"Nicho! Kamu tidak sedang bercanda kan? Pernikahan itu serius!"
Di ruang keluarga Nicho meminta restu pada orang tuanya untuk melamar seorang gadis. “Keputusanku sudah bulat, Pa. Dari awal aku sudah berniat, setelah resmi dapat jabatan di perusahaan papa, aku akan langsung melamarnya!” Kedua orang tua Nicho saling pandang, "Memangnya siapa gadis yang kamu maksud itu? Kami bahkan belum pernah melihatmu mengenal seorang wanita selain Sherin..." "Jika benar dia, jangan harap kami setuju." Lanjut Kyra, sang Mama. "Pokoknya Mama sama Papa tenang aja, yang jelas bukan wanita itu. Aku sengaja siapin kejutan ini buat kalian dan pasti akan langsung setuju dengan gadis pilihanku itu." Nicho tersenyum dengan penuh percaya diri. Sedangkan pasangan suami-isteri itu saling mengangkat bahu. "Belum tentu juga dia mau sama kamu!" Bella adiknya tiba-tiba muncul dan berkomentar, semua mata melihatnya seolah setuju dengan pendapat Bella. Nicho menggertakkan gigi, "Jangan sok tahu kamu, soal perasaan aku bisa jamin dia akan menyetujuinya." Sesuai rencana yang sudah terniat, begitu orang tuanya setuju Nicho akan menyegerakan niatnya untuk mendatangi rumah Anne dan membuat kejutan untuknya. "Nicho, kamu siap?" Nicho mengangguk meski rasa takut di tolak itu ada. Namun, sejak pertemuannya dan kecelakaan kecil yang terjadi di kafe Darklight, dia sudah menemukan sinyal yang tak diragukan lagi dari Anne. Memasuki pagar besi rumah gadis yang akan dia lamar, satu keluarga itu langsung menuju pintu masuk dan mengetuknya. "Permisi..." Sesaat tak ada respon, Nicho mengetuk untuk yang kedua kalinya sampai seorang wanita paruh baya membukanya. "Permisi..." Rasyid lebih dulu mengetuk pintu hingga seorang wanita membukanya. "Maaf Bu, apa Anne ada?” Wanita paruh baya bertongkat itu mengangguk, "Masuk dan duduklah, tempat ini terlalu kecil jadi tolong maklumi.” Caranya bicara agak asing, itu membuat kedua orang tua Nicho mengernyit heran. “Kenapa bicaranya dingin sekali, seolah nggak senang dengan kehadiran kita?” Ssttt! Damian mengode agar tak bersuara keras. Mereka lalu melihat putranya seolah meminta pengertian. “Kudengar Ibunya Anne tunanetra Ma, makanya nggak menyapa kalian tadi karena yang bicara tadi cuma aku.” Nicho berbisik pelan. “Tapi–” Suara gaduh terdengar seperti orang sedang berdebat, wanita bertongkat tadi muncul disusul oleh sosok gadis yang dikaguminya. "Kak Nicho..." "Anne..." Satu keluarga yang telah menantinya di kursi sofa langsung berdiri sambil tersenyum. "I-ini..." Gadis itu melirik Nicho seakan meminta penjelasan. "Kenalkan, ini Papa sama Mama aku." Anne merasa sungkan saat menerima uluran tangan dari mereka yang tampak seperti orang berada. Ini sangat jauh berbeda dari dirinya yang hanya gadis biasa. "Om, Tante mau minum apa? Biar saya bikin--" "Tidak usah repot-repot, kebetulan tadi dirumah barusan aja minum teh." sahut Kyra, wanita yang berdandanan rapi itu berbasa-basi. "Benar nggak mau Bu? Kami jadi sungkan kalian sudah jauh-jauh datang kemari." Felicia ikut berkomentar saat tahu akan kehadiran mereka. Mereka tergelak. "Sungguh Bu, lagipula kedatangan kami kemari hanya untuk--" Kyra sengaja melirik Anne sambil tersenyum. "Kamu yang dimaksud anak saya?" Anne melihat ibunya dengan bingung, sementara Felicia tampak datar saja tanpa ekspresi. Ini cukup menjadi pertanyaan Anne dengan reaksi ibunya. "Maaf om, tante. Ini sebenarnya saya punya salah ya?" Lagi-lagi mereka tergelak melihat gadis yang tanpa tahu tujuan kedatangan mereka. "Anu, sebenarnya begini..." Anne dan Felicia menyimak obrolan tamunya sambil berkedip. Meski Nicho berhadapan dengan calon mertuanya, dia tanpa basa-basi menyebutkan tujuannya. Tapi, dilihat dari reaksinya, ibunya Anne tampaknya agak keberatan. "Pak, Bu kenapa harus anak saya? Di luar sana banyak gadis yang jauh lebih baik dari Anne.” perkataan Felicia seperti berujung. Meski mudah bagi Nicho untuk menjawabnya, tapi lidahnya kelu. Dia melihat pada orang tuanya seolah meminta bantuan. "Kami minta maaf tentang ini, tapi Nicho bilang dia sudah bernazar ingin menjadikan anak ibu sebagai istrinya.” Nicho menyimpan wajahnya malu saat orang tuanya memperjelas semuanya dengan gamblang. Sementara Anne melirik pria yang akan mempersuntingnya sambil berpikir. 'Aku tau ini bukan ide bagus, tapi jika aku segera menikah, keh4m1lanku tidak akan dicurigai. Mereka sudah pasti menganggap bayi dalam rahimku sebagai dar4h daging Nicho.’ Tiba-tiba pipi Anne merona merah, ditambah lagi calon mertuanya kelihatan ramah dan menyukai dirinya. "Gimana nak, kamu mau menikah dengan Nicho? Kami lihat, kalian cukup serasi. Benar kan Pa?" Kyra, calon mertuanya meminta pendapat suaminya yang langsung setuju. "Ya, kami yakin dengan begini Nicho akan mandiri di kemudian hari." "Ehemm!" Felicia tiba-tiba berdehem dengan wibawanya, dan mengalihkan perhatian mereka. “Maaf Pak, Ibu saya ingin menyela sedikit. Tapi, sepertinya tentang ini kami harus berdiskusi dulu. Jadi mohon berikan kami waktu setidaknya tiga hari, lagipula keadaan saya juga begini. Jika harus berpisah, rasanya agak berat.” Nyali satu keluarga itu mendadak ciut, Nicho sendiri tahu itu salahnya yang tidak memberitahu ini dari awal. Namun, dia tetap memahami keterkejutan Anne dan ibunya dengan kedatangan mereka yang terlalu mendadak. "Emm, baiklah mungkin itu saja tujuan kami kemari. Kami juga masih harus pergi ke suatu tempat. Kalau begitu kami permisi dulu Bu, tiga hari lagi kami akan kembali sesuai permintaan ibu." Begitu satu keluarga tamunya itu pergi, Anne yang masih memperhatikan punggung-punggung tamunya yang perlahan menghilang tiba-tiba menerima tatapan sengit dari ibunya. “I-bu…” “Diakah pria yang melakukannya padamu?" "Bu-bukan Bu. Dia pria baik, kami sudah kenal lama dan berteman semasa kuliah..." "Benarkah?” Raut wajahnya masih mencurigai Anne, “Jika begitu siapa yang melakukannya?!” Anne terperanjat saat ibunya tiba-tiba membentak sambil memukul meja. Bibirnya bergetar, tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya. "Kamu mencintai pria tadi?" Ibunya bertanya lagi setelah diam beberapa saat. "I-itu, aku memang menyukainya Bu, tapi bukan dia pria yang mengambil masa depanku.” Anne berkata lirih, dia tak bisa menahan air matanya yang sudah terbendung dipelupuk mata. Namun, tidak disangka Felicia akan menangis dengan keras dan langsung memeluknya. "Asal kamu tau, ibu sangat tak ingin kehilanganmu nak. Kenapa kamu malah mengalami hal berat ini sendirian?” “Ibu…” Mata Anne ikut sembab melihat wajah terpukul ibunya. Dia balas memeluk wanita yang melahirkannya itu dan menangis bersama. "Anne..." Setelah beberapa saat akhirnya Felicia mengeringkan sisa air matanya. “Sekarang dengarkan ibu baik-baik, kalau memang kamu mencintainya, maka menikahlah. Lagipula keadaanmu sudah begini, namun kamu harus tetap bisa jaga diri dan merahasiakan aibmu agar tak berefek buruk kedepannya.” “Tapi bagaimana…” Saat Anne mencoba bicara, Felicia menaruh jarinya di bibir Anne. “Jadilah istri yang baik, layani suamimu, hargai orangtuanya seperti kamu hargai ibu…” ucapannya terputus tatkala menahan tangis yang masih belum lepas. Tapi, sebagai orang tua dia berusaha menutupi itu. “Jangan pikirkan ibu, bukankah ibu sudah terbiasa sendirian dirumah? Kamu selalu pergi bekerja, sedangkan ibu selalu jaga rumah tiap hari kan?” Anne masih diam menunduk, merasa dirinya sangat egois. "Maafkan aku Bu." "Tapi, tidakkah kamu merasa Raffaelle menjauhi kita?""Kak Nicho? Kenapa kamu bisa—” ucapannya terputus saat pria itu melemparkan sebuah syal rajut pada wanita yang pakaiannya compang-camping dan bahkan tanpa hijab yang menutupi kepalanya.“Diamlah, segera pakai itu. Kamu rela auratmu dilihat orang lain?” Anne tak menepis kata-kata pria itu dan melakukan apa yang di katakannya, hingga rambutnya kini tak terlihat lagi. “Makasih banyak, kalau bukan kamu aku nggak tahu gimana nasibku nanti.”“Ini hanya suruhan mama, jadi kamu jangan berpikir yang nggak-nggak. Lagian kamu nggak usah banyak omong deh, aku juga nggak bakalan tersanjung dengan kata-katamu.”“Aku berterima kasih serius, bukan untuk memuji atau menyanjung orang lain. Tapi, aku heran kenapa kamu bisa sampai kesini? Padahal tempatnya kan terpencil.” “Apa itu penting? Cukup diam saja di kursimu jangan banyak omong!”Menerima bentakan itu Anne mendengus.“Sombong sekali! Kamu kira aku bicara padamu karena punya maksud lain? Jelas nggak lah ya. Aku ini udah punya suami…” “Suami man
Pukul 06.00 pagi, silau matahari membuat Anne mengernyit dan membuka mata dengan paksa, namun ruangan yang ditempeli banyak poster atletik dan binaragawan membuatnya heran. “Aku,,, dimana?”Melihat kondisi tangan dan kakinya yang sedang terikat di atas tempat tidur, Anne terus meronta mencoba melepaskan ikatan itu, namun kagaduhan yang dia sebabkan membuat seseorang membuka pintu dan muncul dengan tawa seringai. ‘Raffaelle? Bukannya dia…’ Sayangnya, dia tak bisa m3mak1 atau bahkan memarahi pria itu karena saat ini mulutnya masih disumpal dengan selotip hitam tebal. Pria itu berjalan mendekat, membuat jantung Anne berdetak keras sekaligus panik bercampur trauma. Apalagi tanpa diduga dia menarik paksa penutup mulut Anne hingga meninggalkan rasa sakit.“Apa-apaan kamu?” Anne akhirnya bisa menegur pria itu dengan sesuka hati meski posisinya belum bisa bergeser dari sana. "Memangnya kamu bisa apa? Sendirian di kamar usang, apa kamu masih berani melawan? Suamimu bahkan juga nggak peduli
Uhukk! Uhukk! Kekagetan itu membuat Anne tak bisa menahan untuk langsung bertanya. “Bibi, bukannya tadi cuma–” Wanita itu terkekeh. “Anne, apa kamu merasa Mardian kurang tampan dan berjiwa dingin?"Melihat Anne menggeleng sungkan, Audiya kembali bicara. "Kalau aku masih muda pasti akan langsung memilih Mardian. Kamu mungkin nggak tahu kalau sebenarnya putraku itu sangat berkualitas untuk wanita sepertimu.”Anne meringis, lalu melihat sekilas pada pria yang sedang dipromosikan padanya dan mendengar Audiya menyambung kata-katanya. “Mardian punya dua adik laki-laki yang sedang bekerja di luar negeri, satu-satunya orang yang menemaniku di rumah hanya dia.”Merasa sedang dibicarakan, Mardian ikut bergabung dengan ibu dan Anne untuk menyela pembicaraan mereka. “Kalian membicarakanku? Pantas aja kuping ku panas.” Dia lalu melihat pada Anne dan mulai mengutarakan sesuatu. “Oh ya, aku lupa kasih tahu sesuatu. Setelah acara ini mungkin kita akan jarang bertemu, apalagi aktivitasku diluar cuku
“What? Kamu serius Ann?” Nadine memekik keras saking dirinya kaget.“Suaramu jangan terlalu keras, aku nggak mau mereka dengar dan malah banyak tanya.”Nadine langsung mengatup rapat bibirnya, lalu melihat telunjuk yang mengarah pada bocah kembar yang bermulut bijak itu, kemudian dia berbicara dengan suara pelan. “Lalu responmu apa?”“Mana mungkin aku mau…”“Kenapa kamu menolaknya?” “Hei, kamu masih waras kan? Aku nggak mau jadi perusak rumah tangga orang yang sudah punya anak dan istri. Lagian, soal pernikahan harus di dasari dengan perasaan kan? Sedangkan aku nggak punya rasa apapun lagi sama Nicho.” Nadine menarik nafas dalam-dalam, "Nyonya Kyra sebenarnya orang baik.”"Yah, tapi bukan berarti aku tolak permintaannya mentah-mentah. Aku kasih alasan yang masuk akal dan bilang kalau aku udah punya tunangan dan akan menikah dalam waktu dekat ini.” Ckckck… “Alasanmu luar biasa. Kamu ini single parents Ann, siapa yang percaya dengan kata-katamu barusan? Kamu kira bisa bebas begitu sa
Teka-teki lagi? di ruangan itu semua orang dibuat penasaran. Pasalnya, Kyra pasti akan mengajukan hal yang aneh-aneh setiap dia ulang tahun. Tapi Anne tampak tenang dan melanjutkan makannya tanpa berpikir hal lain. “Apaan sih ma? Jangan bikin kami penasaran dong!” desak Nicho yang tak ingin penasaran lebih lama lagi.Kyra melirik semua orang di meja makan secara bergantian, lalu mendehem ketika memulai bicara. “Nicho, kamu pasti tahu sekarang mama nggak muda kayak dulu lagi kan? Siapa tahu aja di umur 56 tahun ini mama tiba-tiba pergi untuk selamanya.”Sontak Damian memukul meja. “Apa yang sedang kamu katakan? Kita ini jelas seumur, jangan bikin orang ketakutan. Lagian kita juga nggak tahu kapan ajal kita.” Mendengar teguran suaminya Kyra tersenyum datar. “Memang benar, tapi bukankah di umur segini kita mesti banyak-banyak beramal kan?” Pandangannya beralih pada Anne yang masih terbengong di depan meja. “Anne, mama akan serahkan villa di kota Barat daya padamu.”“Apa?” Ternyata Jeny
“Tante…” Seorang anak kecil dengan pita-pita lucu di rambutnya, berlari menggapai Anne di ruangan makan. Itu membuat semua orang bingung, ‘Bagaimana Ketrin bisa kenal dengan wanita itu?’Tapi, berbeda dengan Nicho yang sudah tahu hal itu akan terjadi, dia hanya mengurut alis tanpa berkomentar. Sedangkan Kyra kini menatap cucunya menanyai. “Ketrin, kamu kenal dimana sama tante Anne?”Gadis itu tersenyum dengan polos. “Ini loh Grandma, dia tante yang aku ceritakan itu…” Kyra menutup mulutnya kaget. “Jadi… ya ya ya, Grandma mengerti sekarang, ternyata dunia ini memang sempit ya. Grandma nggak nyangka kalian baru kenal bisa langsung dekat.” Wanita paruh baya itu melirik Jenya yang kelihatan kesal di seberang mereka. Itu membuat Jenya semakin sebal dan berencana mengalihkan itu. “Ketrin, temani mama keluar sebentar buat ambil sesuatu di jok mobil…” Tapi gadis itu malah menggeleng. “Nanti saja ma, aku mau ajakin Tante Anne ke dalam dulu.” Tanpa disetujui, gadis itu menarik tangan Ann
Merasa dianggap remeh seorang anak kecil, Nicho berusaha meredam emosinya lalu berjongkok dan menatap bocah itu. “Hei kids, kamu anaknya Anne?”Bocah itu melipat tangannya dengan angkuh. "Untuk apa kamu tanya mommyku?"Nicho tak mungkin merespon kasar pada anak kecil, jika dia marah itu akan lebih dianggap remeh lagi oleh bocah itu. “Jadi dia mommy-mu? Kalau begitu bisa panggil dia sekarang?” Dua alis Nicho yang tebal itu sedikit terangkat.“Mommy sedang mandi, lagipula dia masih lelah setelah sibuk seharian."Nicho tersenyum dingin, dia melirik wanita dewasa yang sejak tadi hanya diam disamping bocah itu.“Joshua? Nadine? kenapa kalian berdiri di pintu?” Gawat! Nadine melebarkan matanya panik dan berencana menutup pintu dengan paksa, namun detik itu Anne malah keluar setelah mengambil hijabnya dan melihat mantan suaminya berdiri kaku di depan pintu. “Apa yang kamu lakukan disini?”“Anne...” di situasi itu, Nicho berusaha menahan diri untuk tetap stabil. “Maaf, kedatanganmu kemari t
“Jenya, kamu darimana saja? Kenapa baru datang?” Sapaan Nicho malah disambut dengan dengusan kasar dan bentakan dari istrinya.“Jangan banyak tanya, cepat bantu aku bawa semua barang-barang ini ke kamar!”“Tapi…” Nicho mengeraskan rahangnya berniat memarahi sang istri, jika bukan karena Ketrin yang sangat antusias melihat Jenya datang, mungkin situasinya akan berbeda. Sementara Nicho membiarkan putrinya menikmati momen ibu dan anak bersama Jenya, tapi saat melihat jok belakang mobil dan berencana menuruti sang istri untuk membantunya, mata Nicho membulat. “Jenya, barang sebanyak ini isinya apa saja? Isi kamar masih penuh dengan kotak-kotak belanjaanmu kemarin yang bahkan belum dibuka.”Jenya berbalik sambil berkacak pinggang. “Apa urusannya denganmu? Suka-suka aku mau beli apa, lagipula bukan hanya kamu yang cari uang.” Nicho tak berkomentar lagi, menurutnya Jenya terlalu boros kalau soal uang. Lemari dikamarnya sudah berisi sana sini. Lalu jika semua dus ukuran besar ini dibawa mas
"Ketrin, kemana kamu sebenarnya?” Tak terhitung lagi sudah berapa kali Nicho mengusap kasar wajahnya setelah berputar kesana kemari menyetir mobilnya.Saking tak fokusnya dengan hal lain, Nicho bahkan tak sadar bahwa mobilnya hampir saja menyerempet mobil SUV di didepannya. Jika dia tidak segera mengerem, masalah baru malah akan muncul. Hufft!Hampir saja dia putus asa sampai berniat menelpon polisi, namun saat menyalakan ponsel seseorang menelepon. “Ya ada apa?”Raut mukanya terlihat berharap, setelah mendengar si penelpon berbicara, “Oke, tetap di situ sampai aku datang.” Di zaman ini, ada banyak kasus penculikan anak, terlebih Carla, putri Nicho satu-satunya termasuk kategori anak yang menggemaskan, memikirkan itu cepat-cepat Nicho mengemudi tanpa berpikir.Rasa cemas itu membuat Nicho cepat sampai di depan sebuah mansion berpagar mewah, dan melihat dua asistennya sudah mendatangi rumah itu dan masuk dengan paksa hingga suara pekikan terdengar dari arah ruang tamu. Kegaduhan yang