Raffaelle tak berani bicara, atau berkomentar apapun disepanjang jalan hingga mobilnya berhenti di depan rumah dengan pagar besi yang catnya hampir pudar.
Raffaelle sengaja membunyikan klakson sebelum membukakan pintu mobil untuk Anne. Namun, rencananya malah di patahkan ketika gadis itu sudah keluar dan kembali menutup pintunya dengan keras. “Pergilah, dan jangan pernah temui kami lagi!” Apa itu artinya Raffaelle dilarang datang, dan tak memperbolehkannya bertanggung jawab pada Anne? Sayangnya pria itu tak berkesempatan berbicara karena Anne langsung pergi tanpa menoleh kebelakang sedikitpun. Raffaelle tak punya pilihan selain pergi daripada memurungi dirinya di sana. Pulang dengan pikiran yang terus khawatir, Anne merasa sangat lemas meski sudah mengguyur tubuhnya dengan air yang sangat sejuk dan mencicipi mie ayam pedas buatan ibunya meski hanya sedikit. “Anne, sejak tadi ibu tidak dengar kamu berbicara, kamu sakit?” Anne menggeleng. “Tidak Bu, aku hanya kecape'an.” “Semalam kamu menginap dirumah sakit? Memang temanmu kecelakaan kenapa?” Ups! Dia sendiri lupa kalau belum memberitahu ibunya tentang peristiwa kemarin. Itu cukup membuatnya trauma, untung saja Nicho menyelamatkan hidupnya hingga bisa bernafas saat ini. Memikirkan itu, semangatnya tadi menghilang. “Ibu, hari ini aku mengantuk. Aku mau istirahat ya Bu.” Sebelum beranjak dari sana, suara Felicia menahan langkahnya. “Anne, kamu belum jawab pertanyaan ibu…” “Oh tentang itu, ada kebakaran di kafe dekat kampus aku dulu Bu, temanku itu terhimpit benda-benda berat saat mencoba menyelamatkan diri.” Anne berterus terang meski dibumbui dengan sedikit kebohongan. “Mataku ngantuk sekali Bu, ceritanya nanti saja ya. Aku masuk kamar dulu.” Begitu di dalam kamarnya, dia menghempaskan diri di ranjang, berbaring menatap langit-langit kamarnya dengan semilir angin yang berhembus masuk ke jendela. Kejadian yang belum lama terjadi, membuat pelupuk matanya kembali basah, Anne mengerjap beberapa kali. “Salahku apa hingga dia melakukannya padaku…” Suara pintu diketuk membuatnnya menghapus matanya yang sembab. “Iya bu…” “Kamu nggak berangkat kerja Ann? Nanti kesiangan..." “Aku izin nggak masuk kerja Bu, badanku rasanya nggak sehat.” Felicia memaklumi itu, jadi dia mencoba memberi solusi. "Bagaimana kalau kita berobat?" "Tidak usah Bu, nanti juga sembuh sendiri kok!" Felicia tidak memaksa lagi kemudian pergi dengan tongkatnya. Seminggu setelahnya pun Anne juga begitu, jangankan melakukan pekerjaan rumah, keluar dari kamar saja paling hanya mengambil minuman dan menerima makanan siap antar yang dipesannya dari aplikasi belanja online. Terkadang yang menerima makanan itu malah ibunya. “Anne, tadi kamu pesan makanan lagi ya? Barusan kurir datang antarin ini…” Anne perlahan bangkit dari tempatnya berbaring. Tubuh yang lemas itu perlahan berjalan menuju pintu untuk membukanya. “Kamu benar nggak apa-apa kan?” “Hmmm.” Setelah menerima bungkusan pesanannya, Anne memaksa tersenyum. “Kepalaku hanya pusing sedikit, jadi ibu nggak perlu cemas.” Felicia masih tidak yakin dan ingin mengintrogasinya lebih jauh lagi, tapi sayangnya rencana itu gagal karena Anne buru-buru pamit dan menutup pintu. “Anne–” “Maaf Bu, tapi aku tidak tahan berdiri lama dan harus istirahat sekarang. Bukankah ibu juga punya bagian?” “Tapi–” Sebagai ibu Felicia bahkan tak diberi kesempatan bicara. Keningnya mengernyit. “Aku yakin telah terjadi sesuatu padanya, tapi apa?” Dia bisa merasakan bahwa di tangannya kini sudah ada satu box makanan kotak. “Biasanya Anne tak membiarkan aku makan sendirian.” Ini terasa ganjil, tapi rasa lapar membuatnya berasa ingin makan. “Huekk!” Suara itu membuat Felicia yang baru akan melangkah menajamkan pendengarannya. “Anne, kamu baik-baik saja nak?” “Tidak apa Bu, perutku rasanya sedikit tidak nyaman.” Huekk! Lagi-lagi Felicia mendengar suara yang sama. “Anne, buka pintunya, ibu yakin keadaanmu sedang tidak baik, kita pergi ke rumah sakit sekarang.” Sesaat tak ada jawaban, Felicia mengetuknya lagi sampai akhirnya Anne membuka pintu. “Mumpung ini masih pagi, kita pergi ke rumah sakit saja agar tak terlalu menunggu antrian.” Akhirnya Anne mengangguk dan terpaksa menyetujuinya. DI RUMAH SAKIT… “Anak ibu positif hamil, ini buktinya.” Anne dan ibunya terbelalak kaget, dengan tangan bergetar Anne mengambil selebaran hasil test Labor dan pemeriksaan yang di lakukan padanya. “Ini tidak mungkin, pasti anda salah mendiagnosis.” Suara Anne nyaris meninggi saat membaca pernyataan itu. Namun dokter itu mencoba tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah tespect yang terdapat dua garis merah! “Kamu lihat sendiri kalau ini belum kadaluarsa kan?” Anne sangat panik setelah memastikan keaslian hasil test tersebut. Dia melirik ibunya yang diam membisu sambil menitikkan air mata dan raut wajah yang kecewa. “Ibu…” Dia sendiri tak tahu alasan apa yang akan dikatakannya, ingatan pada saat seminggu sebelumnya. Mengingat kejadian itu, dia merasa jijik dengan tubuhnya yang sudah di j4m4h oleh pria yang sudah dia anggap b3j4t. ‘Aku tidak boleh hamil!’ Setelah menyambar resep obat dari tangan dokter itu, Anne mengajak ibunya keluar. “Jangan sentuh ibu, kamu jelaskan tentang ini dirumah!” ujar Felicia dengan dingin. Sepanjang perjalanan pulang tak ada kesan antar ibu dan anak. Padahal setiap keluar rumah biasanya mereka akan berbelanja atau pun makan di luar dengan menu yang lebih mewah dari biasanya. Tapi kini itu tidak akan terjadi. Bahkan setelah turun dari mobil pun Felicia hanya fokus pada jalan dan baru berbicara ketika mencapai teras rumah. "Siapa laki-laki itu?" "Ibu, sebaiknya kita duduk dulu sambil minum teh--" "Katakan sekarang lalu suruh dia bertanggung jawab!" "Tapi Bu..." Anne enggan untuk menemui pada pria itu, apalagi mengakui hal ini padanya. Anne tak tahu harus bagaimana lagi, hal yang seharusnya menjadi rahasia ini malah terbongkar. Ini sama sekali tak sesuai dengan yang di harapkan. Dia hanya mampu menangis dan bersimpuh di kaki ibunya. “Maafkan aku Ibu, aku tidak bisa menjaga diri dengan baik…” Namun Felicia tak merespon, dia malah beranjak dari sana dan masuk kamar sambil mengunci pintu dari dalam. "Ibu..." "Jangan bicara apapun pada ibu, sampai kamu membawa pria itu menghadap kemari!" Haruskah Anne mengungkap pria yang merusak masa depannya? 'Tidak, tidak.' ia menggeleng sendiri. "Meski dia sudah menyelamatkan keluargaku, tapi aku tidak bisa menikah dengannya."“Jessi, apa yang kamu lakukan?”Joshua segera berlari menghampirinya.Tetapi saat berusaha meraih pisau itu dari Jessica, tiba-tiba gadis itu menjerit keras dan menjatuhkan pisaunya. “Argh!”Melihat Jessica berjongkok, Nadine bahkan Raffaele mendatanginya untuk menenangkan. Tetapi Jessica kian mengamuk. “Lepaskan aku! Kenapa kalian menghalangiku?” Nadine gelagapan melihat Jessica terus meronta."Tante, kenapa kamu bodoh sekali? mau-maunya diajak menikah sama psikopat itu!” PLAK!Jessica meringis memegangi pipinya setelah jarinya menunjuk tajam ke Raffaele. Tetapi itu membuatnya semakin kesetanan. "Dasar psikopat, psikopat bucin!"BUGH!Tidak terima dikatakan itu Raffaele bahkan meninjunya dan bersarang di bibir Jessica hingga darah segar mengalir di sudut bibirnya. Jessica terisak pelan, lalu pandangannya terlihat mengabur dan terjatuh ke lantai. Jessica pingsan!“Apa yang kamu lakukan padanya?”*"Gimana?"Nadine mendatangi dokter Ryan dan berharap mendapat kabar baik. “Enggak ter
Jessica baru saja mau pergi mencari Tante sekaligus ibu angkatnya, tetapi ternyata sosok yang ingin dia temui kini malah mendatanginya lebih dulu.Tidak seperti biasanya, Nadine yang sedari dulu selalu perhatian padanya, kali ini datang dengan dingin. Dia langsung menggenggam tangan Jessica. "Jessi, bisa bantu aku?”Jessica menatap Nadine penasaran, membiarkan ibu angkatnya itu membisiki sesuatu. Tetapi dia enggan mengatakan bahwa dia sama sekali tak pernah disentuh oleh Raffaele. Lagipula, anak itu juga tak perlu tahu urusan mereka.Memikirkan ini sikap Raffaele padanya, tiba-tiba Nadine membuka mulut."Kurasa ini akan berakhir."Jessica tertegun dan mengernyit, "Ada apa tan?""Aku lelah, aku mau cerai aja ...""Apa?” Nadine ingat dengan kendala Jessica saat ini. Jadi dia terpaksa mengulang perkataannya dengan suara keras.Sebelum Nadine selesai bicara, Raffaele muncul dan langsung menampar wajahnya dengan keras.Pria itu merasa citranya sebagai seorang suami telah sirna, dia menunj
Sebelum pergi, Nadine kembali menatap Raffaele dan akhirnya menanyakan hal yang tidak bisa dia pendam dalam hatinya, "Raff, kamu masih mencintai Anne?"Raffaelle merasa tingkah Nadine sangat aneh. Memangnya hanya karena menikahinya, wanita itu bisa langsung dipanggil Istri Raffaele?Akhirnya Raffaele menjawab dengan kesal, "Ini masih jam kantor, apa pekerjaanmu sudah selesai? Bukannya agensimu masih sibuk?”Pria lain biasanya akan melarang istrinya bekerja dan bahkan menyuruh mereka melepaskan pekerjaannya, tetapi Raffaele malah menyarankan dia terus sibuk. Nadine akhirnya kembali pulang, Sesampainya di rumah, Nadine melihat Jessica duduk merenung sendirian di ruang tamu. Ketika Nadine menghampirinya, ponsel di samping kasurnya tiba-tiba berdering.Dia mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Nadine mengangkatnya dan mendengar suara manis seorang wanita. "Halo? Nana?”Suara ini… Nadine merasa mengenalnya. Dia menjauh meninggalkan Jessica sendirian. Membiarkan gadis itu keheranan
"Kukira siapa datang malam-malam begini. Ada urusan apa, Nyonya Jenya?"Roy tercengang melihat penampilan Jenya saat ini. Dia merasa wanita itu sudah banyak berubah dan menjadi agak konservatif (kolot dan apa adanya)Entah kenapa, Roy tiba-tiba jadi ingin tahu apa yang terjadi padanya belakangan ini."Sebenarnya aku mau cerita sesuatu, tapi kamu mau dengar nggak?” sorot mata Jenya terlihat cemas dan merasa bersalah.Roy memicingkan matanya, seolah ingin menerawang Jenya. Namun, tatapan panas itu membuat telapak tangan Jenya berkeringat. Tetapi dia memaksakan diri untuk tetap tenang. "Nyonya Jenya, kamu mau cerita sambil berdiri di luar?"Jenya tiba-tiba melangkah maju, mendorong Roy masuk ke dalam menutup pintu dengan tangannya yang lain.Udara di dalam ruangan seketika terasa lebih tipis. Sebelum Jenya sempat bicara, Roy menganggapnya lain dan membungkam bibir merahnya dengan ciuman. “Hei, bukan ini yang aku maksud!” Jenya mengepalkan tinjunya, mendorong pria itu dengan kuat. Roy
Seharusnya malam ini Ryan pulang ke rumahnya, tetapi dia masih punya tanggung jawab menjaga gadis yang dia selamatkan sampai dijemput oleh pihak keluarganya. Saat Ryan memilih mengerjakan tugas laporannya di ruang teras, suara pecahan kaca mengejutkannya dan penghuni penthouse itu. “Siapa sih yang mecahin kaca?”Pria itu melihat seorang ART nya keluar dengan tergesa untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di atas tanah samping teras. “Ada apa bi?”Sang ART mendongak. “Enggak tau pak, mungkin dari kamar atas. Saya langsung kesini pas dengar sesuatu yang jatuh.”Ryan menatap ke tingkat atas, “Disitu kamar yang dipakai Jessica kan?” Merasa ada sesuatu yang tidak beres, gegas Ryan berlari ke lantai atas dengan perasaan tidak tenang. Tatapannya langsung mengarah ke pintu kamar ketika tiba disana. Karena dikunci dari dalam, Ryan panik dan mulai mendobrak pintu kamar. “Jessi, apa yang kamu lakukan?” Pintu berhasil terbuka dan Ryan melihat tirai-tirai jendela yang bergerak terkena
"Jessi masih nggak bisa dihubungi?” Joshua menggeleng lemas ketika di tanyain Nadine. Pasalnya, mereka sudah mencari informasi terkait menghilangnya Jessica dan baru tiba di rumah. Nadine menghela nafas, lalu duduk di sofa mengeluhkan ini. Sementara Joshua mondar-mondir, sambil terus mencoba menelpon. “Teleponnya juga nggak aktif-aktif, biasanya dia langsung jawab kalau di telepon.”“Ya tuhan, semoga aja dia nggak apa-apa. Lagian, gadis seumuran itu seharusnya udah bisa jaga diri.” Meski Nadine mengatakan itu, tapi hatinya terus dilanda kecemasan. “Jessica bukan anak nakal, nggak mungkin keluyuran berhari-hari di tempat orang.” Joshua berbicara dengan suara kecil, "Bukan itu yang Tante cemaskan, tapi baru-baru ini ada rumor tentang kasus pembunuhan berantai yang membunuh gadis-gadis muda.”Pikiran Joshua semakin kusut, ia semakin kehabisan akal dan depresi. Namun dia tidak membiarkan hal itu terjadi. “Aku harus cari Jessica. Semoga kali ini dia bisa ditemukan.” Joshua bangkit dari