Share

Sebuah Foto

Ruangan itu sudah seperti kapal pecah. 

 

Buku-buku berserakan di mana-mana, baju, botol parfum semuanya sudah tak pada tempatnya, dan sepertinya keadaan ini belum cukup kacau karena dari lemari pakaian mash berhamburan baju-baju. 

 

“Aku yakin itu ada di sini kenapa sekarang tak ada?” 

Disekanya peluh yang telah membanjiri keningnya dengan tangan yang kotor terkena debu di tangannya, membuat wajahnya yang putih bersih ternoda. 

 

Tiara terduduk di ranjang kamarnya menatap nanar semua kekacauan yang telah dia buat.

 

Kotak itu tak ada. 

 

Padahal dia sangat yakin beberapa hari yang lalu melihatnya di dalam almari. 

 

Apa Farhan memindahkannya? Tapi kenapa? 

 

Tiara menarik napas panjang, bertanya pada Farhan bukan opsi yang akan dia pilih, laki-laki itu sangat protektif pada kotak itu. 

 

Di mana lagi tempat yang bisa digunakan Farhan untuk menyembunyikan kotak itu? tidak mungkin dibawa ke kantor? 

 

Tiara sedikit terkejut saat  melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dia harus bergegas, sebentar lagi Farhan pasti akan masuk ke kamar ini dan dia tidak mau ada kecurigaan. 

 

Dengan cepat Tiara merapikan kembali baju-baju yang sudah dia hamburkan keluar danmeletakkan aneka kosmetiknya pada tempat semula, tepat saat Tiara telah menyelesaikan semuanya, pintu kamar terbuka dan Farhan menatap sang istri yang bermandi keringat dengan muka coreng moreng karena debu dengan wajah keheranan. 

 

“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya. 

 

Tiara langsung menoleh saat merasakan suaminya menarik tangannya untuk berdiri dan menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. 

 

“Ada apa? Kamu mencari sesuatu, mungkin aku bisa membantumu?” tanya sang suami dengan lembut, yang bagi Tiara seperti cara sang suami untuk mengetahui apa yang sedang dia lakukan.

 

“Aku berpikir untuk membersihkan kamar ini, tapi tidak sadar kalau sudah selama ini, kenapa mas lama sekali  untuk menidurkan Alena.” 

 

“Maaf aku tadi ke ruang kerja sebentar, ada beberapa dokumen yang harus aku kerjakan.”

 

Ah ruang kerja suaminya, kenapa Tiara tidak mencoba mencari di sana. 

 

“Baiklah aku bersih-bersih dulu, apa mas ingin dibuatkan sesuatu, teh atau kopi?” 

 

“Air putih saja, aku akan tidur setelah ini, kecuali kamu punya alasan supaya aku tidak tidur dulu,” kata sang suami sambil mengedipkan matanya dengan genit. 

 

Berumah tangga selama sepuluh tahun tentu saja Tiara sudah sangat hapal dengan apa maksud suaminya, tapi tentu saja hari ini dia sama sekali tidak berkeinginan untuk melakukan itu, tidak sebelum hatinya yakin. 

 

Tiara hanya tersenyum datar dan melangkah keluar kamar, tapi sebelum kakinya sempurna di luar kamar, Farhan memanggil namanya membuat Tiara langsung menoleh. 

 

“Aku mencintaimu, hanya kamu, soal anak-anak aku juga sangat menyayanginya, mungkin cara menyayangi kita berbeda. Maaf jika keinginanku memiliki anak perempuan membuat kamu kesulitan.” 

 

Tiara berdiri termangu sejenak. Apa dia harus percaya apa yang diucapkan suaminya? 

 

Tanpa menjawab apapun, Tiara keluar dari kamar dan menuju kamar mandi yang ada di luar kamar, sengaja memang dia lakukan untuk menghindari Farhan dan jika memungkin untuk... memeriksa ruang kerja. 

 

Tiara sengaja berlama-lama di kamar mandi untuk menghindari Farhan. Rasa penasaran akan kotak itu membuatnya memutar otak bagaimana menggeledah rumah ini tanpa sepengetahuan suaminya, memang dia bisa melakukannya saat suaminya pergi bekerja tapi itu berarti dua hari lagi karena besok suaminya akan libur bekerja. dan tentu saja Tiara yang memiliki kesabaran setipis tisu untuk masalah ini tak bisa lagi menunggu. 

 

“Apa iya aku harus memberi obat tidur pada minuman mas Farhan,” gumam Tiara sambil  menatap pantulan dirinya di dalam cermin kamar mandi. 

 

Kakinya melangkah bolak-balik dengan gelisah, menimbang baik buruknya apa yang akan dia lakukan. 

 

“Sepertinya memang aku harus memberinya obat tidur,” gumam Tiara saat memperhatikan kamarnya yang tidak tertutup rapat. 

 

Farhan memang meminta air putih saja, tapi Tiara menyadari kalau itu akan membuat obat yang diberikan ketahuan jadi Tiara memutuskan untuk membuat segelas teh manis.

 

“Maafkan aku Tuhan, aku hanya ingin tahu kebenarannya,” gumam Tiara sambil memejamkan matanya dan memasukkan bubuk obat tidur yang telah dia siapkan. 

 

Dengan menghela napas panjang dan berusaha semuanya bak-baik saja dia membawa dua buah cangkir teh dan membawa ke kamarnya. 

 

“Ini minumlah,”kata Tiara memberikan satu cangkir teh yang telah dia bubuhi obat tidur pada sang suami. 

 

“Teh? Bukankah tadi aku minta air putih/” tanya Farhan sambil mengangkat alisnya. 

 

Tiara berusaha tersenyum, tangannya memegang cangkir dalam genggamannya dengan erat. Ini kejahatan pertama  yang dia lakukan dan sasarannya adalah suaminya sendiri, sebagai seorang guru yang biasa mendidik murid-muridnya untuk berkelakuan baik tentu hal ini snagat bertentangan dengan hati nuraninya. Saking gugupnya Tiara bahkan langsung meminum teh yang masih mengepulkan uap panas itu dan membuat lidahnya panas terbakar. 

 

“Ini masih panas, biar aku ambilkan alas gelas, tunggu sebentar jangan diminum dulu.” 

 

Tiara mendudukkan tubuhnya dengan lemas di pinggir ranjang, sungguh ternyata tidak mudah melakukan kejahatan. 

 

“Ini, minumlah... pelan-pelan saja,” kata farhan. 

 

Tiara menerima alas gelas yang telah berisi cairan teh yang masih mengepulkan asap itu dan dia menghembuskan napas lega saat Farhan mengambil dari gelas milik Tiara sendiri. 

 

“Aku sedikit masuk angin makanya aku buatkan teh panas, mas juga harus minum teh ini supaya tak masuk angin.” 

 

Dalam hati Tiara berdo’a dengan sungguh-sungguh supaya suaranya tidak bergetar saat mengatakannya. 

Farhan mengangguk dan meminum teh dari cangkirnya sendiri. Tiara tanpa sadar menahan napasnya. 

 

Satu menit dua menit belum terlihat reaksinya. 

 

 Tiara mengambil ponselnya dan pura-pura memainkannya sambil menunggu sang suami tertidur lelap. 

 

 

"Mas," panggilnya pelan, saat Farhan sudah memejamkan matanya. 

 

 

sekali lagi digoyangkan tubuh sang suami, saat yakin obat itu. 

 

Dengan langkah pelan Tiara keluar kamar dan tempat yang dia tuju tentu saja ruang kerja suaminya. 

 

Laci meja, almari tidak luput dari sasarannya, hanya satu laci yang terkunci dan itu malah membuat Tiara makin curiga.

 

"Di mana mas Farhan meletakkan kuncinya." 

 

Tak habis akal Tiara berusaha menggeledah lagi laci di atas dan di bawahnya, sebuah anak kunci tersembunyi  di bagian paling dalam laci teratas, dengan dada berdebar Tiara membuka laci itu, tapi hatinya langsung kecewa saat hanya dokumen pekerjaan saja yang ada di sana. 

 

Tak putus asa Tiara kembali menggeledah seluruh ruangan dan akhirnya di sudut dalam almari dia menemukan kotak yang dicarinya. 

 

kotak yang terbuat dari kayu berukuran sedang, Tiara hampir saja bersorak saat mendapati kotak itu sama sekali tak terkunci. 

 

"Ini." 

Tangannya bergetar saat menyentuh foto gadis kecil yang ada di sana. 

 

"Itu alasanmu begitu menyayanginya dan pasti bukan kebetulan saja anak yang diletakkan di depan rumah ini mirip dengan mendiang adikmu," gumam Tiara berusaha menahan tangisnya. 

 

Tangannya meremas saku piyamanya, yang berisi rambut Farhan dan Alena. 

 

"Aku akan buktikan kecurigaanku." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status