Tiara mengerjapkan matanya saat merasakan tangan mungil menepuk pipinya. Alena tertawa senang memperlihatkan giginya saat Tiara membuka mata, refleks Tiara ikut tersenyum juga, dia memeluk anak itu sejenak. Bohong kalau dibilang tidak menyayangi anak ini, lebih dari satu bulan dalam pengasuhannya, membuat rasa sayang itu tumbuh subur, tapi saat mengingat siapa anak ini hatinya tidak baik-baik saja. Bagaimnapun dia hanya wanita biasa yang tidak ingin berbagi apapun dengan wanita lain, apalagi yang dikorbankan disini adalah kasih sayang seorang ayah untuk anak-anaknya. Dia tidak bisa menerima semua ini. “Ibu baik-baik saja, tumben bangunnya siang.” Senyum yang terulas di bibir Tiara langsung memudar saat mendengar suara sang suami. Tadi malam seingatnya Farhan yang meminum obat tidur tapii kenapa dia yang bangun kesiangan. “Aku hanya capek,” kata Tiara datar. Yah capek hati dan pikiran. “Ini sudah jam berapa?” Mata Tiara langsung membulat saat jarum jam sudah menunjukkan angka
“Ini bukan salahmu, jangan konyol.” “Tetap saja andai aku tidak mengatakannya kamu pasti tidak akan melakukan hal ini.” “Dan membuatku terus saja dibodohi, tidak terima kasih.” “Sepertinya kamu sudah menduga hasil dari test ini.” “Sebenarnya aku berharap dugaanku salah,” suara lirih Tiara yang penuh dengan kesakitan mengundang tatapan kasihan dari Keysa. Tiara berdecak kesal. “Jangan menatapku seperti itu, aku tidak suka dikasihani.” “Maafkan aku, tapi apa kamu tahu penampilanmu saat ini sungguh mengenaskan,” ejek Keysa. Tiara menatap kesal pada Keysa lalu mengambil ponselnya dan melihat pantulan wajahnya di ponsel itu. “Apa yang salah tidak ada noda di wajahku dan bajuku juga tidak aneh.” “Bukan itu maksudku, kurasa penampilanmu bahkan lebih pucat dari pada mayat, di mana temanku yang cantik dan membuat banyak laki-laki bertekuk lutut,” kata keysa dengan judes. Bersahabat sejak SMA membuat keduanya seperti saudara, bahkan Keysalah tempat satu-satunya bagi Tiara untuk bercer
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat Tiara menginjakkan kakinya di rumah mertuanya. “Mau jemput anak-anak ya mbak?’ sapa bi Tati, asisten rumah tangga di rumah ibu mertuanya ini. “iya, Bi. Di mana mereka?” tanya Tiara. “Di kamar mas Fariz, Mbak barusan pulang mereka mungkin sedang mandi.” Tiara mengangguk dan memberikan bungkusan pudding buah kesukaan mertuanya. Langkah kaki Tiara langsung terhenti begitu dia menginjakkan kaki di ruang tengah, anak-anaknya ada di sana dan tentu saja bersama Fariz. Fariz sedang duduk memangku Araz yang terlihat mengantuk tapi masih ingin bermain dengan kakak dan pamannya, tangan Fariz kadang menepuk pantat Araz, sambil sesekali mengoreksi Arkan yang sebuah mobil-mobilan dari kardus bekas. Arkan dan Araz tentu saja memiliki banyak mainan mobil-mobilan di rumah bahkan beberapa juga dibawa kerumah ini, tapi yang Tiara bicarakan bukan mainan itu, tapi kebersamaan mereka yang pernuh kasih sayang seolah Fariz adalah ayah kandungnya, bukan
“Karena kamu lebih memilih sibuk dengan orang lain dari pada menjemput anak dan istrimu,” kata Fariz dengan tak kalah sinis. “Apa kamu bilang.” Dengan suara rendah dan dingin Farhan melangkah maju dan mendekati adiknya dengan rasa marah yang berkobar, bahkan Alena yang terlelap dalam gendongan Farhan tak mampu menahan langkah laki-laki itu. “Tunggu.” Tiara langsung mengambil Alena dari gendongan Farhan, mengajak kedua anaknya untuk masuk ke dalam rumah. “Aku masuk dulu, silahkan lanjutkan percakapan penuh cinta kalian jika aku dan anak-anak sudah di dalam.” Sambil menggendong Alena yang sudah terlelap, Tiara memberi isyarat pada Araz untuk turun dari gendongan pamannya dan masuk ke dalam rumah. “Jangan ikut campur urusan keluargaku.” Sayup-sayup masih bisa Tiara dengan perkataan pedas Farhan pada adiknya. Dia menoleh pada kedua anaknya yang sesekali menoleh dengan penasaran pada paman dan ayahnya yang masih di luar. “Kalian segera bersihkan diri, sebentar lagi ibu menyusul setel
Tiara membolak-balik kertas hasil ulangan muridnya. Matanya sesekali melirik pada Alena yang sedang mencorat-coret buku dengan crayon yang dia berikan. Sore ini memang sedikit tak biasa, ada senyum manis di bibirnya. Tentu saja alasan yang membuatnya tersenyum adalah dua orang anak manusia berbeda usia yang sedang berusaha keras untuk mengajari anak berusia lima tahun menaiki sepeda roda dua pertamanya. Hal yang sederhana memang, tapi apa lagi yang dapat membuat seorang ibu tersenyum kalau bukan karena melihat kebahagiaan putranya. "Ibu! aku bisa naik sepeda!" teriak Araz kesenangan, satu tangannya melambai pada sang ibu yang menatap mereka. Tapi... Brukk! Astaga! Tiara spontan berlari meninggalkan semua pekerjaannya di meja dan juga... Alena. "Kamu baik-baik saja, Nak, mana yang sakit?" tanya Tiara dengan panik, saat mendapati Araz terjungkal dari sepedanya. "Sakit, Bu!" rengek anak itu, tapi tangan Tiara yang akan membantu Araz bangun di tahan oleh Farhan. "Kamu jaga Alen
Udara dingin malam ini serasa membekukan seluruh tubuhnya, nafasnya begitu sesak seakan ada benda besar yang menghimpit tubuhnya. Tiara menoleh pada orang yang sedang tertidur lelap disampingnya. Tangan Farhan memelukanya dengan erat, tapi bukannya merasa hangat dan nyaman seperti sebelumnya, Tiara malah merasa seperti terlilit ular berbisa. Sepuluh tahun mereka me ngarungi rumah tangga bersama, ada suka dan duka yang telah mereka lalui. Farhan yang selalu menunjukkan rasa sayang dan cinta padanya ternyata telah mendua. Tiara mengingat-ingat lagi, apa selama ini ada keanehan dalam diri suaminya, nyatanya sejauh yang dia ingat semuanya berjalan seperti biasa, beberapa kali memang Farhan melakukan perjalanan ke luar kota atau lembur di kantor, tapi Tiara selalu memastikan kalau suaminya memang benar-benar bekerja, bukan sedang selingkuh. Tatapan mata Tiara menerawang pada langit-langit kamar, hatinya terlalu kalut untuk sekedar mengeluarkan air mata, rasa marah dan kecewa yang beg
Sudah tiga hari ini Farhan bekerja lembur. Jangankan untuk bertemu anak-anak, Tiara saja bahkan sudah tidur saat sang suami pulang. Keinginan untuk mencerca Farhan tentang hasil test itu juga tidak terlaksana, karena di pagi hari saat Tiara membuat Sarapan, tanpa diminta lagi Farhan langsung menyiapkan anak-anak, yang Tiara maksud anak-anak itu termasuk Arkan dan Araz juga. "Kamu itu aneh suamimu tidak memperhatikan anakmu kamu marah, dia perhatian kamu malah curiga," kata Keysa saat datang berkunjung ke rumah Tiara sore ini selepas bekerja, sedangkan anak-anak masih bermain bersama mbak Sri di halaman belakang."Dia sudah pernah berkhianat, dan setelah test DNA itu keluar kenapa dia kumat lagi pulang malam." Keysa menegakkan tubuhnya, tapi tangannya tak lepas memeluk keripik pisang buatan Tiara dan menatap Tiara dengan pandangan menyelidik. "Apa sih sebenarnya maumu?" Tiara mengehela napas. "Tentu saja hidup bahagia dengan suami yang setia dan perhatian pada anak." "Dan kamu
“Dia mengkhianatiku dan membuatku harus merawat anak hasil pengkhianatannya.” Tiara mengatakannya dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca, luka itu telah membuat hatinya membeku dan tidak merasakan sakit lagi dan dia masih tetap berada di rumah ini dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja tentu saja untuk... sebuah tujuan. “Apa menurutmu aku tidak sakit hati dan marah. Tentu aku marah, ingin mengamuk rasanya, apalagi saat melihat mas Farhan yang seolah dia tidak melakukan kesalahan apapun, bukankah itu artinya dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya.” Keysa masih diam, Tiara memang bukan wanita pendiam, tapi juga bukan orang yang bisa mengungkapkan isi hatinya dengan gamblang seperti sekarang. “Bagiku hukuman terbesar seseorang yang salah bukan hukuman penjara atau denda, tapi rasa bersalah dan penyesalan itu sendiri, dan aku akan membuat mas Farhan merasakannya.” Kali ini Keysa menegakkan tubuhnya, dia meraih tangan Tiara yang mengepal dengan erat, udara panas memenuhi