Home / Young Adult / Bayang di Balik Kabut / BAB2: Darah yang terkunci

Share

BAB2: Darah yang terkunci

Author: khobir
last update Last Updated: 2025-09-18 14:32:53

Pagi menyapa desa dengan kabut yang belum mau pergi, seolah semalam belum benar-benar selesai. Sinar matahari menembus tipis di balik awan kelabu, dan suara ayam jantan terdengar terlambat. Laras duduk di pinggir ranjang, jari-jarinya mengepal erat pada ujung selimut.

Mimpi itu kembali menghantuinya — sama seperti malam sebelumnya, tapi lebih tajam. Wajah pria itu... atau makhluk itu, lebih jelas. Ia bahkan menyebut namanya dalam mimpi, dengan suara lembut yang membuat hati Laras bergetar: *“Laras, aku ingat kamu sekarang.”*

“Siapa kamu sebenarnya...?” gumam Laras pelan.

***

Hari itu, Laras mencoba kembali menjalani hidup normal. Ia pergi ke sekolah, menyapa teman-temannya, dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Tapi pikirannya terus melayang. Ia duduk di kelas dengan pandangan kosong ke luar jendela, menatap pepohonan di kejauhan. Hutan itu... seolah terus memanggilnya.

“Laras, lo kenapa sih akhir-akhir ini?” tanya Tiara, sahabatnya. “Mukamu pucat, sering melamun. Jangan bilang lo kesurupan?” tanyanya setengah bercanda.

Laras tersenyum tipis. “Enggak, cuma... kayaknya gue kurang tidur.”

Tiara memperhatikannya sebentar, lalu mengangguk, meski wajahnya masih menunjukkan rasa curiga. “Kalau ada apa-apa, cerita ya. Jangan dipendem sendiri.”

Laras hanya mengangguk pelan. Mana bisa ia jelaskan? Kalau ia bilang ia bermimpi bertemu makhluk dari hutan yang mengaku pernah mencintainya di masa lalu, orang-orang pasti menganggapnya gila.

***

Sepulang sekolah, Laras tak langsung pulang. Ia berdiri di pinggir sungai kecil yang membelah desa. Di sana, ia mencoba mengingat perasaan aneh itu. Semua terasa seperti mimpi, tapi juga terlalu nyata untuk diabaikan.

Saat ia hendak berbalik, ia melihat seseorang berdiri di seberang sungai. Sosok itu... dia lagi.

Namun kali ini, tidak ada kabut. Tidak ada ilusi. Hanya sosok nyata yang berdiri diam, menatapnya dari kejauhan. Ia mengenakan pakaian gelap, dan kulitnya—meski tetap pucat—terlihat lebih “hidup” dari sebelumnya.

Laras tidak berteriak. Tidak lari. Ia hanya berdiri, menunggu.

Akhirnya, dia berbicara. “Namaku Alric.”

“Alric,” Laras mengulang.

“Kita pernah saling mencintai, Laras. Tapi waktu itu... aku bukan siapa-siapa. Aku manusia. Dan kamu... kamu juga bukan hanya manusia biasa.”

Laras menelan ludah. “Apa maksudmu?”

Alric melangkah maju, tapi masih menjaga jarak. “Kamu keturunan dari mereka yang dulu membuat perjanjian dengan dunia kami. Dunia malam. Kamu... darahmu terkunci. Tapi tidak untuk selamanya.”

Laras menggeleng pelan. “Aku enggak ngerti.”

“Kau akan mengerti. Tapi semakin dekat kau denganku, semakin cepat kutukan itu terbuka.”

“Kutukan?”

Alric memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali. “Aku... bukan lagi manusia. Aku vampir sekarang. Dan hubungan ini, Laras—kita—tidak seharusnya ada. Tapi perasaan itu tetap hidup, bahkan setelah ratusan tahun.”

Laras menatapnya, matanya bergetar. “Kalau memang begitu... kenapa kamu muncul lagi sekarang?”

“Karena kamu sudah cukup dekat untuk membangunkanku dari tidur panjang. Karena dunia malam tahu... kamu akan memilih.”

***

Malam itu, Laras duduk di ranjang dengan segulung buku tua di pangkuannya — warisan kakeknya yang dulu dikenal sebagai dukun kampung. Ia tak pernah benar-benar percaya isi buku itu. Tapi setelah semua yang terjadi, ia mulai membaca.

Halaman ke-23: *“Anak keturunan penjaga garis malam akan merasakan panggilan jiwa dari yang tak hidup. Jika darahnya dibangkitkan, gerbang antara dunia akan terbuka, dan cinta yang terlarang akan membangkitkan kekacauan.”*

Tangannya gemetar.

Semua ini... nyata?

Dan yang lebih menakutkan: hatinya mulai berharap.

Hening menyelimuti malam. Angin hanya berbisik pelan di sela-sela dedaunan, seolah tak ingin membangunkan sesuatu yang tengah bersembunyi dalam gelap.

Laras berdiri di depan cermin kamarnya. Wajahnya terlihat sama, tapi tatapannya sudah berubah. Sejak Alric muncul kembali, hidupnya tidak lagi biasa. Ia merasakan sesuatu tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Bukan sekadar perasaan... tapi seperti kekuatan yang selama ini tertidur.

Ia membuka kembali buku tua warisan kakeknya. Di halaman belakangnya, ia menemukan simbol aneh. Seperti dua bulan saling membelakangi, dengan satu tetes darah di tengahnya. Saat jarinya menyentuh gambar itu, ia merasa panas mengalir di dadanya, dan matanya terpejam sejenak.

Tiba-tiba, suara terdengar dari balik jendela. Ketukan pelan. Laras menoleh cepat, dan di balik kaca itu—Alric berdiri. Lagi.

Namun kali ini, matanya gelap. Nafasnya berat. “Kau harus ikut denganku.”

Laras membuka jendela. “Kenapa?”

“Ada yang memburumu.”

Detik itu juga, Laras merasakan hawa dingin menyusup ke kamarnya. Tak lama kemudian, bayangan hitam melayang di langit—bukan burung, tapi makhluk bersayap dengan mata merah menyala.

“Turun,” kata Alric. “Cepat!”

Laras loncat keluar jendela, dan sebelum ia sempat bertanya, Alric sudah menarik tangannya dan membawanya lari ke arah hutan.

***

Mereka berlari dalam gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang terselip di balik ranting. Laras kehabisan napas, tapi Alric seolah tak tersentuh waktu. Tiba-tiba, makhluk bersayap itu menjatuhkan diri di hadapan mereka, mendarat dengan suara menggelegar.

Makhluk itu bukan vampir. Bukan juga manusia. Ia tinggi, tubuhnya gelap seperti terbuat dari asap padat, dengan tanduk kecil di kepalanya.

“Serahkan gadis itu, Alric. Kau tahu dia milik siapa.”

Alric berdiri di depan Laras, membentang tangannya melindunginya. “Dia bukan milik siapa pun. Laras bebas memilih.”

Makhluk itu menyeringai, suara tawa seraknya menggema di pepohonan. “Kau terlalu lama tidur, vampir. Kau lupa siapa penguasa darah di bawah bulan.”

Tanpa aba-aba, makhluk itu menyerang.

Pertarungan pecah. Alric bergerak secepat bayangan, cakar dan taringnya muncul. Laras menjerit saat cahaya kilat memancar dari tubuh Alric yang menghantam lawannya dengan kekuatan yang membuat tanah bergetar.

Makhluk itu terpental, lalu lenyap menjadi kabut hitam.

Alric berbalik, napasnya berat. Matanya merah menyala, penuh amarah dan... rasa takut.

“Kau lihat sekarang?” katanya dengan suara dalam. “Dunia malam tahu tentangmu. Dan mereka tak akan diam.”

Laras terisak, tubuhnya lemas.

“Aku... aku bukan siapa-siapa…”

“Kau adalah kunci. Dan mulai malam ini, kau tak bisa kembali jadi manusia biasa.”

Laras terduduk di tanah yang lembap, napasnya memburu. Tubuhnya gemetar bukan hanya karena ketakutan, tapi karena sesuatu yang baru saja bangkit dari dalam dirinya. Saat makhluk itu nyaris menyentuhnya tadi, ia merasa tubuhnya panas, seolah ada api yang meledak dari dalam. Tapi bukan api biasa—itu kekuatan. Kekuatan asing, kuno, dan... menakutkan.

Alric duduk tak jauh darinya, masih menatap langit malam. Wajahnya kembali tenang, tapi di balik sorot matanya Laras bisa melihat beban berat yang ia pikul.

“Mereka akan datang lagi,” kata Alric. “Dan kali ini, tak hanya satu.”

“Kenapa aku?” suara Laras lemah. “Aku cuma gadis desa biasa... aku bukan siapa-siapa.”

“Kamu lebih dari itu,” jawab Alric pelan. “Keturunan penjaga gerbang. Darahmu terkunci selama bertahun-tahun, tapi aku membangunkannya—tanpa sengaja.”

Laras memejamkan mata. “Kenapa kau bilang kita pernah saling mencintai?”

Alric menoleh. Matanya tidak lagi merah, hanya sisa luka yang terlihat di sana. “Karena waktu itu, aku manusia. Dan kamu... separuh malam, separuh cahaya. Tapi dunia tak mengizinkan kita bersatu. Kita dihukum. Kamu dihapus dari ingatan dunia malam. Aku... diubah.”

Diam melingkupi mereka.

“Kalau kau tahu semua ini bahaya... kenapa kau mendekatiku lagi?” tanya Laras.

Karena hatiku... belum pernah pergi darimu, pikir Alric. Tapi ia hanya menjawab, “Karena ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang apa yang akan terjadi jika darahmu bangkit sepenuhnya.”

Laras berdiri perlahan. Ia menatap hutan di hadapannya—tempat yang dulu hanya misteri, kini menjadi bagian dari dirinya. “Jadi sekarang apa?”

Alric ikut berdiri. “Sekarang... kau harus memilih.”

“Memilih?”

“Melawan takdirmu... atau menghadapinya.”

Laras menggenggam kerah jaketnya, angin malam menampar wajahnya. Pilihan itu terdengar sederhana. Tapi ia tahu, apa pun yang ia pilih—hidupnya tak akan pernah kembali seperti dulu.

Dan jauh di dalam hatinya, ia tahu...

Bagian terdalam dari dirinya telah memilih sejak malam pertama dia melihat tatapan itu di balik kabut.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 12: Malam Yang Dijanjikan

    Hujan turun deras di perbukitan tempat Laras dan yang lain bersembunyi. Tapi bukan hujan biasa—tetesannya berwarna gelap, seperti darah yang menipis di udara. Langit diselimuti awan merah, tanda bahwa *bulan darah* sebentar lagi akan muncul.Laras berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang akan menjadi medan perang.“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Alric, berdiri di sampingnya.“Kalindra akan buka gerbang penuh di sini,” jawab Laras. “Tempat pertama kali leluhur kita mengikat perjanjian darah.”Senara datang sambil membawa peta kuno. “Ada jalur masuk tersembunyi dari utara. Kita bisa gunakan itu untuk menyusup sebelum ritual dimulai.”Laras menatap ke arah kabut yang menggantung tebal. *Malam ini bukan hanya pertarungan darah—ini pertarungan pilihan.*“Aku tidak akan menyerah, Alric. Meski dia ayahku. Meski yang harus aku lawan adalah bagian dari diriku sendiri.”Alric menggenggam tangannya erat. “Dan aku tidak akan melepaskanmu. Meski dunia memaksa.”Kabut tebal menggulung per

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 11: Darah Yang Menuntut

    *Tiga hari setelah kemunculan Kalindra.*Langit tak pernah lagi biru sepenuhnya. Ada semburat merah samar setiap pagi, seolah dunia sedang menahan napas. Desa terdekat mulai merasakan ketegangan: ladang gagal panen, ternak mati tanpa sebab, dan mimpi buruk menjangkiti anak-anak.Laras duduk di tepi danau kecil di dekat hutan. Airnya memantulkan wajahnya—tapi kali ini, bayangannya bukan miliknya sendiri. Itu *Kalindra*, menatap balik dari permukaan air, tersenyum tenang.Laras memukul air itu dengan tangannya, gemetar. “Aku nggak akan kalah... walaupun darah kita sama.”Dari belakang, Alric datang diam-diam dan duduk di sampingnya. “Kalau dia memang bagian dari warisan yang sama, mungkin kita perlu tahu lebih banyak soal masa lalu keluargamu.”Laras menoleh. “Aku nggak tahu siapa ibuku. Ayahku meninggal sebelum sempat cerita.”Alric mengeluarkan sebuah gulungan tua dari jubahnya. “Aku menemukan ini di perpustakaan bawah kuil vampir tua di utara. Isinya... tentang *Perjanjian Da

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 10: Bayangan Yang Bangkit

    *Tiga hari berlalu.* Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai. Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara. “Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.” Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.” Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.” Laras mengernyit. “Mimpi?” Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.” Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.” Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 9: Retakan Didalam Cinta

    Desa telah sepi. Bukan karena penduduknya pergi—tapi karena semua orang kini hidup dalam *diam dan ketakutan*. Setelah ledakan energi dari pertarungan kemarin, banyak yang percaya bumi itu sendiri mulai menolak keberadaan Laras dan Alric. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri desa, bahu membahu. Tapi tidak semua mata memandang mereka dengan rasa hormat. Beberapa memandang dengan waspada… bahkan curiga. “Aku mulai merasa asing di tempat ini,” kata Alric pelan. Laras menggenggam tangannya. “Kita tak butuh pengakuan mereka. Kita butuh waktu. Dan kamu.” Namun belum sempat langkah mereka jauh, seseorang menghadang mereka di tengah jalan—*kepala penjaga desa*, tua, berjubah coklat tanah, dengan wajah keras. “Kalian membawa kutukan ke tanah ini,” katanya datar. “Langit berubah. Binatang di hutan pergi. Dan orang-orang mulai bermimpi buruk setiap malam.” “Kami sedang melawan kekuatan yang lebih besar,” jawab Laras, menahan emosi. “Masalahnya,” lanjut sang penjaga, “kalian bukan lag

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 8 : Api yang diam

    Pagi menyelimuti hutan dengan kabut tipis. Tapi tidak ada damai di dalamnya—*hutan itu sunyi karena takut.* Langkah Laras pelan tapi pasti. Di belakangnya, Senara mengikuti dengan mata penuh tanda tanya. Aura emas darah Laras belum mereda sepenuhnya. Ia seperti menyimpan *api dalam diam*—tidak membakar, tapi siap meledak kapan saja. "Ke mana kita sekarang?" tanya Senara. "Ke Alric," jawab Laras singkat. Mereka melintasi jalur tanah yang telah berubah bentuk. Bekas pertempuran semalam masih terlihat. Pohon-pohon patah, tanah hangus, dan... *darah*. Banyak darah. Tapi tidak ada tubuh. Hanya kehancuran. Laras berhenti di tengah lapangan kecil di tepi sungai. Di sana, berdiri sosok yang dikenalnya.Alric. Ia berdiri diam, punggung menghadap Laras, tubuhnya berlumur luka kering. Tapi ada yang aneh. Aura di sekelilingnya berbeda. Terlalu tenang. Terlalu... kosong. "Alric!" Laras berlari mendekat. Saat pria itu menoleh, Laras langsung terdiam. Mata Alric tak lagi berwarna emas—melai

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 7: Bayang yang mengikuti

    Malam itu sunyi, tapi tidak damai.Desa masih berbau asap dan darah. Banyak rumah hancur sebagian, dan tanah di luar pagar penuh bekas luka — bukan luka biasa, tapi *luka yang tidak akan sembuh* karena ditinggalkan oleh makhluk kegelapan.Laras duduk di samping Alric yang masih terbaring. Tubuhnya mulai pulih, tapi napasnya belum stabil.“Kau seharusnya tidak menahan sabit itu sendiri,” bisik Laras.Alric membuka mata pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku sudah pernah kehilangan orang yang kucintai sekali. Aku tidak akan ulangi itu lagi.”Laras menggenggam tangannya. “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”Di luar, Senara berdiri menatap langit dari atas menara kayu.“Perang ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka mundur bukan karena kalah… tapi karena puas. Sekarang mereka tahu seberapa kuat Laras.”Dari balik pepohonan, bayangan kecil menyelinap, bergerak pelan. Seperti… *mengintai*.Senara menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Tapi udara terasa lebih dingin. Dan di atas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status