"TERDAKWA EMILY ROSEWOOD DINYATAKAN BERSALAH MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA TERHADAP ADRIAN ROSEWOOD, DENGAN VONIS HUKUMAN MATI!!"Jeger!!Bagai disambar petir di siang bolong, hati Emily serasa dihantam palu godam 10 ton ketika mendengar keputusan kejam Sang Hakim Agung. Dia sama sekali tak mengira pengadilan tertinggi negeri ini akan sekejam itu menjatuhkan eksekusi mati bagi pelaku pembunuhan kategori 'terpaksa' dan 'sudah dalam tekanan mental ekstrim' seperti kasusnya ini!Sementara di bangku penonton, Leo dan tim pembela hukum lain hanya bisa mematung dengan ekspresi syok parah dan tak percaya. Sama sekali tak ada yang sanggup berkomentar atau sekedar memberi dukungan moril tatkala suara tangisan dan pekikan histeris kompak terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Bahkan ada yang sampai pingsan saking syoknya.Emily sendiri sudah ambruk lemas dengan wajah seputih mayat kapur. Kedua matanya berkaca-kaca menahan air mata yang sudah mengaliri pipi ayunya. Dia sama sekali tak mengira
Leo menguap lebar, matanya sudah setengah terpejam menahan kantuk akibat perjalanan jauh selama berhari-hari dari ibukota menuju daerah terpencil di perbatasan barat kerajaan. Suara deru mesin kendaraan patroli polisi yang dikendarainya terdengar monoton, semakin mengundang rasa kantuk bergelayut. Untungnya jalanan di hadapannya cukup lengang, hanya sesekali ada kereta atau gerobak petani yang lewat. Pepohonan rimbun di kanan-kiri menambah kesan sunyi daerah pedalaman ini.“Haah... kenapa dari semua polisi muda berprestasi harus aku yang ditugaskan di daerah terpencil begini sih,” keluh Leo seorang diri. “Padahal aku baru lulus akademi kepolisian dengan nilai tertinggi. Harusnya ditempatkan di kota besar yang ramai kejahatan, bukannya desa antah berantah begini!”Sambil terus menggerutu, Leo merogoh saku celananya dan mengeluarkan secarik kertas bertuliskan alamat pos polisi barunya. Ia mencocokkannya dengan papan penunjuk jalan di persimpangan hutan yang dilaluinya. “Hm... seharusny
Leo mengerutkan kening mendengar wejangan sinis dari atasannya yang bertubuh tambun itu. Namanya Sheriff Rogers, pangkatnya Kepala Polisi Kota Senja sekaligus pemimpin satu-satunya anggota kepolisian di kota kecil ini. Dari name tag yang tersemat di seragam kebesarannya, Leo menyimpulkan pria paruh baya itu sudah cukup lama bertugas. "Maaf Pak Sheriff, saya tidak mengerti maksud Anda," sahut Leo sopan. "Bukankah sudah menjadi kewajiban polisi untuk melayani dan melindungi masyarakat?"Sheriff Rogers mendengus geli mendengar pertanyaan lugas Leo. Dia menepuk bahu muda itu sok akrab. "Dengar Letnan, di kota antah berantah seperti Senja, hukum rimba-lah yang berlaku. Tidak ada gunanya memberi 'pelayanan maksimal' pada penduduk. Mereka cuma sekumpulan petani kolot yang penakut," cetusnya malas."Tapi... menjadi polisi berarti mengabdi demi keadilan dan kebenaran, Pak. Itu sudah sumpah setiap anggota kepolisian," bantah Leo bersikeras. Sheriff Rogers kembali terkekeh mengejek. "Sumpah ap
Sudah tiga hari Leo bertugas di Kota Senja, namun belum banyak hal berarti yang dikerjakannya. Sheriff Rogers lebih banyak menghabiskan waktu tidur siang atau membaca koran di teras ketimbang patroli. Sedangkan Leo sendiri juga tidak punya banyak aktivitas selain membersihkan senjata di gudang pengap atau menata ulang berkas kejahatan yang sebagian besar tak terselesaikan.Suatu sore ketika sedang membereskan tumpukan kardus berdebu di gudang, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki tergopoh-gopoh menaiki anak tangga di luar. Leo mengintip dari pintu dan mendapati Sheriff Rogers berjalan tergesa ke ruang kerjanya. Wajah pria tambun itu tampak tegang dan pucat. Didorong rasa penasaran, Leo mengikutinya ke ruangan."Selamat sore Pak. Ada kabar apa gerangan yang begitu mendesak?" sapa Leo sopan.Sheriff Rogers hanya melirik sekilas dengan raut masam. Dia sibuk menelepon seseorang dengan suara pelan, sesekali melirik was-was ke arah Leo. Setelah menutup telepon, Sheriff duduk di kursinya d
Keesokan paginya Leo langsung tancap gas menuju lokasi kebakaran perkebunan yang dilaporkan Sheriff kemarin. Sepanjang perjalanan dia mencatat rincian informasi dari para saksi. Diduga kebakaran terjadi pukul 4 dini hari saat seluruh keluarga John Miller sedang tidur. Beruntung anak pertama John yang kamarnya menghadap perkebunan terbangun karena mendengar suara ledakan. Dia sempat melihat kobaran api sebelum membangunkan anggota keluarga yang lain. Kebakaran menghanguskan hampir 3/4 hektare lahan perkebunan milik John. Diduga besar kejadian ini bukan kelalaian atau kecelakaan belaka mengingat kondisi tanah yang lembab serta udara dingin di pagi buta. Diperkirakan kerugian materi mencapai ribuan keping emas, belum trauma psikis yang dialami korban.Leo mengendus-endus sisa puing yang mengepulkan asap tipis. Bau hangus masih tercium pekat di area itu. Dia berkeliling mencari jejak atau petunjuk apapun yang mungkin terlewat dari olah TKP sebelumnya. Bosan berjalan tanpa hasil berarti
Rasa penasaran Leo semakin menjadi-jadi setelah insiden pertemuannya dengan Emily Rosewood. Ditambah reaksi berlebihan Sheriff atas marga bangsawan misterius itu semakin meyakinkannya bahwa ada yang tidak beres. Pastilah keluarga terpandang ini menyimpan rahasia besar hingga sanggup membuat pejabat lokal setakut itu.Seusai jam kerja Leo mampir ke perpustakaan kota, mencari data apapun yang bisa digali soal klan Rosewood. Berjam-jam dia membalik koran dan arsip lama yang berdebu, hingga menemukan potongan artikel tentang pendirian Kota Senja ratusan tahun silam. Konon Kota Senja dibangun oleh pemukim kekaisaran lama yang dipimpinaden terusir dari tanah asalnya akibat peperangan. Mereka memilih bermukim di daerah terpencil di perbatasan kerajaan yang kala itu masih berupa hutan rimbun penuh binatang buas. Puluhan tahun kemudian pemukiman itu berkembang menjadi desa kecil bernama Senja. Pendiri sekaligus pemimpinnya yang bermarga Rosewood menyatakan desa itu sebagai wilayah kekuasaann
Esok paginya Leo sudah siap dengan segala amunisi dan bukti untuk meyakinkan Sheriff Rogers mengambil tindakan tegas terhadap keluarga Rosewood selaku tersangka utama di balik insiden aneh yang belakangan menimpa warga. Dia sadar butuh perjuangan besar menggerakkan atasannya yang pengecut itu. Tapi Leo tidak habis pikir, masa iya para penegak hukum lokal rela menutup mata atas kasus yang jelas melanggar moral dan hukum hanya demi menjaga 'hubungan baik' dengan pejabat berkuasa?! "Pagi, Sheriff! Ada kemajuan signifikan dari penyelidikan kasus yang Anda limpahkan ke saya," lapor Leo begitu memasuki ruangan Rogers dengan map tebal di tangannya.Sang Sheriff yang tengah menguap lebar langsung duduk tegak dengan raut tegang. "Apa maksudmu kemajuan signifikan? Bukannya kau bilang belum menemukan titik terang pelakunya?" tanya Rogers curiga."Sebelumnya memang belum, Pak. Tapi insiden serupa kemarin meyakinkan saya 100% pihak yang paling diuntungkan dan bermotivasi di balik kasus ini tak la
"Pasukan gabungan penggerebekan apa, Pak? Kok saya tidak tahu?" Leo setengah tak percaya mendengar informasi yang disampaikan atasannya itu.Sheriff Rogers berdecak kesal. "Jangan pura-pura amnesia, Letnan bandel! Sudah jelas itu akibat ulah pelaporan kasus dugaan kriminal Rosewood olehmu ke markas pusat kemarin!" dengus Rogers jengkel.Leo menepuk keningnya. Ah iya, rasanya baru kemarin dia melaporkan perihal aktivitas mencurigakan keluarga Rosewood yang diduga kuat sebagai dalang di balik serangkaian insiden aneh menimpa warga Senja belakangan ini. Namun Leo sama sekali tidak mengira reaksi pusat kepolisian akan secepat dan sedrastis ini!"Astaga... jadi benar mereka langsung mengirim tim penggeledah plus aparat bersenjata lengkap ke mari?! Yang benar saja, aku kira butuh proses panjang sebelum ada tindakan..." keluh Leo frustasi.Sheriff Rogers berseru makin kalap. "Itu karena kau tidak tahu seberapa ditakuti dan diburunya keluarga iblis Rosewood oleh petinggi keamanan di ibukota,