“Ambilah. Aku tahu hidupmu sulit,” tukas Melinda ketika mereka ada di ruang baca kemarin, sesaat setelah Thomas pergi. “Pergunakan uang itu sebaik-baiknya. Tapi ingat, jangan pernah coba kabur dari rumah ini.”
Kirana mengangguk. Perlahan tangannya meraih selembar cek yang dijulurkan Melinda.
Ditatapnya selembar cek di tangannya, hatinya campur aduk antara lega dan juga kesal.
Lima ratus juta rupiah. Mata Kirana mengerjap-ngerjap memandangi nominalnya. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang dimintanya.
Akhirnya, Melinda memberikan cek itu meskipun Kirana belum memenuhi salah satu syarat dari perjanjian kontrak pernikahan tersebut—yaitu hamil.
“Terima kasih, Nyonya…” Kirana tidak kuasa untuk menangis. “Saya…saya benar-benar membutuhkan uang ini…”
Melinda hanya tersenyum tipis menanggapinya.
Sejenak, Kirana merasa ada sesuatu yang tulus dari tatapan ibu mertuanya itu. Namun, Kirana sebaiknya tidak terlalu banyak berasumsi. Hubungan mereka hanyalah bisnis yang disamarkan dengan ikatan pernikahan.
“Mbak Kirana!”
Lamunan Kirana pun buyar.
Suara lelaki itu membuat Kirana segera menengadahkan wajahnya dari lembaran cek yang dipegangnya.
Dari kejauhan, Romi tersenyum lebar. Matanya nampak berbinar penuh harap saat menghampiri Kirana yang sudah menunggunya di depan kediaman Adijaya. Dagu adiknya itu dipenuhi brewok dengan penampilan yang lusuh.
Romi selalu saja menjadi sumber masalah bagi dirinya. Sejak ayah mereka meninggalkan keluarga demi perempuan lain sepuluh tahun yang lalu, Romi berubah. Dia mulai nakal, sering menghilang, dan akhirnya terjerumus ke dalam dunia judi.
Angin siang berembus, membuat beberapa helai rambut Romi yang sudah berantakan itu tambah mencuat.
“Wah, sekarang hidup Mbak enak banget,” komentar Romi, melirik ke kediaman Adijaya dengan tatapan iri. Pagar yang tinggi membatasi pandangannya, namun Romi yakin pasti nyaman sekali tinggal di dalam sana. “Mbak bisa tinggal di rumah yang kayak istana begitu. Sekali-kali, ajak aku nginep dong!”
“Jangan asal bicara,” sergah Kirana cepat. “Kamu tahu kan keberadaanku di rumah itu sebagai apa?”
Romi mengerucutkan bibirnya. Namun dengan cekatan, matanya tertuju pada selembar cek di tangan Kirana.
Mendadak, kedua bola mata Romi seakan hendak keluar dari rongganya. “Li-lima ratus juta, Mbak?! Gila, ini sih bisa menyelamatkan utang-utangku!”
“Ini uangku, Romi,” tegas Kirana, menjauhkan tangannya begitu adiknya hendak menyambar cek yang dia pegang.
“Ya, ya, aku tahu,” Romi menukas lirih. “Aku janji, Mbak. Aku akan mempergunakan uang itu untuk membayar utangku dan menebus rumah ibu. Serta membantu pengobatan ibu…”
Wajah Romi yang memelas itu selalu membuat Kirana tidak tega. Lagi pula, uang ini memang untuk membayar utang judi Romi serta pengobatan ibunya.
“Aku percayakan uang ini padamu, Rom,” ucap Kirana pada akhirnya.
Bola mata Romi kembali membulat girang. Dia langsung menghambur, memeluk kakaknya erat. “Makasih, Mbak! Mbak memang selalu bisa diandalkan. Aku sayaaaang banget sama, Mbak! Pokoknya, kali ini aku enggak akan membuat pengorbanan Mbak Kirana sia-sia.”
Kirana hanya memutar kedua bola matanya dan tidak membalas pelukan itu. “Yah, sebaiknya begitu.”
Berkali-kali, Romi menjanjikan hal yang sama dan pada akhirnya dia selalu kembali membuat masalah. Namun, kali ini Kirana yakin Romi akan berubah. Dia melihat Romi begitu hancur saat tahu ibu mereka terkena kanker tulang.
Lagi pula, meskipun Romi sering membuat ulah, Kirana tetap tidak akan pernah tega membiarkan Romi sendirian. Romi adalah adik satu-satunya yang dia miliki.
Brak!
Seketika, suara pintu mobil yang terbuka langsung mengalihkan perhatian kakak adik itu.
Tanpa mereka sadari mobil SUV milik Thomas sudah terparkir di pinggir trotoar. Mata lelaki itu menyipit tajam melihat seorang pria yang memeluk Kirana.
Dan tanpa pikir panjang, Thomas berjalan cepat ke arah mereka.
"Apa-apaan ini?" Suara Thomas terdengar dingin namun terselip nada penuh amarah.
Wajahnya yang biasanya datar, kini memancarkan ketidaksukaan yang begitu kentara.
Sementara itu, Romi melepas pelukannya dan melemparkan tatapan menantang ke arah Thomas. “Memangnya kenapa, hah?”
“Romi!” Kirana mendesis pelan ketika Romi menaikkan dagunya dengan pongah.
“Ada masalah? Perempuan ini–”
Belum sempat Romi melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba saja Thomas menarik lengan pria itu.
Bugh!
Dengan kasar, Thomas bahkan menghadiahkan bogem mentah tepat di rahang kiri Romi!
Kedua mata Kirana sontak membelalak. “Tuan Thomas! Hentikan!"
Kirana memandangi pantulan dirinya di depan cermin.Gaun putih berekor panjang itu nampak berkilau diterpa cahaya matahari yang menerobos melalui jendela.“Cantik sekali…” ucap Melinda, muncul dari balik punggung Kirana.Leher jenjang Kirana terlihat jelas karena rambutnya digelung ke atas. Lantas, Melinda mengaitkan liontin emas di leher Kirana.Setelah mengetahui semuanya, Melinda dan Sutono merasa begitu malu serta bersalah.Perempuan yang dulu mereka rendahkan itu ternyata anak seorang konglomerat. Saat Thomas mengutarakan untuk menikahi Kirana setelah resmi bercerai dengan Vivian, Melinda dan Sutono akhirnya meminta maaf dengan tulus pada Kirana.Dan sekarang rasa bangga menyelimuti hati Melinda. Kirana nampak begitu anggun dan menawan. Kecantikannya terpancar walau gaunnya tidak terlalu mewah seperti pernikahan Vivian.“Ma!” Seketika Al muncul dengan langkah mungilnya, bergerak ke arah Kirana.“Sayang!” Senyum Kirana langsung merekah.Kedua tangan Al menggapai ke atas, pertanda
Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela kaca kafe yang besar itu.Di meja yang berada di sudut kafe, Kirana dan Vivian duduk berhadapan.Selama beberapa saat kecanggungan menguar di udara. Vivian nampak tertunduk dalam. “Maafkan aku…” Akhirnya Vivian berani mengutarakan niatnya. Suaranya terdengar bergetar dan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Kirana. Aku sudah memperlakukanmu begitu buruk.”Senyum tipis terukir di wajah Kirana. Helaian rambut wanita itu bergerak pelan. “Tidak, seharusnya aku yang minta maaf padamu. Aku paham kenapa kamu membenciku. Itu karena aku telah merebut Thomas darimu. Aku tahu, kamu begitu mencintai Thomas. Jadi, maafkan aku.”Vivian mendongak. Kedua bola matanya kini nampak sayu, tidak seperti dulu yang penuh ambisi dan terkadang berkilat penuh amarah juga kesombongan.“Kamu enggak perlu minta maaf padaku. Kalian saling mencintai dan Thomas memang berhak mendapatkan wanita seperti dirimu, Kirana. Aku enggak layak untuk Thomas…” Lantas, kedua tangan
Samar-samar Vivian menangkap suara alat detak jantung yang berirama.Kedua kelopak matanya terasa begitu berat untuk membuka. Saat akhirnya di berhasil, cahaya putih seakan menusuk pandangannya.Kepalanya lantas berdenyut nyeri.Vivian merasa tubuhnya kaku. Selang melintang di wajahnya. Dia mencoba untuk mengerang, namun suaranya seakan tertahan di tenggorokan.“Errgh…” erang Vivian pada akhirnya.Beribu pertanyaan menyerbu benaknya. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa dia bisa terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit yang begitu dingin.Seketika seorang perawat datang, mengecek keadaan Vivian. Wanita itu tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan perawat itu pada rekannya.Sampai seorang dokter yang mengenakan jas putih datang mendekat.Dokter itu mencondongkan tubuhnya ke arah Vivian, membuka lebar kedua kelopak matanya sambil menyinarinya dengan senter yang terang.Lalu, dia berujar tepat di telinga Vivian. “Ini keajaiban. Kamu selamat, Vivian. Kamu telah sadar dari tidurmu
Seharusnya, Kirana tidak merasa gelisah seperti ini. Namun, entah kenapa, tangannya tetap gemetar saat membuka amplop yang berisi hasil tes DNA antara dirinya dengan Robert Winarta.Robert, yang duduk di seberang Kirana, nampak tersenyum lega saat melihat hasilnya.Kirana memang benar anak kandungnya. Dia sudah yakin soal itu.Pengacara Robert lantas menyerahkan beberapa lembar dokumen di hadapan Kirana.“Sekarang, kamu adalah Kirana Winarta,” tukas pengacara itu. “Walau masih butuh proses untuk mengganti namamu di setiap dokumen.”Kirana menatap lembaran kertas ini. Keningnya agak mengernyit.“Tanda tanganilah, Nak. Itu hakmu. Aku akan mewariskan setengah hartaku untuk dirimu,” ucap Robert.“Tapi…”“Aku akan sangat marah kalau kamu menolak untuk menandatanganinya,” ancam Robert dengan nada bercanda.Dengan sedikit keraguan, Kirana akhirnya membubuhkan tanda tangannya.“Kamu sah menjadi pemegang saham terbesar di Winarta Holdings. Selamat, Kirana.” Pengacara Robert menjabat tangan Kir
Sambil mendekap dokumen adopsinya, Vivian melangkah masuk ke dalam panti asuhan itu, tempat di mana ibu kandungnya yang tidak bertanggung jawab menyerahkan dirinya sewaktu bayi.Berkat donasi Robert setiap tahunnya, fasilitas di panti asuhan itu cukup mumpuni.Mata Vivian berkeliling, memandangi para penghuni panti.Sampai akhirnya, Vivian berhadapan dengan pengurus panti yang mungkin berusia lima puluh tahunan awal.Wajah wanita itu sangat ramah saat menyambut kedatangan Vivian.“Aku ingin mengetahui soal ibuku,” ucap Vivian tanpa basa-basi sambil menyerahkan dokumen adopsinya.Wanita itu mengeceknya dengan seksama. “Ah, kamu…” Wanita itu mendongak sambil tersenyum lebar. Sorot matanya begitu bahagia. “Aku ingat betul, ibu kandungmu datang berpuluh-puluh tahun lalu dan menyerahkanmu ke sini. Sekarang, kamu sudah tumbuh jadi wanita yang cantik…”“Di mana dia?” Tanya Vivian dingin.Pengurus panti itu lalu beranjak ke sebuah lemari besar, mencari-cari sesuatu.Setelah beberapa saat, dia
Napas Robert tertahan, begitu pula dengan Thomas.Mereka mengira Vivian sudah terlelap. Namun siapa sangka, perempuan itu kini bergerak mendekat ke arah mereka.Wajahnya diselimuti rasa penasaran yang mendalam.“Rahasia apa yang Papa dan Mama sembunyikan selama ini?” Desak Vivian lagi. “Dan hal penting apa yang ingin Papa sampaikan padaku?”Robert menelan ludahnya dalam-dalam. Dia menarik napas sejenak. Sepertinya dia memang harus memberi tahu apa yang terjadi secepatnya. “Duduklah,” pinta Robert pada akhirnya. “Aku akan menceritakan semuanya padamu.”Jantung Vivian jadi berdetak cepat. Dia merasa apa yang akan dikatakan Robert adalah sesuatu yang buruk. Apalagi dia sempat mendengar Robert memanggil Sandra dengan sebutan wanita sialan.Seumur hidupnya, Vivian selalu menyaksikan keharmonisan kedua orangtuanya. Apa mereka selama ini hanya berpura-pura? Pikiran Vivian pun terus berkecamuk.Sadar diri, Thomas beranjak, membiarkan Vivian dan Robert berdua saja.Tetapi, secara mengejutkan