"Assalamualaikum," suara Mbak Zahra menyadarkanku dari lamunan. "Waalaikum salam, Mbak." sahutku. Aku yang sedang duduk di sofa bangkit mendekat pada Mbak Zahra dan menyalaminya.Mbak Zahra datang bersama anak bungsunya, Nabila. "Loh ... ada kamu, Zal?! Kapan sampai?" tanyanya kaget melihat keberadaanku. "Kemaren Mbak, sebelum magrib." jawabku. Nabila berlari ke taman samping, ke tempat Ibu dan Alia berada.Mbak Zahra duduk di hadapanku, menyenderkan punggungnya ke sofa sambil menyilangkan kakinya. Persis layaknya seorang nyonya. Nyonya besar."Suami kamu mana, Zal? Kok, Mbak gak nampak?" tanyanya lagi. Karena setiap pulang ke rumah Ibu, aku selalu bersama Mas Yudha. Padahal jarak antara rumahku dan Ibu hanya satu jam. Ibu tinggal di kota besar sedangkan aku di kabupaten. Tapi Mas Yudha tidak pernah mengizinkanku pulang sendiri. "Mas Yudha sedang sibuk, Mbak. Jadi hanya aku dan Alia saja yang pulang." jawabku bohong. Mbak Zahra mencebikkan bibirnya seolah mengejek. "Sibuk apa? Su
"Terserah lah! Asal jangan nyesel aja nantinya. Dan jangan nyusahin Ibu!" sentak Mbak Zahra padaku. "Apa kamu lupa, siapa yang dulu ngotot banget pengen nikah sama Yudha. Bahkan bela-belain berhenti kuliah! Sekarang malah ngotot ingin pisah, apa kamu gak malu, hah?" Aku menggigit bibir bawahku, sedih dan bercampur kesal. Aku sedih ternyata lelaki yang aku perjuangkan mati-matian justru membuatku kecewa. Namun aku juga kesal, kenapa Mbak Zahra sedari tadi selalu saja memojokkanku. Apa masalahnya padaku?"Jika aku tahu Mas Yudha seperti itu, tentu aku tidak akan mau menikah dengannya, Mbak. Namanya juga jodohku seperti itu, Mbak. Jika aku dapat suami penurut seperti Mas Hadi, tentu aku tidak akan bercerai darinya." balasku. Braakk ...Mbak Zahra mengebrak meja dengan kuat, membuat Ibu menjadi terkejut. Begitu pula dengan Nabila dan Alia yang duduk bersama kami."Apa maksud kamu, Zalia? Kamu mau menggoda suamiku, Mas Hadi? Dasar wanita genit kamu, ya?!" maki Mbak Zahra. Astagfirullah
Waktu berjalan seiring irama kehidupan ini. Tak pernah mau menunggu. Tak terasa sudah satu bulan aku di rumah Ibu. Ibu tak mengizinkanku untuk pindah, apalagi mengontrak rumah. Katanya rumah ini cukup besar jika harus ia tempati sendiri, ia ingin di hari tuanya berkumpul bersama anak dan cucu. Tentu aku tak tega mendengar permintaan Ibu. Atas saran Ibu, untuk sementara waktu aku tak perlu bekerja jadi buruh cuci lagi. Aku cukup di rumah membantu Ibu sambil memantau sekiranya usaha apa yang cocok denganku.Andai hidup ini adalah permainan game, maka aku akan memilih 'game over' dan memulai semuanya lagi dari awal!Namun kenyataannya tak semudah itu. Hari-hari kulalui di sini dengan begitu pahit. Ibu memang memperlakukanku begitu baik, kasih sayang yang ia berikan padaku dan Alia tak berkurang sedikitpun.Mbak Zahra masih sama seperti awal aku datang ke sini. Ia masih begitu sinis dan seolah tak suka akan kedatanganku. Sedangkan suamiku, Mas Yudha. Tak pernah sekalipun menelpon, setind
"Seperti yang sudah Ibu bilang tadi, itu uang pembagian hasil toko. Ibu sudah tua Zalia, Ibu juga tidak mungkin mengelola toko itu lagi. Itu sebabnya dulu Ibu memintamu untuk pulang. Ibu berencana membagi toko itu pada kalian berdua. Namun, kamu tak datang dan juga susah dihubungi, jadi ibu memutuskan untuk Zahra mengelola toko itu untuk sementara waktu. Sedangkan hasil dari pendapatan toko itu di bagi tiga." Ibu menjeda ucapannya sesaat sambil menarik napas lelah. Aku mendengarkan baik-baik penjelasan Ibu."10% dari hasil pendapatan bersih toko setiap bulan diwakafkan untuk para anak yatim dan duafa . Sedangkan sisanya di bagi tiga secara adil dan rata. Masing-masing dari kita mendapatkan jatah 30%. Sedangkan Mbakmu Zahra, karena ia ikut mengelola, maka ia juga mendapatkan tambahan upah layaknya karyawan toko. Ibu sudah tua Zalia, untuk apa lagi Ibu menimbun harta. Itu sebabnya Ibu membagikan hasil toko itu. Ibu juga tidak mungkin menjualnya pada orang lain. Kamu tahu sendiri kan, N
Sudah dua hari waktu berlalu, tapi Mbak Zahra belum juga mentransfer uang yang ia janjikan padaku dan Ibu. Semenjak ketahuan mengambil hakku, ia juga tidak datang lagi ke rumah Ibu. Sedangkan nomor ponselnya sangat susah untuk dihubungi.Aku bisa saja mengadukannya pada Ibu dan membuat Ibu marah padanya. Aku tahu Mbak Zahra sangat takut jika Ibu mengambil alih kembali toko yang sedang ia kelola. Tapi aku segan merepotkan Ibuku itu. Lagi pula, akan terasa tidak seru jika masalah ini langsung selesai karena campur tangan Ibu.Siang ini aku memutuskan pergi ke toko pecah belah Ibu menggunakan motor matik yang dulu aku pakai saat zaman sebelum nikah. Ibu dan Bapak tidak menjualnya, mereka bilang sayang jika di jual. Banyak kenangan masa gadisku di motor itu. Sebab motor itu adalah motor yang di belikan Bapak tepat di hari ulang tahunku yang ke dua puluh.Sesampainya di teras toko. Aku memarkirkan motor maticku, suasana toko benar-benar ramai Sinaga ini. Karena toko Ibu juga merupakan gros
"Mbak jangan menghindar atau pura-pura gak tahu, Mbak. Gak baik memakan hak saudara sendiri, Mbak," ujarku pelan. Ada beberapa orang pembeli yang berada di dekat kami, jadi tak mungkin aku berbicara kencang-kencang. Aku masih menjaga wibawa kakakku perempuanku di depan pelanggan dan karyawannya."Maksud kamu, aku serakah gitu? Heh ... Zalia, tahu apa kamu. Masih untung setiap bulan aku kirimkan uang itu padamu. Padahal kamu hanya ongkang-ongkang kaki saja di sana," jawabnya. Sungguh menusuk hati. Aku mengepalkan kedua tanganku di atas paha. Aku geram mendengar ucapannya, bekerja dari pagi sampai malam berkutat dengan cucian kotor. Apa itu yang di sebut ongkang-ongkang kaki?"Jika Mbak gak tahu kebenaran tentang hidupku, gak usah asal ngomong, Mbak!" "Kenapa? Mbak tahu kamu sengsara nikah sama Yudha kan? Makanya jadi wanita jangan bodoh Zalia. Lagi pula, siapa suruh kamu ngebet banget pengen nikah sama Yudha! Sekarang rasain!" ejek Mbak Zahra. Degh. Dadaku kembali terasa begitu sesa
"Oh ya ... Mbak Zahra, ini siapa?" tanya Bu Ratna sambil menyerahkan sembilan lembar uang kertas berwarna merah. Ia melirik ke arahku yang masih setia duduk di depan Mbak Zahra. Mbak Zahra menerima uang itu, menghitungnya secara teliti, membuka kunci laci mejanya, dan memasukkan uang itu kedalam laci. lalu menyerahkan kembalian pada Bu Ratna sebelum mengunci laci meja itu kembali."Oh ... ini adik saya, Bu. Biasa minta bantuan minjam duit sama saya. Ya ... sebagai saudara tentu saya akan menolongnya. Walaupun uang yang di pinjam gak akan pernah kembali," ujar Mbak Zahra berbohong. Mataku terbelalak, menatap tak suka ke arah Mbak Zahra."Benar-benar baik kamu ya, Mbak. Pantas rezekinya selalu lancar," puji Bu Ratna. Tapi membuat hatiku muak dan geram. Siapa yang mau pinjam uang padanya? Aku justru ingin mengambil hakku yang di makan olehnya!Baru saja mulut ini akan terbuka untuk menjelaskan, Mbak Zahra lebih dulu memotongnya. "Oh ... Ya, Jenk Ratna. Apa masih ada lagi yang mau di bel
Sesampainya di rumah, aku masuk lewat pintu belakang menuju kamar mandi. Membasuh wajah yang sembab ini agar tidak terlalu kentara jika aku habis nangis. "Ya Allah zalia! Ibu sampai kaget. Ibu pikir tadi siapa yang ada di kamar mandi. Soalnya Ibu tidak lihat kamu masuk rumah tadi," ujar Ibu saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Bukan hanya Ibu saja yang kaget tapi aku juga."Iya Bu, tadi Zalia kebelet mau ke kamar kecil. Makanya sampai langsung masuk kamar mandi," jawabku. "Alia mana, Bu?" lanjutku. Aku mencium bau minyak telon dari tubuh Ibu, itu artinya Ibu baru saja habis memandikan Alia."Ada di kamar, sedang tidur," Jam baru menunjukkan pukul dua siang, semenjak tinggal di rumah Ibu. Kehidupan putriku jadi lebih teratur, Ibu sudah terbiasa memandikan kami dulu sebelum di suruh tidur siang. Katanya biar tidurnya lebih nyaman saat badan bersih dan wangi. Hal itu juga yang ia lakukan pada Alia saat ini."Terima kasih, Bu. Sudah mengurus dan merawat Alia. Maaf jika selama i