Share

Bab 7

Author: Iyustine
last update Last Updated: 2025-03-26 21:41:13

“Kok harta Pak Galih?” Suara Fenita tercekat.

Kepalanya spontan berdenyut. Apakah tuduhan Mama Erna ternyata benar? Jika Kemal memang hanya mengincar harta?

“B-bukan h-harta yang seperti itu,” sahut Kemal cepat. Kalimatnya menjadi begitu gagap. “J-jangan salah sangka dulu, Sayang.”

Fenita dapat mendengar helaan napas Kemal yang panjang. Lalu mereka terdiam beberapa detik.

“Gini loh maksud Mas, em… Mama Erna pasti tidak akan tinggal diam melihat kita menikah kan?” tanya Kemal hati-hati. “Mas kok agak kuatir, setelah itu Mama Erna akan mengerahkan berbagai macam cara untuk mengacaukan pernikahan kita. Menyakiti Sayang.”

“Sangat tidak mungkin kalau Mama Erna melepas Sayang begitu saja. Iya nggak?”

Fenita terdiam. Apa yang diucapkan Kemal terdengar menyeramkan. Namun kalau diingat kembali bagaimana selama ini Mama Erna terus menerus memaksakan kehendak pada dirinya, Fenita jadi merasa bahwa argumen sang kekasih ada benarnya.

“Kalau Pak Galih sudah ada di sisi kita, Sayang jadi punya perlindungan. Maksud Mas gitu, jadi bukan kita minta uang sama Pak Galih.” Kemal tertawa. Terdengar sedikit hambar, meski ada riak-riak kelegaan.

Fenita tercenung. Jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali Kemal langsung saja mengajaknya pergi dari sini. Menikah, lalu mereka bisa hidup bersama sampai tua. 

Dia tidak apa-apa kalau harus mencari pekerjaan. Atau mungkin merintis usaha kecil-kecilan. Bagi Fenita dapat bersanding dengan Kemal selamanya adalah kebahagiaan tertinggi.

“Halo, Sayang. Apa masih di sana?” Suara Kemal terdengar lebih nyaring. 

“Ya,” jawab Fenita lesu. Air sudah mulai berkumpul memenuhi kelopak matanya. “Kenapa jalan kita jadi susah begini?”

“Bukan susah, Sayang. Tapi kita perlu strategi. Menghadapi Mama kamu yang punya uang, kita harus punya tameng yang setara dengan dia. Semoga kamu ngerti maksud Mas.”

Fenita menarik sekaligus menghembus napasnya dalam durasi cepat. Setelah itu dia diam beberapa saat.

“Beneran semua yang Mas pikirin cuma untuk kebaikan hidup Sayang, masa depan kita,” lirih Kemal. Terdengar mendayu.

“Tapi itu kalau Sayang masih percaya sama Mas ya.”

Fenita menahan isak. Ruang pikiran dalam kepalanya ribut sekali. Kalau dia disuruh memilih antara mamanya atau Kemal. Tanpa ragu sedikit pun dia akan pilih lelaki itu. 

Kemal punya cinta nyata. Kemal punya keluarga yang hangat. Yang bisa diajak untuk berbagi rasa. Sesuatu yang belum pernah dia dapatkan dalam hidupnya selama ini.

Fenita membayangkan, saat nanti sudah menikah dengan Kemal, dirinya akan selalu bisa bicara apa saja, mungkin sambil berpelukan di tempat tidur. Mungkin juga suatu saat dia akan belanja bersama Bu Rinta, sebagai menantu dan mertua yang harmonis. Apalagi jika sudah punya anak, pasti dunia Fenita tambah berwarna. Tidak kesepian lagi.

Ah, sekedar membayangkan saja sudah terasa sangat bahagia. Dia akan punya keluarga yang saling peduli, seperti layaknya orang-orang lain.

“Sayang…,” desah Kemal.

“Oke, Mas. Aku akan ikut apa rencana Mas saja.” Fenita memejamkan mata saat mengucapkan itu. Air mengalir di kedua pipinya.

Meski sebenarnya dia belum setuju betul, tetapi dia tidak ingin kehilangan Kemal. Sebab hanya Kemal beserta keluarganya yang bisa menerima diri Fenita, yang terlahir tanpa ayah yang jelas.

Fenita mendengar dengusan napas lega Kemal di ujung telinganya.

“Syukurlah Sayang ngerti maksud Mas,” kata Kemal, terdengar suka cita. “Sekarang tenangkan diri Sayang. Bersikaplah seolah-olah Sayang menuruti semua keinginan Mama Erna.”

“Jangan buat Mama Erna curiga. Mas takut, rencana kita akan digagalkan.”

***

Waktu yang dijanjikan Kemal akhirnya tiba.

Fenita sudah berhasil menyelundupkan baju dan beberapa perhiasan ke dalam mobilnya. Kata Kemal, sekedar berjaga jika rencana mereka berantakan di tengah jalan.

Gadis berambut panjang itu tetap pergi dari rumah seperti biasa. Di tengah jalan dia menelepon asistennya dan memberitahu bahwa dia akan pergi ke beberapa toko untuk mencari pernak pernik keperluan cafe.

Tentu saja itu hanya akal-akalan, sebab setelah telepon ditutup, Fenita melajukan mobilnya ke rumah Kemal. Dia akan menitipkan mobilnya di situ. Kemudian dari rumah Kemal, Fenita naik taksi bersama kekasihnya ke stasiun. 

Kereta api menjadi pilihan sebab itulah transportasi tercepat di antara beberapa alat transportasi yang ada.

“Sayang takut?” tanya Kemal saat kereta api sudah bergerak cepat. “Empat atau lima jam lagi Sayang akan ketemu Papa Sayang.”

Fenita hanya menghela napas. Perasaannya tidak karuan. Dia tidak pernah berpikir akan sampai sejauh ini, tetapi mungkin ini yang terbaik untuk hidupnya.

Gadis itu lebih memilih menjatuhkan kepalanya ke pundak Kemal. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan sang kekasih.

Fenita mulai merasa seluruh badannya dingin. Sampai dia harus meringkuk di pelukan Kemal agar mendapat sedikit kehangatan. Dia juga hanya menanggapi seperlunya saja setiap Kemal mengajaknya bicara. 

Sampai akhirnya, waktu yang terasa begitu panjang bagi Fenita, berakhir juga. Kereta yang mereka tumpangi telah sampai di stasiun tujuan.

“Kita naik taksi, kantornya nggak jauh dari sini kok,” ujar Kemal begitu mereka turun dari kereta api.

Fenita meremas genggaman tangan Kemal yang tengah menggandengnya menuju pintu keluar. Dia kemudian mengangguk. 

“Rileks-lah, kita sudah berhasil sejauh ini,” bisik Kemal. “Demi masa depan kita.”

Fenita kembali mengangguk. Namun dia merasa sedikit sesak napas saat taksi memasuki halaman sebuah gedung dengan banyak bendera partai politik.

“Selamat siang, Pak. Saya Kemal sudah ada janji dengan Pak Galih,” kata Kemal saat melewati pos keamanan.

Mereka menunggu sejenak, sebelum akhirnya diminta untuk menuju sebuah ruangan yang terpisah dari gedung utama.

“Ayo, Sayang!” Kemal menuntun Fenita turun dari taksi. “Kita sudah ditunggu di sana.”

Kaki Fenita bergetaran saat sepatunya beradu dengan jalanan. 

Semakin mendekat, semakin terasa lemas. Hatinya langsung berdesir-desir, ketika seorang lelaki muda memakai jas biru tua muncul di ambang pintu. Seperti sengaja menunggu kedatangan mereka berdua. 

Dia tampan, dan terlihat amat berwibawa. 

“Apa dia Pak Galih?” bisik Fenita kepada Kemal. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Batal Menikah Karena Tak Punya Ayah   Bab 20

    Fenita membulatkan mata. Jadi kalau benar begitu, artinya dia bukan murni anak haram? Meskipun siri, sebenarnya Mama Erna dan Pak Galih menikah?Tiba-tiba Pak Galih merangkul Fenita dengan erat. Membuat Fenita sedikit gelagapan. Gadis itu spontan saja balas memeluk, lalu menyembunyikan wajahnya di dada Pak Galih.Sedang Pak Galih kembali menatap pada para wartawan yang sepertinya kalap mengabadikan momen mereka.“Ya, kami memang menikah siri, tapi sehabis melahirkan kami bercerai baik-baik,” desah Pak Galih.Fenita menegakkan kepala. Kembali menatap Pak Galih. Matanya sudah basah. “Benarkah?” lirihnya.Lirih sekali suara itu. Saking lirihnya, tidak dapat ditangkap oleh telinga siapa pun yang ada di sekitar situ. Sebab suara gemuruh dari para kuli tinta terus bergelombang naik. Gemuruh hebat, yang seakan-akan tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi suara lain.“Mungkin kami bisa mendengar dari Bu Erna?” teriak salah satu di antara gerombolan wartawan yang duduk di sebelah kanan. Dia me

  • Batal Menikah Karena Tak Punya Ayah   Bab 19

    Fenita menelan ludah. Dia sampai tidak mampu mengangguk. Namun kakinya melangkah, mengiringi ayunan kaki Pak Galih. Dia berjalan sembari menunduk, membiarkan ayahnya menuntun langkah. Sementara Mama Erna berjalan di belakangnya, berjejer dengan Keira dan Pak Ferdinand.Semakin jauh melangkah, Fenita merasa kakinya semakin lunglai. Apalagi saat melihat sebuah pintu besar yang terbuka, dan terdengar suara-suara bergemuruh dari sana. Tangan Fenita spontan meraih pinggang Pak Galih.“Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” bisik Pak Galih sembari mengambil tangan Fenita yang sempat meremas pinggangnya. Kemudian dia genggam tangan anaknya itu.Dengan bergandengan, Pak Galih dan Fenita memasuki ruangan.Pak Ferdinand terlihat sigap mendahului, sehingga kini dia sudah berada paling depan. Sampai di depan deretan meja yang sudah diatur rapi, dia berseru dengan nada lucu, “Semua harus tertib, kalau tidak ingin ditendang keluar ya!”

  • Batal Menikah Karena Tak Punya Ayah   Bab 18

    “Jangan berpikir ini pemerasan, Fe,” ujar Mama Erna. Dia kembali tertawa. Kali ini sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan yang dia tangkupkan beberapa detik.“Kamu tau? Ini adalah kerja sama yang saling menguntungkan!” tandas Mama Erna sambil meluruhkan tangannya. “Pak Galih dapat nama baik, kamu dapat uang. And happy ending untuk semua.”Mama Erna bertepuk tangan, dan kembali tertawa.Kedua perempuan cantik itu reflek saling menatap.Beberapa jenak Fenita hanya bisa terpaku, sampai akhirnya Mama Erna memalingkan wajahnya. Seringai kembali muncul di wajah Mama Erna, saat itulah dengan serta merta ada sesuatu yang melintas di kepala Fenita. Dia kemudian mulai tersenyum. Dari senyum tipis menjadi semakin lebar.Setelah sedari tadi dia membiarkan Mama Erna terus menerus mentertawakannya, sekarang dia ingin sedikit membalas. Dia tegakkan kepala, dagunya sedikit terangkat.“Dan Mama dapat apa? Kok a

  • Batal Menikah Karena Tak Punya Ayah   Bab 17

    Kemal menghela napas. “Bu, jangan gegabah. Kita tidak boleh menunjukkan pada Fenita kalau kita menginginkan uangnya. Apalagi sampai meminta.”“Ibu kan tau sendiri, mamanya Fenita itu sepertinya sudah mencium niatku sedari awal,” lanjut Kemal. “Tadi sewaktu kami bersama, dia itu tiap detik mengingatkan Fenita bahwa aku ini mengincar uangnya. Nah, kalau Ibu begitu, nanti Fenita akan tersadar.”“Kalau Fenita sadar? Kita belum dapat apa-apa loh,” tambah Kemal. Nadanya sedikit naik.Bu Rinta mencebik. Gestur dan mimik wajahnya langsung memancarkan kekecewaan. Bola matanya memandang ke atas dengan gerakan perlahan.“Sabar ya, Bu. Kalau mau sukses harus bisa tahan diri,” Kemal menatap wajah ibunya. “Ingat, yang kita incar bukan hanya sejuta dua juta. Tapi bisa milyar. Milyar, Bu!”“Iya!” Bu Rinta memekik geram.“Kalau gitu, tolong beliin di toko online. Yang imitasi, dua puluh ribuan juga nggak apa-apa, Mal. Kalung sama gelang.” Bu Rinta berdiri. Dia melangkah, lalu mengambil sapunya.Sampai

  • Batal Menikah Karena Tak Punya Ayah   Bab 16

    “Ibu ini kalau soal duit paling cepat deh,” celetuk Kemal.“Padahal dulu yang paling… .”Dia tertawa, sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Hanya melirik penuh arti, lalu masuk ke dalam rumah.Bu Rinta yang sedianya belum beres membersihkan teras rumahnya, mengikuti langkah Kemal. Dia berpura-pura tidak mendengar ledekan dari anaknya itu.“Ibu bikinin kopi ya?” Bu Rinta meletakkan sapunya begitu saja dekat Kemal. Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Bu Rinta menuju dapur. Dan dalam waktu kurang dari lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi instan.“Gimana? Dapat berapa juta dari Galih Sukma? Atau milyar ya, Mal?” tanya Bu Rinta seraya menghempaskan pantatnya ke sofa dekat Kemal. Wajahnya begitu serius.“Aduh, sabar dong, Bu. Masa langsung duit-duit aja,” gelak Kemal.Kemal melirik, tersenyum lagi. Namun dia tidak segera menjawab, dia lebih memilih untuk mengangkat cangkir kopinya. Menyeruput pelan-pelan sembari memejamkan mata. Jelas sekali dia sengaja menggoda ibunya.Bu Rinta

  • Batal Menikah Karena Tak Punya Ayah   Bab 15

    Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status