Keluar dari resto Mama Erna, Fenita melajukan mobil ke arah yang dia hafal betul di luar kepala. Rumah Kemal. Namun saat mobil sudah dekat dengan gerbang perumahan, hati Fenita tiba-tiba meragu.
Mungkin benar kata sang mama, kalau Kemal benar-benar punya cinta yang besar, seharusnya tadi lelaki itu tetap berdiri di sampingnya. Minimal Kemal tinggal sebentar untuk mendapat penjelasan terlebih dahulu. Tidak langsung ikut pergi bersama keluarganya.
“Cinta tulus itu nggak ada, Fe,” kata Mama Erna suatu hari. “Di jaman sekarang ini, uang adalah tujuan setiap manusia.”
Fenita mendesah. Dia ingin sekali mengingkarinya. Namun kenyataan yang dia temui selama ini hampir semua seperti itu. Teman-teman sekolahnya sering memanfaatkan dia. Pacar-pacarnya yang terdahulu selalu ingin dibelikan ini dan itu. Yang pada akhirnya Fenita tahu dia cuma menjadi ATM berjalan bagi mereka. Tidak ada yang menerima dirinya berdasarkan cinta kasih.
Semula Fenita merasa Kemal berbeda. Sebab sedari awal, lelaki itu tidak pernah meminta apa pun. Justru Kemal yang sering memberinya sesuatu, meski itu bukanlah benda-benda mahal. Cokelat, setangkai mawar, boneka mini, bando dan masih banyak lagi pernak pernik lucu khas perempuan. Yang semua itu Fenita terima bersamaan dengan puja puji dari mulut manis Kemal, yang membuatnya merasa dicintai. Merasa diinginkan.
Fenita memejamkan mata sebentar. Apa salah jika dia memperjuangkan Kemal, memperjuangkan cinta ini? Baru dengan Kemal, dia mendapatkan hangatnya kasih sayang yang selama ini dia cari.
Ah aku harus mencobanya sekali lagi, gumam Fenita. Daripada menyesal tidak pernah mencoba.
Fenita pun masuk ke kompleks perumahan Kemal. Kakinya terus menekan pedal gas sampai akhirnya berbelok di jalan bertuliskan blok H.
Sejenak Fenita kembali meragu. Di depan sana, terlihat rumah Kemal ramai orang. Tiga mobil yang tadi dia lihat dipakai rombongan keluarga Kemal ke acara pertunangannya, terparkir rapi di sekitar rumah tipe tiga enam tersebut.
Jalanan yang sempit, ditambah kendaraan yang terparkir memakan area, membuat Fenita tidak punya pilihan lain, selain melintas di depan rumah Kemal. Dia tidak bisa mundur.
“Kak Fenita!”
Sayup-sayup dia mendengar suara yang meneriakkan namanya. Persis saat mobilnya melewati rumah Kemal. Dia memang tidak mungkin melaju kencang.
Fenita melirik ke spion. Terlihat sepupu Kemal menunjuk ke arahnya. Sedang Tante Desi dan sang suami ada di belakang si anak.
Sekejap dia dihinggapi kebingungan. Apakah harus berhenti atau jalan terus?
Akhirnya Fenita memilih untuk terus tancap gas. Rasanya dia belum siap jika harus bertemu dengan keluarga besar Kemal. Dia berharap bisa bertemu dengan Kemal, atau Bu Rinta. Ibu kandung Kemal yang selama ini memperlakukan dia seperti anaknya. Mungkin dia masih bisa menjelaskan dengan tenang jika hanya berdua saja.
Fenita melirik spion lagi. Entah mengapa dia ingin sekali Kemal mengejarnya. Mungkin berlari, atau naik motor, sambil meneriakkan namanya. Namun sampai dia keluar kompleks, tidak ada siapa pun. Kemal tidak mengejarnya.
Air mata Fenita bergulir di kedua pipinya. Mungkin Mama Erna benar, mimpinya untuk dicintai lelaki tampan itu harus usai sampai di sini. Kemal memang tidak pernah menjadikannya ATM berjalan. Tapi Kemal tidak menerima dirinya karena dia tidak punya papa yang jelas. Dia anak haram.
Sembari menangis Fenita melajukan mobil tidak tentu arah. Sampai akhirnya dia merasa lelah, lalu memutuskan untuk pulang.
Mama Erna terlihat sedang duduk di meja makan ketika Fenita sudah berada di dalam rumah mewah mereka.
“Makanlah dulu, Fe. Kamu dari siang belum makan kan?” Mama Erna bersuara sembari menyuap. “Ini ada sop iga kesukaan kamu.”
Fenita berhenti sejenak. Sikap wanita itu benar-benar terlihat biasa saja. Tampak santai meski Fenita yakin dia melihat wajah putri semata wayangnya ini berantakan.
“Atau mau dipanaskan dulu?”
Fenita memilih untuk tidak mengacuhkannya. Gadis cantik berkulit putih itu gegas menaiki anak tangga dengan setengah berlari.
Brak!
Ditutupnya pintu dengan kencang. Setelahnya dia menghambur ke atas ranjang. Fenita kembali menangis.
Dia merasa menjadi orang paling sendirian di dunia. Sudah lahir tanpa ayah, dia juga tidak punya kerabat. Dia tidak pernah tahu siapa nenek, kakek atau saudara yang lain. Fenita hanya punya seorang ibu. Ibu yang lebih mencintai pekerjaan daripada dirinya.
Sekarang dia tidak heran kenapa mamanya begitu. Ternyata Mama Erna melahirkan dia hanya karena perempuan itu takut mati saat menggugurkan janin. Dia dipertahankan sampai lahir, bukan karena jalinan kasih sayang seorang ibu kepada anak. Satu lagi fakta menyakitkan yang melengkapi penderitaannya.
Fenita membenamkan wajahnya, kemudian menjerit-jerit hingga tenggorokannya pegal. Hatinya terasa sakit sekali.
Mendadak telepon berbunyi. Fenita spontan terdiam. Setelah terpaku mendengarkan bunyi alat komunikasi itu, dia bergegas bangkit. Hanya ada satu nomor kontak di telepon selulernya yang dia beri bunyi khusus semacam itu.
“Mas Kemal,” panggil Fenita saat telepon sudah tersambung. Bibirnya bergetar bahagia.
“Sayang, sudah sampai rumah? Mas kuatir loh, pasti tadi kamu ngebut ya? Terus muter-muter dulu kan?”
Fenita spontan menangis. Dia lega, haru, senang sekaligus sedih mendengar suara merdu Kemal yang beruntun itu. Hati terdalamnya meletup diberi perhatian begini rupa.
“Eh, jangan nangis dong. Maafin Mas tadi terpaksa nurut sama Ibu dulu. Kalau nggak, pasti tambah nggak karuan. Sayang kan tau Tante Desi gimana,” kata Kemal. Suaranya terdengar mendayu-dayu.
“Mas kasihan sama Sayang, sama Mama Erna juga, jadi tadi Mas sengaja mengalah dulu. Maafin ya,” tambah Kemal.
Fenita semakin menggugu. Dia ternyata tidak kehilangan Kemal. Kekasihnya yang tampan itu benar-benar mencintainya.
“Udah, jangan nangis. Sekarang Sayang maem dulu, terus bobo. Besok kita ketemu ya. Eh, Mas udah tau siapa papanya Sayang.”
“T-tapi Mas nggak ninggalin aku kan?”
Terdengar tawa Kemal berderai. “Ya nggak. Mas malah mau kasih info lengkap soal papa Sayang.”
Fenita melotot kaget. Mendadak kepalanya berisik, tetapi suaranya hilang entah kemana.
“Mas udah tau semuanya. Sayang pasti kaget.”
Fenita membulatkan mata. Jadi kalau benar begitu, artinya dia bukan murni anak haram? Meskipun siri, sebenarnya Mama Erna dan Pak Galih menikah?Tiba-tiba Pak Galih merangkul Fenita dengan erat. Membuat Fenita sedikit gelagapan. Gadis itu spontan saja balas memeluk, lalu menyembunyikan wajahnya di dada Pak Galih.Sedang Pak Galih kembali menatap pada para wartawan yang sepertinya kalap mengabadikan momen mereka.“Ya, kami memang menikah siri, tapi sehabis melahirkan kami bercerai baik-baik,” desah Pak Galih.Fenita menegakkan kepala. Kembali menatap Pak Galih. Matanya sudah basah. “Benarkah?” lirihnya.Lirih sekali suara itu. Saking lirihnya, tidak dapat ditangkap oleh telinga siapa pun yang ada di sekitar situ. Sebab suara gemuruh dari para kuli tinta terus bergelombang naik. Gemuruh hebat, yang seakan-akan tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi suara lain.“Mungkin kami bisa mendengar dari Bu Erna?” teriak salah satu di antara gerombolan wartawan yang duduk di sebelah kanan. Dia me
Fenita menelan ludah. Dia sampai tidak mampu mengangguk. Namun kakinya melangkah, mengiringi ayunan kaki Pak Galih. Dia berjalan sembari menunduk, membiarkan ayahnya menuntun langkah. Sementara Mama Erna berjalan di belakangnya, berjejer dengan Keira dan Pak Ferdinand.Semakin jauh melangkah, Fenita merasa kakinya semakin lunglai. Apalagi saat melihat sebuah pintu besar yang terbuka, dan terdengar suara-suara bergemuruh dari sana. Tangan Fenita spontan meraih pinggang Pak Galih.“Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” bisik Pak Galih sembari mengambil tangan Fenita yang sempat meremas pinggangnya. Kemudian dia genggam tangan anaknya itu.Dengan bergandengan, Pak Galih dan Fenita memasuki ruangan.Pak Ferdinand terlihat sigap mendahului, sehingga kini dia sudah berada paling depan. Sampai di depan deretan meja yang sudah diatur rapi, dia berseru dengan nada lucu, “Semua harus tertib, kalau tidak ingin ditendang keluar ya!”
“Jangan berpikir ini pemerasan, Fe,” ujar Mama Erna. Dia kembali tertawa. Kali ini sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan yang dia tangkupkan beberapa detik.“Kamu tau? Ini adalah kerja sama yang saling menguntungkan!” tandas Mama Erna sambil meluruhkan tangannya. “Pak Galih dapat nama baik, kamu dapat uang. And happy ending untuk semua.”Mama Erna bertepuk tangan, dan kembali tertawa.Kedua perempuan cantik itu reflek saling menatap.Beberapa jenak Fenita hanya bisa terpaku, sampai akhirnya Mama Erna memalingkan wajahnya. Seringai kembali muncul di wajah Mama Erna, saat itulah dengan serta merta ada sesuatu yang melintas di kepala Fenita. Dia kemudian mulai tersenyum. Dari senyum tipis menjadi semakin lebar.Setelah sedari tadi dia membiarkan Mama Erna terus menerus mentertawakannya, sekarang dia ingin sedikit membalas. Dia tegakkan kepala, dagunya sedikit terangkat.“Dan Mama dapat apa? Kok a
Kemal menghela napas. “Bu, jangan gegabah. Kita tidak boleh menunjukkan pada Fenita kalau kita menginginkan uangnya. Apalagi sampai meminta.”“Ibu kan tau sendiri, mamanya Fenita itu sepertinya sudah mencium niatku sedari awal,” lanjut Kemal. “Tadi sewaktu kami bersama, dia itu tiap detik mengingatkan Fenita bahwa aku ini mengincar uangnya. Nah, kalau Ibu begitu, nanti Fenita akan tersadar.”“Kalau Fenita sadar? Kita belum dapat apa-apa loh,” tambah Kemal. Nadanya sedikit naik.Bu Rinta mencebik. Gestur dan mimik wajahnya langsung memancarkan kekecewaan. Bola matanya memandang ke atas dengan gerakan perlahan.“Sabar ya, Bu. Kalau mau sukses harus bisa tahan diri,” Kemal menatap wajah ibunya. “Ingat, yang kita incar bukan hanya sejuta dua juta. Tapi bisa milyar. Milyar, Bu!”“Iya!” Bu Rinta memekik geram.“Kalau gitu, tolong beliin di toko online. Yang imitasi, dua puluh ribuan juga nggak apa-apa, Mal. Kalung sama gelang.” Bu Rinta berdiri. Dia melangkah, lalu mengambil sapunya.Sampai
“Ibu ini kalau soal duit paling cepat deh,” celetuk Kemal.“Padahal dulu yang paling… .”Dia tertawa, sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Hanya melirik penuh arti, lalu masuk ke dalam rumah.Bu Rinta yang sedianya belum beres membersihkan teras rumahnya, mengikuti langkah Kemal. Dia berpura-pura tidak mendengar ledekan dari anaknya itu.“Ibu bikinin kopi ya?” Bu Rinta meletakkan sapunya begitu saja dekat Kemal. Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Bu Rinta menuju dapur. Dan dalam waktu kurang dari lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi instan.“Gimana? Dapat berapa juta dari Galih Sukma? Atau milyar ya, Mal?” tanya Bu Rinta seraya menghempaskan pantatnya ke sofa dekat Kemal. Wajahnya begitu serius.“Aduh, sabar dong, Bu. Masa langsung duit-duit aja,” gelak Kemal.Kemal melirik, tersenyum lagi. Namun dia tidak segera menjawab, dia lebih memilih untuk mengangkat cangkir kopinya. Menyeruput pelan-pelan sembari memejamkan mata. Jelas sekali dia sengaja menggoda ibunya.Bu Rinta
Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se