Karena ketutupan dahan pohon dan sebuah spanduk membuat orang tidak dapat melihat langsung keberadaanku. Namun aku bisa melihat pemandangan di depanku secara jelas.
Aku melihat seorang lelaki tinggi tegap keluar dari rumah itu. Janda itu melambai mesra dengan pria itu. Karena pria itu masih menoleh ke arah rumah, sehingga membuatku tak dapat melihat wajahnya secara langsung. Tapi melihat pakaian dan postur tubuhnya, aku merasa seperti sangat familiar.Dalam beberapa menit mereka berdua masih saling melempar kissbay dan rayuan gombal yang membuat siapapun yang melihat menjadi mual. Seperti aku yang geli melihat gelagat mereka yang malu-malu guk ... guk. "Mas Norman," gumamku lirih. Saat pria itu membalikkan tubuhnya, untuk menaiki motor yang terparkir di teras rumah itu. Mataku bulatku melebar seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat, ngapain Mas Norman keluar dari rumah janda dengan keadaan rambut basah.Sepertinya ia habis mandi? Mandi di siang hari terik, di rumah janda?Kok aku seraya tak percaya, ya.Mas Norman yang terkenal bucin pada istrinya, justru main janda?Mas Norman tinggal di rumah Ibu mertuaku bersama istrinya. Letak rumah ibu mertua sekitar lima menit dari rumahku yang masih berada dalam satu komplek 'komplek perumahan lama' namanya. Sedangkan rumah janda ini jaraknya lima menit dari rumahku yang sudah beda komplek dan beda RT. Secara garis besar, rumahku berada di tengah-tengah antara rumah ibu dan rumah janda ini.Aku berdecak kagum, rumah janda ini sudah termasuk komplek perumahan elit. Dengan uang muka dan angsuran cukup tinggi. 'Perum Asri' namanya, tapi warga komplek kami bilang perumah orang kaya. Selain ukuran tanahnya yang cukup luas untuk setiap kapling dan tipe rumah juga cukup besar dari perumahan yang lain, yaitu tipe 84Sedangkan aku, ah ... boro-boro mau ngambil ansuran perumahan, bayar kontrakan 300ribu sebulan aja rasa megap-megap. Rumah yang aku kontrak memang merupakan perumahan yang tidak di huni oleh pemiliknya. Katanya sih untuk anaknya yang sudah menikah, karena anaknya pindah keluar kota, sehingga rumah itu tidak jadi di tempati. Makanya kami dapat mengontrak rumah beserta isinya itu.Aku jadi penasaran bagaimana jika Mbak Intan tahu, kalau suaminya main serong dengan janda? Ah ... biarlah, bukan urusanku ini. Lagi pula Mbak Intan juga selalu ketus padaku. Sesama perempuan bukannya saling dukung, eh dia justru selalu menjatuhkanku.Namun, bagaimana dengan Mas Yudha?Apa dia juga main serong dengan janda itu juga?Jika ia, berarti Mas Yudha dan Mas Norman?Ya Allah ... kepalaku rasanya mau pecah di buatnya. Napasku terasa sesak, Astagfirullah al'azim, semoga saja itu tidak benar ya Allah."Dari mana aja kamu, Zalia? Kenapa jam segini, belum masak?" bentak Mas Yudha. Aku yang letih baru pulang ke rumah, sehabis mengantarkan pakaian, sudah mendapatkan sambutan bentakan.Keringat di tubuhku belum kering, kaki yang letih berjalan belum sempat selonjor. Tapi, aku sudah dapat bentakan seolah aku hanya pergi bermain saja seharian ini.Kata orang pernikahan itu ladang pahala, tapi tidak untukku. Pernikahanku ini sudah seperti neraka bagiku."Aku baru pulang, Mas. Aku capek! Bisa gak ngomel-ngomel" jawabku. Kuletakkan Alia yang sedang tidur di gendonganku keatas tikar yang ada di depan tv. Jika kuletakkan di kamar takutnya ia terbangun dengan cuaca yang panas begini."Makanya kalau gak mau suami ngomel. Sebelum pergi itu masak dulu. Atau setidaknya kamu pulang bawa makanan. Ini disuruh beli lontong, malah gak pakai telor! Gak becus banget kamu jadi istri!" lagi-lagi aku, aku lagi ... yang di salahin. Semuanya salah aku. Gak ada makanan salahku! Gak ada uang salahku, semua salahku. Sebenarnya yang kepala rumah tangga ini aku atau dia, sih."Memangnya kamu ada ngasih aku uang untuk belanja, Mas?" jawabku santai. Aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Aku minum air itu hingga tandas. Tenggorokanku rasanya begitu kering.Aku dan Alia tadi sudah makan sate di pinggir jalan, dekat simpang tadi, sepulang dari mengantar pakaian. Perutku yang melilit karena belum menyentuh nasi sejak pagi, rasanya sudah tak kuat lagi jika harus menunggu sampai rumah. Lima ribu seporsi, adalah porsi yang jauh dari kata kenyang. Tapi cukup untuk mengganjal perut sementara. Bukannya tak mau membeli seperti orang banyak, tapi uang yang kudapat ini hanya cukup untuk membayar kontrakan yang sudah jatuh tempo."Kamu ini kalau di bilang suami malah jawab! Kamu kan, baru dapat upah. Apa salahnya sih, sisihkan sedikit untuk membelikanku makanan. Belikan ayam bakar sepotong, paling cuma sepuluh ribu!" ujar Mas Yudha enteng.Ya Allah beri kesabaran hamba untuk menghadapi suami model Mas Yudha. Andai bercerai tidak di benci oleh agama, mungkin sejak dulu aku bercerai dengannya. Karena mengharapkan Mas Yudha berubah, sepertinya mengharapkan ayam bertelur emas. Tak akan jadi kenyataan."Kamu dengar gak yang aku omongin, Zalia?" bentak Mas Yudha lagi. Aku menutup mata sejenak dan menghembusnya secara perlahan. Mengatur deru hati yang mulai terbakar emosi."Aku dengar, Mas. Gak usah teriak-teriak! Aku bukan babumu! Sebelum kamu memarahiku seharusnya kamu introspeksi diri dulu, Mas! Memangnya kamu ada ngasih aku uang untuk belanja? Memangnya kamu ada ngasih nafkah untukku?" sungutku. Emosiku lepas juga akhirnya. Semakin disabar-sabarin, semakin menjadi."Lancang sekali kamu, Zalia!" sungut Mas Yudha.Plakk ...Mata ini terbelalak merasakan tangannya melayang ke pipi ini. Kuraba pipi yang terasa perih karena sudut bibirku yang pecah. Namun sakitnya menjalar hingga ke hati. Bahkan lebih sakit lagi di sana.Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. âAlhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!â ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
âEh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!â balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.âAda apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?ââNggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.ââAda apaan sih?ââIya, bikin penasaran aja!â Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. âBukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!â ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. âHuhhh ⌠sombong ternyata kere!â s
âEh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!â sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.âLoh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!â jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. âIya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!â timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.âNggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!â ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
âKamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?â tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. âSebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?â tanyanya lagi. âTadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,â jelasku. Mbok tersenyum tipis
âAh Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,â balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.âMau beli apa, Fit?â tanya Bu Nisa ramah padaku. âGorengan saja Bukâde. Sepuluh ribu campur, ya!â pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. âCalon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,â cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.âPuput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!â bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m