dia sudah berada paling depan. Sampai di depan deretan meja yang sudah diatur rapi, dia berseru dengan nada lucu, “Semua harus tertib, kalau tidak ingin ditendang keluar ya!”
“Jangan berpikir ini pemerasan, Fe,” ujar Mama Erna. Dia kembali tertawa. Kali ini sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan yang dia tangkupkan beberapa detik.“Kamu tau? Ini adalah kerja sama yang saling menguntungkan!” tandas Mama Erna sambil meluruhkan tangannya. “Pak Galih dapat nama baik, kamu dapat uang. And happy ending untuk semua.”Mama Erna bertepuk tangan, dan kembali tertawa.Kedua perempuan cantik itu reflek saling menatap.Beberapa jenak Fenita hanya bisa terpaku, sampai akhirnya Mama Erna memalingkan wajahnya. Seringai kembali muncul di wajah Mama Erna, saat itulah dengan serta merta ada sesuatu yang melintas di kepala Fenita. Dia kemudian mulai tersenyum. Dari senyum tipis menjadi semakin lebar.Setelah sedari tadi dia membiarkan Mama Erna terus menerus mentertawakannya, sekarang dia ingin sedikit membalas. Dia tegakkan kepala, dagunya sedikit terangkat.“Dan Mama dapat apa? Kok a
Kemal menghela napas. “Bu, jangan gegabah. Kita tidak boleh menunjukkan pada Fenita kalau kita menginginkan uangnya. Apalagi sampai meminta.”“Ibu kan tau sendiri, mamanya Fenita itu sepertinya sudah mencium niatku sedari awal,” lanjut Kemal. “Tadi sewaktu kami bersama, dia itu tiap detik mengingatkan Fenita bahwa aku ini mengincar uangnya. Nah, kalau Ibu begitu, nanti Fenita akan tersadar.”“Kalau Fenita sadar? Kita belum dapat apa-apa loh,” tambah Kemal. Nadanya sedikit naik.Bu Rinta mencebik. Gestur dan mimik wajahnya langsung memancarkan kekecewaan. Bola matanya memandang ke atas dengan gerakan perlahan.“Sabar ya, Bu. Kalau mau sukses harus bisa tahan diri,” Kemal menatap wajah ibunya. “Ingat, yang kita incar bukan hanya sejuta dua juta. Tapi bisa milyar. Milyar, Bu!”“Iya!” Bu Rinta memekik geram.“Kalau gitu, tolong beliin di toko online. Yang imitasi, dua puluh ribuan juga nggak apa-apa, Mal. Kalung sama gelang.” Bu Rinta berdiri. Dia melangkah, lalu mengambil sapunya.Sampai
“Ibu ini kalau soal duit paling cepat deh,” celetuk Kemal.“Padahal dulu yang paling… .”Dia tertawa, sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Hanya melirik penuh arti, lalu masuk ke dalam rumah.Bu Rinta yang sedianya belum beres membersihkan teras rumahnya, mengikuti langkah Kemal. Dia berpura-pura tidak mendengar ledekan dari anaknya itu.“Ibu bikinin kopi ya?” Bu Rinta meletakkan sapunya begitu saja dekat Kemal. Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Bu Rinta menuju dapur. Dan dalam waktu kurang dari lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi instan.“Gimana? Dapat berapa juta dari Galih Sukma? Atau milyar ya, Mal?” tanya Bu Rinta seraya menghempaskan pantatnya ke sofa dekat Kemal. Wajahnya begitu serius.“Aduh, sabar dong, Bu. Masa langsung duit-duit aja,” gelak Kemal.Kemal melirik, tersenyum lagi. Namun dia tidak segera menjawab, dia lebih memilih untuk mengangkat cangkir kopinya. Menyeruput pelan-pelan sembari memejamkan mata. Jelas sekali dia sengaja menggoda ibunya.Bu Rinta
Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se