Leo menguap lebar, matanya sudah setengah terpejam menahan kantuk akibat perjalanan jauh selama berhari-hari dari ibukota menuju daerah terpencil di perbatasan barat kerajaan. Suara deru mesin kendaraan patroli polisi yang dikendarainya terdengar monoton, semakin mengundang rasa kantuk bergelayut. Untungnya jalanan di hadapannya cukup lengang, hanya sesekali ada kereta atau gerobak petani yang lewat. Pepohonan rimbun di kanan-kiri menambah kesan sunyi daerah pedalaman ini.
“Haah... kenapa dari semua polisi muda berprestasi harus aku yang ditugaskan di daerah terpencil begini sih,” keluh Leo seorang diri. “Padahal aku baru lulus akademi kepolisian dengan nilai tertinggi. Harusnya ditempatkan di kota besar yang ramai kejahatan, bukannya desa antah berantah begini!”Sambil terus menggerutu, Leo merogoh saku celananya dan mengeluarkan secarik kertas bertuliskan alamat pos polisi barunya. Ia mencocokkannya dengan papan penunjuk jalan di persimpangan hutan yang dilaluinya.“Hm... seharusnya belok kanan di pertigaan berikutnya, lalu lurus terus sampai menemukan Kota Senja," gumam Leo pada diri sendiri. "Yah, mudah-mudahan saja seniornya ramah dan warga setempat juga bersahabat. Lumayanlah bertugas beberapa tahun di sini sebelum dimutasi ke kota besar."Tak lama kemudian mobil patroli Leo memasuki sebuah kota kecil di antara perbukitan yang menghijau. Pepohonan rindang menaungi di kiri-kanan jalan utama berbatu yang sedikit bergelombang. Deretan rumah kayu bercat cerah berjejer rapi, memberi kesan teduh dan damai. Beberapa anak kecil bermain kejar-kejaran di tepi jalan, melambaikan tangan riang pada Leo yang balas tersenyum singkat.“Hm... tampaknya penduduk di sini cukup ramah,” gumam Leo agak lega. “Setidaknya tempat ini terlihat jauh lebih baik ketimbang desa terpencil yang kubayangkan.”Namun senyuman Leo memudar ketika memasuki pusat kota yang sedikit lebih ramai. Orang-orang dewasa yang berpapasan dengannya kebanyakan memasang wajah masam dan muram. Beberapa mendelik tajam penuh curiga, membuat Leo jadi salah tingkah. Suasana suram yang aneh mendadak menyelimuti.“Apa-apaan tatapan penduduk di sini? Memangnya ada yang salah dengan seragam polisiku?” tukas Leo heran. Dia memarkirkan mobil patrolinya dan turun untuk bertanya pada seorang kakek tua renta yang duduk di anak tangga toko.“Permisi kek, apa ada masalah dengan polisi di kota ini?” tanyanya sopan.Si kakek mendongak sekilas, lalu membuang muka dengan dengusan. “Cih, untuk apa basa-basi? Semua orang di Senja juga tahu polisi di sini cuma pajangan!” cetusnya kasar.Leo mengernyit tidak mengerti. Namun sebelum sempat bertanya lebih jauh, kakek itu already beranjak pergi dengan langkah terseok dan bersungut-sungut. Leo hanya bisa menggaruk kepalanya bingung.‘Apa-apaan responsnya itu? Dasar orang tua aneh!’ dengus Leo dalam hati. Dia pun melanjutkan perjalanan menuju kantor polisi di ujung jalan. Namun kata-kata pedas si kakek tadi terus terngiang. Apa benar polisi tidak dihormati dan tidak berfungsi dengan baik di kota ini?Tak lama kemudian Leo tiba di pos polisi kecil yang tampak sedikit kumuh di pinggiran kota. Cat luarnya mengelupas sana-sini, kaca jendelanya buram oleh debu. Di teras depan, sesosok pria tambun dengan seragam kebesaran duduk menghisap cerutu sambil melamun. Leo pun menghampirinya untuk melapor.“Permisi Pak, saya Letnan Leo yang baru dipindahtugaskan ke mari. Saya ingin melapor dan meminta pengarahan,” ujarnya sopan seraya memberi hormat.Si pria tambun itu menoleh malas, cerutunya masih terselip di mulut. Dia menatap Leo dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan. "Hm... jadi kau anak baru yang ditugaskan dari pusat itu ya? Kukira mereka sudah bosan mengirim orang kemari,” cetusnya dengan seringai aneh.Leo balas tersenyum kaku. Sikap seniornya ini sangat jauh dari ramah. Namun Leo berusaha bersabar dan bersikap profesional.“Ya Pak. Nama saya Letnan Leo Graves, lulusan terbaik angkatan tahun ini. Saya akan berusaha memberikan pelayanan maksimal untuk warga Kota Senja ini,” ujar Leo penuh dedikasi.Si tambun itu tertawa mengejek mendengar idealisme Leo. Dia menghisap cerutunya dalam-dalam lalu menyemburkan asap ke udara. "Oke Letnan, karena kau masih hijau biar kuberi wejangan. Lupakan semua idealisme dan tetek bengek yang kaupelajari di akademi itu. Di kota ini, tidak ada yang perlu kau 'layani dan lindungi'," ujarnya sinis."TERDAKWA EMILY ROSEWOOD DINYATAKAN BERSALAH MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA TERHADAP ADRIAN ROSEWOOD, DENGAN VONIS HUKUMAN MATI!!"Jeger!!Bagai disambar petir di siang bolong, hati Emily serasa dihantam palu godam 10 ton ketika mendengar keputusan kejam Sang Hakim Agung. Dia sama sekali tak mengira pengadilan tertinggi negeri ini akan sekejam itu menjatuhkan eksekusi mati bagi pelaku pembunuhan kategori 'terpaksa' dan 'sudah dalam tekanan mental ekstrim' seperti kasusnya ini!Sementara di bangku penonton, Leo dan tim pembela hukum lain hanya bisa mematung dengan ekspresi syok parah dan tak percaya. Sama sekali tak ada yang sanggup berkomentar atau sekedar memberi dukungan moril tatkala suara tangisan dan pekikan histeris kompak terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Bahkan ada yang sampai pingsan saking syoknya.Emily sendiri sudah ambruk lemas dengan wajah seputih mayat kapur. Kedua matanya berkaca-kaca menahan air mata yang sudah mengaliri pipi ayunya. Dia sama sekali tak mengira
Esok paginya rombongan kecil Emily tiba di ibukota setelah perjalanan menegangkan menyusuri hutan belantara demi menghindari para residivis bayaran Rosewood yang makin bringas belakangan ini. Syukurlah mereka dijemput tim kepolisian elit yang sudah disiapkan Leo demi pengamanan ketat sang gadis most wanted selama menjalani proses hukum di pusat ini.Sesampainya di pengadilan, Emily langsung diajak masuk ke ruang pemeriksaan dan introgasi intensif guna memberi keterangan tambahan sebagai pelaku utama pembunuhan Adrian Rosewood si Tetua bangsat keluarganya sendiri itu. Sang gadis tentu menjalani proses penyidikan berjam-jam dengan sabar dan tabah meski dilanda kelelahan fisik dan mental akibat perjalanan panjang.Begitu sesi pemeriksaan usai, kini tersisa menunggu beberapa hari ke depan sampai jaksa dan majelis hakim menyelesaikan dakwaan dan memutuskan vonis bagi Emily sang terdakwa. Leo dan antek-anteknya yang lain tetap setia mendampingi selama masa penantian menegangkan itu meski se
Sesosok mayat renta tergeletak mengenaskan di lantai kotor dengan genangan darah pekat di sekitarnya. Emily berdiri angkuh di sampingnya dengan belati pusaka penuh noda merah. Napasnya terengah menahan amarah campur duka pedih menyadari dia baru saja menghabisi nyawa kakek angkatnya sendiri demi pembalasan dendam atas kematian sang ibunda tercinta.Leo dan antek-anteknya yang baru tiba sontak terperanjat syok melihat kondisi tragis di hadapan mereka. Sedikit pun tak menyangka sang gadis lembut yang selama ini mereka kenal bisa bertindak sekejam itu demi melampiaskan rasa sakit dan kebencian yang dipendamnya selama ini."Ya ampun Nona Emily... Jadi kau sudah..." Desah Leo tak sanggup meneruskan kalimat pedihnya itu. Hatinya remuk redam menyaksikan orang yang dicintainya harus mengotori tangan demi membalaskan luka masa silamnya yang begitu dalam dan menyakitkan.Emily menoleh dengan senyum getir menghias wajah cantiknya yang pucat. "Maafkan atas ketidaksopanan dan kekacauan ini, Letnan
Fajar menyingsing di ufuk timur Kota Senja yang kelabu, menandakan dimulainya hari penentuan bagi naik-turunnya angka kriminalitas di wilayah barat tanah air. Pasalnya hari ini adalah momen penjegalan di Pelabuhan kumuh Baron, tempat Adrian Rosewood sang Dalang utama aktivitas kejahatan keluarganya selama ratusan tahun berencana melarikan diri demi menghindari vonis mati atas semua dosanya. Leo dan regu kepolisian kecilnya tentu tak tinggal diam. Berkat bantuan Sheriff Rogers dan mata-matanya, mereka sudah lebih dulu menyiapkan penyekatan darat dan laut guna menggagalkan pelarian gelap si Tetua bangsat dari cengkraman hukum. Salma dan William bertugas mengepung dari arah darat dan menstrerilkan area sekitar dermaga dari ancaman.Sementara Sheriff Rogers sendiri bertugas ‘mengamankan’ Adrian beserta anteknya begitu berhasil ditangkap guna persiapan interogasi lebih lanjut. Tentu dengan ‘metode khusus’ Sang Sheriff yang super sadis dan tak berperikemanusiaan. Sedangkan Leo dan Emily m
Leo yang sedang mengobati luka lecet Emily di sudut ruang persembunyian mereka tanpa sengaja mencuri dengar pembicaraan penuh haru sang nona muda dengan kepala pelayan setianya William. Raut wajah kusut sang majikan tampak sendu sekaligus penasaran ketika membuka topik masa lalu si kepala pelayan yang cukup tersembunyi itu.‘Ah... mimpi buruk masa silam ya... Kurasa saatnya aku berterus terang soal kisah kelam itu Nona...’ desah William pasrah.Emily mengernyit penasaran mendengar kesedihan yang menyelip dari nada suara renta seniornya itu. Seumur hidup dia memang belum pernah melihat atau mendengar William menyinggung sedikit pun perihal kehidupan pribadi apalagi silsilah keluarganya. Yang dia tahu William adalah pegawai paling setia dan andal dari zaman kakek buyutnya dulu. Reputasinya juga sangat bagus dimata keluarga Pemilik tanah dan seluruh staff rumah tangga lain.Namun justru kemisteriusan dan kerahasiaan tinggi yang selalu dipertahankan lelaki paruh baya ini sukses membuat no
Leo meringis kesakitan luar biasa saat si pria bertindik itu terus saja melayangkan pukulan demi pukulan keras ke sekujur tubuhnya yang sudah babak belur. Darah segar terus mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. Namun Sang Letnan tetap bergeming dan tidak mengeluh sedikitpun meski disiksa fisik sedemikian rupa.Emily hanya bisa menangis tersedu menyaksikan pemandangan menyayat hati ini. Dia benar-benar merasa bersalah luar biasa karena keberadaannya telah membuat orang lain menderita, terlebih Leo sang penyelamat jiwanya yang rela berkorban demi melindungi nona muda buronan ini.Puas menyiksa, si pria bertindik itu mengisyaratkan anak buahnya yang kekar-kekar menyeret tubuh babak belur Leo ke pojok ruangan. Sang Letnan disandera dalam posisi berlutut sambil kedua tangannya diborgol di belakang punggung. Sementara mulutnya disumpal kain kotor hingga hanya erangan kesakitan tertahan yang bisa lolos. Meski babak belur, kilatan mata Leo tetap menyala-nyala penuh gairah membara. Jelas d