MasukKabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.
Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.
Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.
Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.
Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.
Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.
Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.
Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya berhenti. Kemudian berdenyut lagi dengan ritme baru, pelan, berat, dan lebih tua dari dirinya.
Kami mengukur keenam pewaris, mereka robek, patah, runtuh.
Suara tanpa tubuh itu merangkak di sepanjang tulang belakangnya.
Apa yang membuatmu berbeda?
Kael membuka matanya di dalam gelap. Aku tidak ingin menjadi pewaris, pikirnya.
“Aku ingin menjadi akhir dari pewaris-pewaris sebelumku.”
Gelap bergetar.
Suara lain, lebih rendah, lebih tua, bergabung menjadi satu. Menjadi akhir berarti memakan yang sebelumnya.
Tiba-tiba Kael berdiri di tempat lain, ruangan kosong yang lantainya penuh retakan. Bayangan enam sosok muncul perlahan. Mereka bukan manusia lagi, bukan juga iblis. Mereka adalah sisa-sisa kehancuran, serpihan jiwa yang diseret lembah selama ratusan tahun.
Mereka bergerak seperti ingatan buruk.
Sosok pertama melompat. Bekas-bekas aura bela diri kuno yang tercabik masih tersisa padanya.
Sosok kedua menyerang dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Sosok ketiga yang paling kuat, mengangkat tangan, dan lantai ruangan bergoyang seperti gelombang.Kael tidak mundur, tidak menghindar. Ia membiarkan mereka menghantamnya, agar bayangannya tahu apa yang harus dimakan.
Saat pukulan pertama menyentuh dadanya, bayangan Kael bereaksi seperti makhluk lapar yang telah menunggu berabad-abad. Ia menyedot, meminum, merenggut sisa-sisa kekuatan pewaris lama ke dalam tubuh Kael. Retakan pada lantai mereda, hembusan kuno padam.
Sosok-sosok itu perlahan kehilangan bentuk, menjadi kabut hitam, menjadi serpih, menjadi konsep.
Semua mengalir ke dalam Kael, disaring bukan oleh amarah, tetapi oleh kontrol.
Ketika sosok terakhir hilang, suara lembah bergema. Pewaris tidak makan pendahulunya, kau melakukannya.
Kael mengangkat wajah. “Apa kau kecewa?”
“Tidak, kami menunggu seseorang yang berani menjadi jawaban, bukan pertanyaan.”
Darah Kael berdenyut keras. Sesuatu di dalam dirinya membuka, bukan teknik, bukan kemampuan, tapi ruang. Sebuah tempat kosong yang sebelumnya tertutup, siap diisi oleh kekuatan gelap yang akhirnya mengakuinya.
Lalu semuanya lenyap.
Tidak ada lantai, tidak ada sosok, hanya detak besar dari perut bumi.
DUM.
Gelap mengangkat Kael, mendorongnya ke atas seperti dunia bayangan memuntahkan sesuatu yang akhirnya layak untuk hidup.
Badai aura hitam meledak dari arah lembah.
Di Sekte Iblis Suci Langit, lonceng peringatan berdentang tiga kali. Para murid keluar dari paviliun pelatihan dengan wajah pucat. Puncak-puncak gunung di sekitar sekte bergetar, membuat debu batu jatuh seperti hujan pasir hitam.
“Gempa?”
“Tidak mungkin. Ini … ini aura!” “Dari lembah itu?!”Para tetua bergegas keluar ke lapangan tengah. Sebagian mencoba menenangkan murid, sebagian lain memandang langit yang berubah warna seolah ada tinta hitam yang dicampurkan ke udara.
Darian, yang belum pulih dari rasa malu akibat Kael, memandang ke arah lembah sambil menggertakkan gigi.
“Dia … dia masih hidup?”
Tetua ketiga menelan ludah. “Bukan hanya hidup, sesuatu di dalam tubuhnya telah bangun.”
Tetua Keempat, yang biasanya angkuh, memegang jubahnya yang berkibar. “Terlalu besar, aura itu terlalu besar untuk manusia.”
Varyon akhirnya muncul dari puncak paviliun utama, matanya yang dingin memandang badai jauh di horizon.
“Jadi,” katanya perlahan, “Anak itu memilih jalannya.”
Darian menoleh cepat, “Ayah! Kita harus kirim pasukan ke lembah sebelum dia—”
“Kau mau mati?” Tetua Ketiga memotong tajam. “Itu bukan aura yang bisa didekati. Itu … itu bukan aura milik kultivator.”
“Lalu apa?” Darian membentak.
Varyon menjawab datar, tanpa menoleh, “Iblis Bayangan yang sepenuhnya lahir kembali.”
Keheningan jatuh seperti hukuman. Beberapa murid menelan ludah, sebagian mundur ketakutan.
Tetua Kedua berbisik, “Jika dia benar-benar pewaris ketujuh, itu berarti dunia akan berubah.”
Varyon memejamkan mata sesaat. “Tidak. Dunia akan dipaksa berubah.”
Kael membuka mata.
Ia berdiri di tengah kawah gelap di perut lembah. Kabut menyingkir darinya. Batu-batu di sekitarnya retak, terseret gravitasi baru dari tubuhnya sendiri.
Tubuh Kael kini lebih ramping, bersih dari luka lama. Darah hitam tipis mengalir dari sudut mata, bukan darah sedih, tapi tanda bahwa bayangan telah memilihnya sepenuhnya.
Ia mengangkat tangan, bayangan merespons bukan sebagai pelindung, tapi sebagai anggota tubuh.
Bukan teknik, tapi Insting baru.
Kael menarik napas dalam. “Aku bukan daging,” gumamnya.
Bayangan di sekelilingnya menggulung, menyatu, menjadi seperti mantel hidup yang mengalir mengikuti setiap gerakannya.
Kael menatap jauh ke luar lembah, “Aku datang sebagai penguasa.”
Saat ia melangkah keluar dari kawah, lembah itu sendiri seperti membungkuk. Kabut membuka jalan. Dan dunia luar menunggu dengan takut.
Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik napas panjang. Suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, padat, hampir seperti daging yang berdenyut. Kael tidak tahu apakah ia jatuh, melayang, atau tetap diam.
Di tempat seperti ini, arah memang tidak penting. Yang penting hanyalah apa yang akan lahir setelah kegelapan selesai menilai dirinya.
Kegelapan menyusup ke dalam tubuhnya, menyentuh setiap tulang, darah, dan kenangan. Ia merasakan bayangan di sekelilingnya bukan sebagai benda asing, tetapi sebagai bagian dari tubuhnya yang selama ini tertidur.
Itu tujuanmu, bisik sesuatu dari kedalaman. Tidak menjadi manusia, tidak menjadi iblis, melainkan menjadi sesuatu yang tidak mereka pahami.
Kael tidak menjawab, kegelapan tidak membutuhkan jawaban.
Dunia retak, bukan di luar, tapi di dalam dirinya.
Bayangan bergerak seperti tinta panas, merayap dari kaki ke bahu, menyatu ke dalam nadinya. Dadanya terasa seperti dihantam palu raksasa. Jantungnya berhenti, lalu berdenyut lagi. Lebih berat. Lebih lambat. Seperti ingin memastikan apakah tubuh Kael memang layak menanggung ritme baru itu.
Tujuh pewaris, enam gagal. Apa yang membuatmu berbeda?
Kael membuka mata di tengah kehampaan.
“Aku tidak ingin menjadi pewaris,” ujarnya pelan.
Gelap menyimak.
“Aku ingin menjadi batas yang tidak bisa dilewati pewaris mana pun setelahku.”
Kegelapan bergetar, bukan marah, bukan senang, tetapi mengakui.
Kemudian Kael berdiri di ruang retak, dikelilingi enam sosok kabur. Mereka memancarkan sisa-sisa kekuatan yang pernah menghancurkan mereka. Aura mereka seperti luka lama dunia yang tidak pernah sembuh. Mereka menyerang bukan untuk membunuh, tapi untuk menguji apakah Kael pantas memakan warisan mereka.
Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya
Keheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk diba
Hutan di luar gerbang sekte seharusnya penuh suara serangga, ranting patah, angin yang menyentuh daun. Tapi malam itu tidak ada apa pun, seolah dunia menahan napas saat Kael berjalan sendirian dalam hujan.Bayangan di bawah kakinya mengikuti langkahnya, bukan menempel seperti biasa, tapi bergerak, seolah hidup. Tanah menyerap jejaknya dan menutup kembali, menyembunyikan kehadirannya dari siapa pun yang mengejar.Tanah ini mengenal kita, bisik darah bayangan dari dalam tubuhnya. Sebelum dunia memberi nama pada kegelapan, tempat ini sudah mengakuinya.Kael tidak menanggapi. Ia hanya berjalan, tenang, seperti seseorang yang tidak lagi membutuhkan alasan untuk hidup, hanya arah.Jalan setapak menghilang. Pepohonan rapat, kabut turun, dan lembah gelap di depan tampak seperti mulut yang menunggu.Itulah Lembah Sunyi Bayangan. Tempat yang dibicarakan murid nakal, disembunyikan tetua, dan dilupakan sejarah. Tempat yang dikatakan menelan cahaya dan mengembalikan sesuatu yang tidak lagi sepenuh
Hujan masih turun saat suara bel darurat sekte berdentang tiga kali. Arena yang sebelumnya dipenuhi sorak dan cemooh kini berubah menjadi tempat di mana setiap orang memilih untuk diam, bukan karena hormat, tapi karena takut membuat suara yang salah.Lord Varyon Astaroth turun dari singgasananya. Dengan satu langkah saja, tribun yang kacau mulai kembali teratur. Para murid yang tadinya berseru ingin menyaksikan kematian Kael kini menunduk, seolah takut menyebut namanya dengan suara terlalu keras.Varyon menatap Kael lama, sebelum akhirnya mengucapkan satu kalimat yang mengubah segalanya.“Mulai detik ini, Kael Astaroth bukan lagi bagian dari keluarga Astaroth. Namanya dicabut dari silsilah, dan statusnya adalah pemberontak tingkat pertama.”Geger langsung pecah.Dicabut dari silsilah, artinya Kael bukan lagi putra, bukan pewaris, bukan keturunan. Bahkan anak budak masih memiliki nama di dalam sekte. Namun Kael? Sekarang ia adalah seseorang yang tidak pernah lahir.Darian melangkah maj
Gelap menutup dunia. Sorak, hujan, suara runtuhnya tubuh Kael, semua hilang seolah ditelan ruang lain.Kael berdiri di sebuah dimensi yang tidak memiliki warna selain hitam. Lantainya seperti kaca gelap yang memantulkan tubuhnya, wajah pucat, darah mengalir dari dada, mata setengah terpejam. Namun darah itu … hitam. Bukan darah biasa.“Pewaris ketujuh,” sebuah suara bergema. Bukan datang dari satu arah, tapi dari seluruh ruangan. Dalam, dingin, dan terdengar puas. “Akhirnya kau membuka celah itu.”Kael tidak bergerak, namun suaranya tetap tenang. “Kau siapa?”“Pertanyaanmu salah,” jawab suara itu. “Pertanyaannya bukan ‘siapa aku’, tapi ‘apa kau sebenarnya’.”Bayangan di lantai bergetar, seperti genangan air yang disentuh angin. “Selama ini, mereka bilang kau gagal. Bahwa darahmu tidak bereaksi. Bahwa kau terlahir lemah.”Kael menatap jarinya. Ujung kukunya berubah gelap, seolah kegelapan merayap dari dalam tubuhnya.“Padahal, kenyataannya kau hanya … belum mati.”Kael mengerut tipis a
“Lihat dia. Wajah tampan, tubuh bagus, tapi tetap saja sampah.”“Apa, darah iblis murni? Jangan bercanda. Yang mengalir di tubuhnya cuma kegagalan.”“Kalau bukan putra Pemimpin Sekte, dia sudah mati sejak lahir.”Ejekan datang dari segala arah, bergulung seperti badai yang menubruk satu titik, seorang pemuda berdiri sendirian di tengah arena eksekusi Sekte Iblis Suci Langit.Kael Astaroth. Putra ketujuh, pewaris darah ibli yang menurut seluruh sekte tidak layak disebut pewaris apa pun.Ia berdiri tegak, meskipun tubuhnya sudah babak belur. Jubah hitamnya robek, darah kering menodai tepi kain, namun wajahnya tetap tenang. Bukan kosong, melainkan tenang. Seolah semua hinaan yang ditujukan padanya hanya udara yang lewat.Kael tampan, terlalu tampan untuk tempat ini. Rahangnya tajam, kulitnya pucat bersih, sorot matanya gelap dan dalam, seperti malam yang tidak memantulkan bulan. Tubuhnya terlatih, ototnya terdefinisi jelas meski ia tak pernah diberi sumber daya pelatihan layak.Di mata o







