Malam itu, Alvaro duduk di sudut sebuah gedung tua yang menjadi tempat persembunyiannya bersama Dika. Pikiran-pikirannya melayang, mencoba merangkai potongan-potongan kenangan yang pernah ia alami sebelum penculikan.
“Aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan,” kata Alvaro, suaranya rendah namun penuh tekanan. Dika yang sedang membersihkan sebuah pisau kecil—senjata darurat mereka—melirik Alvaro dengan cemas. “Kau selalu bilang begitu, tapi apa itu?” “Ketika aku masih kecil, ada seseorang di rumah kami. Seorang pria. Ia sering berbicara dengan Ayah, tapi sikapnya selalu mencurigakan. Aku tidak pernah tahu siapa dia.” Dika menghela napas. “Pria mencurigakan di rumah mewah, penculikan, dan sekarang pengkhianatan. Sepertinya keluargamu lebih rumit dari yang kubayangkan.” Alvaro tidak menjawab, tetapi pikirannya terus memutar ulang memori-memori itu. Pria misterius itu mungkin adalah kunci dari semua ini. Namun, ia masih tidak tahu bagaimana cara menemukan jawabannya. --- Keesokan harinya, saat Alvaro dan Dika sedang mengumpulkan barang bekas di pasar malam, mereka dikejutkan oleh kehadiran beberapa pria berpakaian gelap. Mereka tampak seperti preman bayaran, dengan tatapan tajam yang langsung mengarah ke Alvaro. “Dia di sana! Itu anaknya!” teriak salah satu pria, menunjuk ke arah Alvaro. Dika bereaksi cepat, menarik tangan Alvaro dan berlari ke arah gang sempit di belakang pasar. “Mereka tahu tentangmu! Kita harus pergi sekarang!” Alvaro dan Dika berlari secepat mungkin, tetapi para preman itu tidak menyerah begitu saja. Mereka mengejar dengan brutal, menendang kotak-kotak dan sampah yang menghalangi jalan mereka. Dalam keputusasaan, Dika mengambil botol kaca dari tumpukan sampah dan melemparkannya ke arah salah satu pengejar. Botol itu pecah tepat di kaki pria itu, membuatnya tersandung. “Ayo cepat! Jangan berhenti!” teriak Dika. Mereka akhirnya berhasil melarikan diri ke sebuah bangunan kosong yang gelap dan sunyi. Napas mereka terengah-engah, tetapi bahaya belum sepenuhnya berlalu. “Siapa mereka?” tanya Dika dengan nada panik. “Orang-orang Harsono, mungkin,” jawab Alvaro sambil mencoba mengatur napasnya. “Mereka pasti tahu aku masih hidup dan berusaha mencari jawaban.” --- Malam itu, setelah keadaan tenang, Alvaro dan Dika memutuskan untuk kembali ke tempat persembunyian mereka. Namun, mereka tidak menyangka bahwa seseorang telah menunggu mereka di sana. Seorang pria tinggi dengan bekas luka di wajahnya berdiri di depan pintu. Ia tersenyum tipis saat melihat Alvaro. “Sudah lama sekali, Nak,” katanya dengan suara serak. Alvaro mengerutkan kening. “Siapa kau?” “Namaku Burhan. Aku dulu bekerja untuk keluargamu. Tapi sekarang, aku bekerja untuk Harsono.” Alvaro merasa darahnya membeku. “Kenapa kau ada di sini?” “Aku datang untuk memberi peringatan. Berhenti mencari jawaban, atau kau tidak akan selamat.” Dika maju dengan marah. “Apa kau pikir kami akan menyerah begitu saja?!” Burhan hanya tertawa kecil. “Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan, Nak.” Sebelum Alvaro atau Dika bisa merespons, Burhan menghilang ke dalam kegelapan. Kejadian itu meninggalkan banyak pertanyaan di benak Alvaro, tetapi satu hal yang jelas: ia tidak bisa kembali ke kehidupannya yang lama tanpa melawan. --- Setelah pertemuan dengan Burhan, Alvaro mulai mengalami mimpi buruk tentang masa lalunya. Dalam mimpi itu, ia melihat dirinya berada di dalam ruangan besar dengan dinding putih. Di sana, ia mendengar suara ayahnya berbicara dengan seseorang. “Aku tidak peduli apa yang harus kau lakukan, Harsono. Pastikan semua berjalan sesuai rencana,” kata suara ayahnya. Alvaro terbangun dengan keringat dingin. Ia tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Apakah ayahnya terlibat dalam sesuatu yang besar dan berbahaya? Dika yang tidur di dekatnya terbangun karena suara Alvaro. “Apa yang terjadi?” “Aku... tidak yakin. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari ini semua,” jawab Alvaro dengan nada lelah. --- Setelah merenung selama beberapa hari, Alvaro akhirnya memutuskan untuk pergi ke kota. Ia yakin bahwa jawaban dari semua pertanyaannya ada di sana. Namun, perjalanan ke kota bukanlah hal yang mudah. Mereka harus melewati banyak rintangan, termasuk menjaga agar keberadaan mereka tidak diketahui oleh orang-orang Harsono. “Kau yakin ini ide yang bagus?” tanya Dika saat mereka bersiap-siap untuk pergi. “Tidak ada jalan lain. Jika aku tidak melakukannya sekarang, aku mungkin tidak akan pernah tahu kebenarannya,” jawab Alvaro tegas. Mereka akhirnya meninggalkan kawasan kumuh, membawa hanya barang-barang yang diperlukan. Perjalanan mereka penuh dengan bahaya, tetapi juga membawa mereka lebih dekat pada kebenaran. --- Setibanya di kota, Alvaro dan Dika merasa seperti ikan kecil di tengah lautan. Gedung-gedung tinggi dan keramaian membuat mereka merasa asing dan kecil. Namun, Alvaro tidak kehilangan fokus. Ia mulai mencari tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama keluarganya, berharap menemukan sesuatu yang bisa membawanya lebih dekat ke rumahnya. Mereka akhirnya tiba di sebuah kafe kecil yang terlihat familiar bagi Alvaro. “Aku ingat tempat ini. Ayah sering membawaku ke sini,” katanya. Di kafe itu, mereka bertemu dengan seorang pelayan tua yang tampaknya mengenali Alvaro. “Tuan Muda? Apa itu benar-benar kau?” tanya pelayan itu dengan nada penuh keterkejutan. Alvaro mengangguk pelan. “Kau mengenalku?” “Tentu saja! Aku pernah bekerja di rumah keluargamu. Tapi setelah kau hilang, semuanya berubah. Rumah itu tidak pernah sama lagi.” --- Dari pelayan itu, Alvaro mendapatkan informasi penting. Ia mengetahui bahwa setelah penculikannya, keluarganya mengalami perpecahan besar. Ada banyak desas-desus tentang siapa yang mungkin terlibat dalam penculikan itu, tetapi tidak ada yang berani berbicara secara terbuka. “Ada satu orang yang mungkin bisa membantumu,” kata pelayan itu. “Dia adalah pengacara keluarga. Namanya Pak Aditya. Dia tahu banyak tentang apa yang terjadi.” Alvaro merasa ini adalah petunjuk besar. Namun, ia juga tahu bahwa mendekati Pak Aditya bukanlah hal yang mudah. --- Malam itu, saat mereka kembali ke penginapan kecil tempat mereka bersembunyi, Alvaro dan Dika merasa bahwa mereka sedang diawasi. “Apakah kau merasa ada yang aneh?” bisik Dika. Alvaro mengangguk. “Kita harus lebih berhati-hati. Mereka mungkin sudah tahu kita ada di sini.” Namun, sebelum mereka bisa bertindak, pintu kamar mereka tiba-tiba didobrak. Sekelompok pria bersenjata masuk, membuat Alvaro dan Dika harus melarikan diri lagi.Alvaro berdiri diam di tengah gudang tua yang kini sunyi mencekam. Tubuh Harsono tergeletak tak berdaya di lantai beton yang dingin, darah mengalir dari luka di wajahnya yang memar dan bengkak. Napasnya lemah, nyaris tak terdengar. Di sekitar mereka, sisa-sisa pertarungan berserakan: pecahan kaca, senjata yang terjatuh, dan bayangan masa lalu yang menghantui Alvaro tanpa henti. Ricardo, Selena, dan Carlos berdiri tak jauh dari sana, wajah mereka dipenuhi kepedihan dan kekecewaan. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Alvaro, teman yang dulu mereka kenal, telah berubah menjadi seseorang yang begitu asing—penuh kebencian dan dendam. Mereka tak lagi mengenali sosok yang berdiri di hadapan mereka. “Sudah cukup, Alvaro,” suara Ricardo pecah dalam keheningan, suaranya penuh rasa sakit. “Kau sudah membalas dendammu. Harsono sudah hancur... Apa lagi yang kau inginkan?” Alvaro menoleh perlahan, menatap Ricardo dengan mata tajam yang dipenuhi kekosongan. “Keadilan... untuk
Gudang tua itu berdiri sunyi di tengah kawasan industri yang ditinggalkan, dikelilingi oleh puing-puing bangunan yang runtuh dan jalanan berdebu. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma karat dan kelembaban yang menusuk hidung. Di dalam gedung yang gelap dan dingin itu, Alvaro berdiri tegak, menatap Harsono yang terpojok di sudut ruangan. Wajah Harsono memucat. Tubuh tuanya bergetar dalam ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan. Mata Alvaro menyala dengan api kebencian yang begitu dalam, mencerminkan amarah yang telah terpendam sejak masa kecilnya yang hancur. Malam ini adalah akhir dari semua dendam yang telah membayangi hidupnya. Malam ini, semuanya akan berakhir. “A-Alvaro...” Suara Harsono gemetar, penuh rasa takut. “K-kita bisa bicarakan ini...” “Bicara?” Alvaro menyeringai sinis, langkah kakinya mantap mendekat. “Apa kau pernah membiarkanku bicara saat kau menculikku? Saat kau membuangku seperti sampah tanpa peduli apa yang terjadi padaku?” Harsono menelan ludah, keringat
Hujan mengguyur kota dengan deras, menambah kelam suasana malam itu. Petir menyambar, menampakkan bayangan gedung megah milik Harsono yang berdiri kokoh di puncak bukit. Dari kejauhan, Alvaro memandangi tempat itu dengan tatapan tajam, wajahnya tak menunjukkan emosi sedikit pun. “Aku sudah sampai di sini... Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayangan, saatnya menunjukkan siapa aku sebenarnya,” gumam Alvaro pelan. Langkah kakinya mantap saat dia mendekati gerbang utama. Dengan gerakan cepat, ia melumpuhkan penjaga tanpa suara. Tubuh-tubuh tak berdaya jatuh ke tanah sementara Alvaro terus melangkah, tatapannya lurus ke arah pintu masuk utama. Suara alarm berbunyi nyaring. Harsono sudah menunggunya. Di dalam ruang kerjanya yang mewah, Harsono berdiri menghadap jendela besar. Dia tahu bahwa orang yang menyerang jaringannya selama ini akhirnya datang untuk menemuinya. Dengan tenang, ia menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya. Langkah kaki terdengar mendekat. Harsono berb
Alvaro berdiri di atas atap gedung tua, menatap hiruk-pikuk kota di bawahnya. Lampu-lampu kota bersinar terang, namun hatinya dipenuhi kegelapan yang pekat. Udara malam berhembus dingin, menggoyangkan ujung jaket hitam yang dikenakannya. Tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Dia tahu betul bahwa langkah pertama dalam rencananya adalah menghancurkan jaringan bisnis Harsono. Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Untuk itu, dia membutuhkan informasi yang akurat dan bantuan dari orang-orang yang tahu betul kelemahan lawannya. Alvaro mengingat wajah-wajah yang dulu pernah berdiri di sisinya—Ricardo, Selena, dan Carlos. Mereka bertiga pernah menjadi sahabatnya, rekan yang dia percayai sepenuh hati. Namun ketika dia kembali sebagai Alvaro yang berbeda, mereka menolaknya, menganggapnya sebagai musuh. “Itu bukan salah mereka,” pikir Alvaro dalam hati. “Mereka tidak tahu apa yang sudah kulalui... apa yang harus kualami sendirian.” Namun, Alvaro juga tahu bahwa untuk mencapai tujuannya
Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata
Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe