Home / Rumah Tangga / Batas kesabaran seorang istri! / 7. Mertua tak ada akhlak.

Share

7. Mertua tak ada akhlak.

last update Last Updated: 2022-06-12 15:52:17

Setelah Alia bangun dan mandi, aku menyuapinya dengan lontong yang kubeli tadi.

"Ma ... mamam!" teriak gadis kecil itu membuatkan lamunanku.

"Astagfirullah al'azim," ucapku. Ternyata sedari tadi aku melamun hingga tak sadar bukan mulut putriku yang aku suapi, tapi gelas yang berisi air.

"Maaf sayang. Maaf, ya, Nak!" ujarku dengan rasa bersalah. Aku kembali menyuapi Alia. Pikiranku menjadi tak fokus sejak berbicara dengan Mbak Ika tadi. Aku masih tak habis pikir, jika Mas Yudha tega melakukan itu. Apa betul ia main serong dengan janda ujung komplek? Atau Mbak Ika salah lihat.

Jika Mas Norman aku masih percaya, karena ia memiliki uang. Namun Mas Yudha? Entahlah, aku bingung.

"Eh ... eh ... suami sedang sakit, kamu malah enak-enakan makan lontong telur di rumah. Benar-benar istri tak berbudi, kamu ini, ya, Zalia!" bentak Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkanku. Ibu mertuaku ini nongol Sudah seperti jin iprit saja, tak bersuara dan tak berbunyi. Tahu-tahu sudah ngomel di depan mukaku.

"Duduk dulu, Buk! Nanti asam urat ngomel sambil berdiri," ujarku santai. Aku kembali menyuapi Alia, dua potong lontong terakhir dan setengah potong telor.

Ibu duduk di samping Alia sambil cemberut. "Mana lontongnya lagi, ibu minta! Perut ibu lapar, dari tadi ngurusin suami kamu yang mabuk, mana dari tadi ... eh!" ucapan ibu terjeda dengan expresi jijik. Tanpa ia jelaskan pun aku sudah tahu apa yang terjadi. Aku hanya bisa tertawa jahat di dalam hati. Kalau tertawa terang-terangan aku mana berani.

"Gak ada lagi, Buk. Aku cuma beli satu bungkus, itu pun sudah di habiskan Alia," jawabku. Memang itu keadaanya.

Ibu mencebikkan bibirnya sambil menatapku tak suka. "Ya kamu beli lagi lah! Warung Bik Siti kan masih buka, orang ini masih pagi. Sekalian kamu belikan untuk Yudha juga, dia pasti lapar! Ibu gak masak, capek!" perintahnya serasa seperti nyonya besar.

Aku mengadakan tanganku pada ibu. Mata ibu mendelik menatapku. "Apa maksudnya ini, Zalia!" Bukannya memberi apa yang aku minta, ibu justru menepis tanganku kasar. Pedih sekali rasanya, dasar mertua sedekut. Selain mulutnya yang pedih, ternyata pukulan tangannya tak jauh lebih pedih.

"Uang lah, Buk. Memangnya beli sarapan tempat Bu Siti gak pakai uang apa?" jawabku.

"Pakai uang kamu lah, gitu aja pakai nanya. Jadi menantu jangan pelit sama mertua dan suami, nanti kualat kamu!" ujarnya tak tahu malu. Emosiku mulai terpancing. Ingin rasanya kumutilasi tubuh mertuaku ini. Anak dan Ibu sama saja. Sama-sama nyusahin.

Aku menghela napas lelah, lelah beradu argumen dengannya di pagi hari ini. Kedatangan Ibu pagi ini membuat udara pagi yang segar terasa tercemar polusi yang membuat dada sesak.

"Zalia gak ada uang, Buk,"

"Jangan bohong kamu, jangan pelit-pelit itu tak bagus!"

"Memang Zalia gak ada duit, kok. Lihat tu, pakaian laundry belum aku antar. Itu artinya aku belum dapat duit!" Aku menunjuk tumpukan plastik yang berisi pakaian bersih yang sudah di setrika, pada ibu dengan daguku.

"Uang transferan ibumu kan udah masuk, ya kamu beli lah pakai uang itu, dulu! Dasar menantu pelit, apa sih yang sudah kamu berikan pada keluarga ini. Cuma minta di belikan lontong saja gak dikasih, dasar!" sungut Ibu. Hatiku kembali terasa perih, apa ia tak punya mata untuk melihat apa yang telah aku lakukan untuk keluarga ini.

Siang malam aku membanting tulang mencari nafkah yang seharusnya menjadi tugas putranya itu. Kutekan dada ini yang terasa semakin sesak. Air mata tak dapat lagi kutahan.

"Di suruh beli lontong malah, mewek! Cepat beli Zalia! Ibu sudah lapar ini, suamimu pun juga sudah lapar!"

Aku menghapus air mataku yang telah jatuh dengan telapak tanganku. Kutarik napas ini dan aku keluarkan dengan perlahan. Ingin sekali aku berteriak dan memberontak. Tapi kuurungkan semua itu.

Kugendong Alia dan kuajak ia ke warung Bu Siti, membelikan apa yang Ibu pinta. Biarlah kali ini aku mengalah, tak enak rasanya di dengar tetangga. Pagi-pagi sudah ribut masalah makanan.

"Eh ... Neng Zalia, kembali lagi. Ada yang ketinggalan Neng?" tanya Bu Siti. Tak biasanya aku datang ke warungnya hingga dua kali dalam hari yang sama.

"Iya, Bu Siti. Lontongnya masih ada? Kalau masih tolong bungkuskan dua, ya! Tak usah pakai telor, ya!" pintaku. Bu Siti mengangguk.

"Tunggu ya, Neng!" ujarnya.

Aku memilih duduk di bangku panjang dan meletakkan Alia di sebelahku. Hari sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Itu sebabnya warung Bu Siti sudah tampak sepi. Hanya ada aku dan Alia yang sedang duduk menanti pesanan kami.

Aku mengambil plastik berisi lontong dari tangan Bu Siti. Kuulur uang sebesar sepuluh ribu padanya. Sebungkus lontong tanpa telor seharga lima ribu sebanyak dua bungkus, aku bawa pulang dan kuserahkan pada ibu mertuaku yang sudah menunggu di depan pintu. Sudah seperti penagih hutang saja gayanya.

"Gorengannya mana, Zalia? Kok gak beli sekalian?" Protesnya melihat plastik yang kubawa. Kalau gak mikir mertua sudah kulempar tubuh gempalnya ke jalanan. Di kasih hati minta ginjal ini namanya! Huh!

"Gorengannya habis, Bu," jawabku bohong.

"Alasan kamu!" ujarnya. matanya mendelik tak percaya.

"Kalau Ibu tak percaya, tinggal lihat sendiri saja di tempat Bu Siti. Masih ada atau tidak?" tandasku. Ibu mendengus, ia merampas bungkusan di tanganku sambil berlalu pergi. Tanpa pamit apalagi terima kasih.

Ya Tuhan ... gini amad nasibku punya mertua!

🍁🍁🍁

"Zalia, ini upah cucian kamu, ya, dan ini untuk jajan Alia," Bu Endang menyerahkan dua lembar uang berwarna merah padaku dan selembar warna biru untuk Alia. Saat aku mengantarkan pakaiannya yang sudah di cuci bersih.

"Alhamdulillah ... terima kasih banyak Bu Endang, semoga rezekinya makin lancar ya, Bu," ujarku dengan senyum merekah. Bu Endang merupakan toke ayam potong di kampung ini. Selain baik orangnya juga gak pelit. Ia memberiku upah setiap dua Minggu sekali, tak jarang ia memberikanku bonus berupa ayam potong atau uang jajan untuk Alia.

"Amin ... Ibu juga terima kasih, sudah di ringankan kerjaan oleh kamu. Cucian kamu bersih, wangi dan rapi. Ibu suka," jelasnya.

Aku lagi-lagi mengucapkan terima kasih. Tidak semua pelangganku sebaik Bu Endang. Aku pamit pergi pada Bu Endang. Masih ada satu orang lagi yang cuciannya harus aku antarkan.

Aku dan Alia berjalan hingga komplek sebelah untuk mengantarkan pakaian pada pelanggan terakhir. Cuaca yang terik membuatku dan Alia kehausan. Kami membeli sebotol air dingin pada sebuah warung dan duduk di terasnya untuk minum dan melepas lelah.

Aku menyipitkan mata, menajamkan penglihatanku. Bangku panjang di depan warung yang aku duduki ini, menghadap langsung ke arah sebuah rumah berdesain minimalis. Rumah seorang janda yang Mbak Ika sebut tempo hari.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status