Fenita menelan ludahnya. “A-aku nggak ingin sejauh itu, Mas.”
“Maksudnya?”
“Aku sebenarnya hanya ingin tau saja. Minimal kalau ada orang tanya siapa papaku, aku bisa menjawab. Selanjutnya aku bisa beralasan papa dan mamaku sudah berpisah sejak aku kecil, atau semacam itu.”
Fenita menjeda ucapannya. Dia menatap Kemal yang tampak kaget.
“B-bukankah i-itu kedengarannya akan lebih baik? Lebih terhormat. I-iya nggak sih?” Fenita menunduk. Mendadak dia tidak yakin dengan argumennya sendiri.
Kemudian dia mengambil pisau makan yang tadi sempat terjatuh di dekat piringnya, tetapi tidak dia pakai untuk mengiris, hanya diketuk-ketuk di pinggiran piringnya.
Kemal terlihat menghela napas panjang. Tampak segaris senyum yang terkesan seperti kurang tulus. “Y-ya itu terserah Sayang. Cuma menurut Mas, Sayang punya hak. Sayang juga darah daging Pak Galih.”
Fenita berderai dua detik. Tawa yang serupa orang berdehem.
“Aku ini anak yang dilahirkan di luar pernikahan, Mas, mana ada anak haram seperti aku punya hak? Lagi pula kata Mama sejak semula papaku nggak pernah menginginkan aku. Mamaku sudah dibayar untuk menutup urusan ini.”
Kemal terlihat membolakan mata. Namun cepat tersenyum lagi. Lalu bergerak untuk menyentuh tangan Fenita. Dielus-elusnya dengan mesra. Lelaki itu seperti kehilangan kata-katanya setelah sedari tadi begitu menggebu.
“Ayo cepat dihabiskan, Mas. Sudah hampir jam sepuluh, nanti telat,” ujar Fenita menunjuk jam di pergelangan tangan Kemal.
Satu butir air mata tiba-tiba jatuh di pipi mulus gadis itu. Namun Fenita mengikisnya dengan sangat cepat. Dia berusaha fokus kepada hidangan yang sedang dia makan.
Kemal tampaknya mengikuti gerak Fenita. Lelaki berkulit putih itu mulai menyuapkan potongan ayam ke dalam mulutnya.
“Jadi, pertunangan kita akan diulang?” Fenita membuka obrolan lain.
“Iya dong. Atau lebih baik kita langsung menikah saja?”
Fenita hampir tersedak. Mulutnya yang semula melongo kaget, perlahan melebar menggaris sebuah senyum indah.
“Serius?” jeritnya tertahan.
Kemal mengangguk mantap. “Tapi jangan minta mahar yang tinggi-tinggi ya. Sayang kan ngerti keadaan keluarga Mas.”
“Iya… .” Wajah Fenita mendadak bercahaya. Tersenyum-senyum sambil terus menatap wajah Kemal. Dia tidak mencari pria kaya, yang dia cari adalah pria yang mencintainya dengan tulus.
Fenita merasa Kemal adalah orang itu. Apalagi keluarga besar Kemal juga menyambutnya dengan baik. Semoga setelah kesalahpahaman ini justru membuat mereka lebih hangat.
“By the way, cincin kita gimana?” tanya Kemal.
“Nanti aku tanya sama Mama, barangkali sudah disimpan dia. Kemarin aku langsung kabur,” sahut Fenita sambil tertawa. “Kalau hilang, kita bisa pesan lagi. Kemarin juga cuma seminggu jadi kan?”
Kemal mengangguk. Dahinya terlihat berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun lelaki itu tidak berkata apa-apa lagi hingga makannya selesai. Setelah itu Kemal pamit karena harus pergi bekerja.
Kemal bekerja sebagai supervisor marketing di toko bahan kue dan roti yang menjadi supplier tetap resto Mama Erna. Satu hari dia datang ke resto itu karena menggantikan seorang sales yang sedang berhalangan.
Di situlah dia dan Fenita berjumpa untuk pertama kali. Kemudian mereka menjadi intens berkomunikasi setelah Fenita mulai mengelola cafe-nya.
Di awal hubungan mereka, Fenita perlu usaha ekstra keras untuk meyakinkan Mama Erna tentang pilihannya terhadap lelaki itu. Setelah dia mengancam akan kabur, barulah Mama Erna mengizinkan dia bertunangan.
Sejak dulu hubungannya dengan Mama Erna memang terasa aneh. Sang mama tidak pernah menampakkan kasih sayang dengan sentuhan fisik, bahkan Mama Erna sering sekali mengeluarkan kata-kata yang menusuk hati. Namun jika Fenita sudah mengancam pergi dari rumah, Mama Erna selalu tampak ketakutan. Dan itu yang sering Fenita gunakan sebagai senjata.
Waktu bergulir siang. Cafe pun mulai ramai.
Dari pintu kantornya Fenita dapat melihat dua orang yang menempati salah satu meja di dekat kolam ikan. Dia gembira. Cafe-nya dari hari ke hari sudah menampakkan perkembangan yang menggembirakan untuk ukuran usaha yang masih merintis.
Fenita baru saja akan duduk, saat telepon interkom di mejanya berbunyi.
“Selamat pagi Bu Fenita, ada tamu untuk Ibu. Namanya Bu Rinta dan Bu Desi.”
“Oh.” Fenita terkaget. Dia sempat mematung beberapa detik sebelum akhirnya menyuruh sang penjaga keamanan yang meneleponnya itu, untuk mengantarkan kedua tamunya masuk.
“Fenita Sayang!” Bu Rinta langsung memeluk Fenita begitu mereka masuk ke ruang kerja Fenita. “Maafkan sikap Ibu semalam ya. Ibu terbawa emosi.”
Tante Desi melakukan hal yang sama saat Bu Rinta melepas pelukan. “Tante juga minta maaf, Fe. Nggak seharusnya Tante bersikap jahat seperti itu. Sungguh Tante sangat menyesal.”
Fenita mengangguk. Matanya telah basah. “Yang penting Ibu setuju dengan pernikahan kami kan?”
“Menikah?” Bu Rinta terbelalak lucu, kemudian dia menoleh pada adik ipar yang berdiri di sebelahnya. “Tentu saja, kami senang kalau kamu benar-benar bisa menjadi keluarga. Iya kan, Des?”
Tante Desi gegas mengiyakan.
Ketiganya duduk. Bu Rinta mengambil posisi di samping Fenita. Tangannya terus merangkul pundak kekasih Kemal itu. “Hampir saja kami kehilangan anak baik seperti kamu, Fe. Untung Kemal ngotot menjelaskan semuanya semalam.”
“Kemal sangat mencintai kamu, Fe. Katanya dia lebih baik mati kalau nggak jadi menikah sama kamu,” timpal Tante Desi.
Fenita membalas pelukan Bu Rinta. Ya, pelukan seperti inilah yang dia rindukan sejak dulu. Hatinya membuncah. Dia merasa Kemal dan keluarganya adalah hadiah dari kesabarannya selama ini.
“Jadi Kemal sudah bilang ya kalau mau langsung menikahi kamu?” tanya Bu Rinta.
“Iya, Bu. Tapi tetap butuh persiapan kan? Aku ingin momen seumur hidup sekali ini dirayakan dengan meriah,” sahut Fenita suka cita.
Fenita menatap dua wajah yang ceria di depannya menjadi seperti orang bingung. “Oh, tapi Ibu nggak usah kuatir, nanti aku akan mengurus semuanya.”
“Wah, Mbak Rinta, karma baik apa yang Mbak terima. Bisa dapat menantu se-sempurna Fenita? Sudah cantik, berpendidikan, kaya ray– eh maksudnya punya bisnis sendiri.”
Bu Rinta tampak melebarkan matanya. Namun satu detik kemudian dia tertawa renyah.
“Tapi ada satu hal yang ingin Ibu minta dengan sangat, Sayang,” tutur Bu Rinta.
Fenita membulatkan mata. Jadi kalau benar begitu, artinya dia bukan murni anak haram? Meskipun siri, sebenarnya Mama Erna dan Pak Galih menikah?Tiba-tiba Pak Galih merangkul Fenita dengan erat. Membuat Fenita sedikit gelagapan. Gadis itu spontan saja balas memeluk, lalu menyembunyikan wajahnya di dada Pak Galih.Sedang Pak Galih kembali menatap pada para wartawan yang sepertinya kalap mengabadikan momen mereka.“Ya, kami memang menikah siri, tapi sehabis melahirkan kami bercerai baik-baik,” desah Pak Galih.Fenita menegakkan kepala. Kembali menatap Pak Galih. Matanya sudah basah. “Benarkah?” lirihnya.Lirih sekali suara itu. Saking lirihnya, tidak dapat ditangkap oleh telinga siapa pun yang ada di sekitar situ. Sebab suara gemuruh dari para kuli tinta terus bergelombang naik. Gemuruh hebat, yang seakan-akan tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi suara lain.“Mungkin kami bisa mendengar dari Bu Erna?” teriak salah satu di antara gerombolan wartawan yang duduk di sebelah kanan. Dia me
Fenita menelan ludah. Dia sampai tidak mampu mengangguk. Namun kakinya melangkah, mengiringi ayunan kaki Pak Galih. Dia berjalan sembari menunduk, membiarkan ayahnya menuntun langkah. Sementara Mama Erna berjalan di belakangnya, berjejer dengan Keira dan Pak Ferdinand.Semakin jauh melangkah, Fenita merasa kakinya semakin lunglai. Apalagi saat melihat sebuah pintu besar yang terbuka, dan terdengar suara-suara bergemuruh dari sana. Tangan Fenita spontan meraih pinggang Pak Galih.“Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” bisik Pak Galih sembari mengambil tangan Fenita yang sempat meremas pinggangnya. Kemudian dia genggam tangan anaknya itu.Dengan bergandengan, Pak Galih dan Fenita memasuki ruangan.Pak Ferdinand terlihat sigap mendahului, sehingga kini dia sudah berada paling depan. Sampai di depan deretan meja yang sudah diatur rapi, dia berseru dengan nada lucu, “Semua harus tertib, kalau tidak ingin ditendang keluar ya!”
“Jangan berpikir ini pemerasan, Fe,” ujar Mama Erna. Dia kembali tertawa. Kali ini sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan yang dia tangkupkan beberapa detik.“Kamu tau? Ini adalah kerja sama yang saling menguntungkan!” tandas Mama Erna sambil meluruhkan tangannya. “Pak Galih dapat nama baik, kamu dapat uang. And happy ending untuk semua.”Mama Erna bertepuk tangan, dan kembali tertawa.Kedua perempuan cantik itu reflek saling menatap.Beberapa jenak Fenita hanya bisa terpaku, sampai akhirnya Mama Erna memalingkan wajahnya. Seringai kembali muncul di wajah Mama Erna, saat itulah dengan serta merta ada sesuatu yang melintas di kepala Fenita. Dia kemudian mulai tersenyum. Dari senyum tipis menjadi semakin lebar.Setelah sedari tadi dia membiarkan Mama Erna terus menerus mentertawakannya, sekarang dia ingin sedikit membalas. Dia tegakkan kepala, dagunya sedikit terangkat.“Dan Mama dapat apa? Kok a
Kemal menghela napas. “Bu, jangan gegabah. Kita tidak boleh menunjukkan pada Fenita kalau kita menginginkan uangnya. Apalagi sampai meminta.”“Ibu kan tau sendiri, mamanya Fenita itu sepertinya sudah mencium niatku sedari awal,” lanjut Kemal. “Tadi sewaktu kami bersama, dia itu tiap detik mengingatkan Fenita bahwa aku ini mengincar uangnya. Nah, kalau Ibu begitu, nanti Fenita akan tersadar.”“Kalau Fenita sadar? Kita belum dapat apa-apa loh,” tambah Kemal. Nadanya sedikit naik.Bu Rinta mencebik. Gestur dan mimik wajahnya langsung memancarkan kekecewaan. Bola matanya memandang ke atas dengan gerakan perlahan.“Sabar ya, Bu. Kalau mau sukses harus bisa tahan diri,” Kemal menatap wajah ibunya. “Ingat, yang kita incar bukan hanya sejuta dua juta. Tapi bisa milyar. Milyar, Bu!”“Iya!” Bu Rinta memekik geram.“Kalau gitu, tolong beliin di toko online. Yang imitasi, dua puluh ribuan juga nggak apa-apa, Mal. Kalung sama gelang.” Bu Rinta berdiri. Dia melangkah, lalu mengambil sapunya.Sampai
“Ibu ini kalau soal duit paling cepat deh,” celetuk Kemal.“Padahal dulu yang paling… .”Dia tertawa, sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Hanya melirik penuh arti, lalu masuk ke dalam rumah.Bu Rinta yang sedianya belum beres membersihkan teras rumahnya, mengikuti langkah Kemal. Dia berpura-pura tidak mendengar ledekan dari anaknya itu.“Ibu bikinin kopi ya?” Bu Rinta meletakkan sapunya begitu saja dekat Kemal. Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Bu Rinta menuju dapur. Dan dalam waktu kurang dari lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi instan.“Gimana? Dapat berapa juta dari Galih Sukma? Atau milyar ya, Mal?” tanya Bu Rinta seraya menghempaskan pantatnya ke sofa dekat Kemal. Wajahnya begitu serius.“Aduh, sabar dong, Bu. Masa langsung duit-duit aja,” gelak Kemal.Kemal melirik, tersenyum lagi. Namun dia tidak segera menjawab, dia lebih memilih untuk mengangkat cangkir kopinya. Menyeruput pelan-pelan sembari memejamkan mata. Jelas sekali dia sengaja menggoda ibunya.Bu Rinta
Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se