Tiara langsung mengusap air mata yang nekad jatuh di pipinya, dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka.
Ini rumah mertuanya dan dia datang ke sini untuk membantu acara, bukan mendekam dalam kamar untuk menangis.
Harum bau kue langsung menyebar begitu Tiara membuka pintu kamar, dan mendapati ibu mertuanya sedang duduk di meja panjang di ruang tengah dengan berbagai kotak kue yang sepertinya baru datang.
“Apa yang bisa Tiara bantu, Bu?”
“Kamu istirahat saja kalau masih lelah, farhan bilang kamu tidak enak badan.”
Tiara menggeleng dengan pelan, bukan badannya yang sakit tapi hati dan jiwanya.
“Tiara baik-baik saja, Bu.”
Tiara langsung menundukkan kepalanya saat pandangan ibu mertuanya yang terkesan lembut tapi tegas seolah menelanjanginya.
“Kamu pasti kesulitan dengan anak itu.”
“Mas Farhan?”
“Yah dia juga, tapi maksudku adalah anak yang kalian temukan itu.”
“Alena maksud ibu, ehm... tidak sebenarnya dia anak yang manis.”
“Benarkah? Tapi ibu tidak ingin membuat anak itu membuat hubungan kalian renggang.”
Tiara langsung meletakkan kembali kue yang dia tata dan menatap ibu mertuanya dengan seksama, apa pertengkaran mereka tadi terdengar dengan jelas.
Astaga, jika iya dia benar-benar sangat malu sekarang, syukurlah letak dapur tempat semua orang berkumpul di bagian belakang rumah.
“Bu...”
“Anak itu memang ditemukan di depan rumah kalian, tapi kalian sama sekali tidak memiliki tanggung jawab untuk merawatnya, kamu bisa menyerahkannya pada panti asuhan atau siapapun yang benar-benar menginginkannya.”
Tiara terkejut dengan perkataan ibu mertuanya, dia pikir ibu mertuanya menyayangi Alena, meski dia tidak pernah melihat memperhatikan Alena seperti kedua anaknya, tapi bagi Tiara itu wajar apalagi mereka baru kenal.
“Kenapa ibu bilang begitu, bukankah ibu tahu kalau mas Farhan sangat menginginkan anak perempuan.”
“Itu hanya obsesi tak masuk akal Farhan saja untuk menghilangkan rasa bersalahnya.”
Tiara berusa mencerna ucapan ibu mertuanya, dia memang sudah mendengar tentang adik perempuan suaminya yang meninggal saat masih berusia belia, tapi dia tidak pernah bertanya kenapa dia meninggal, juga ibu mertuanya tak pernah mengungkit masalah itu.
“Apa maksud ibu?” tanya Tiara tak mengerti.
Sang ibu menghela napas panjang. “Fira meninggal karena kecelakaan, waktu itu dia pulang sendiri dari sekolah, padahal ibu sudah meminta Farhan untuk menjemput adiknya, tapi dia malah main bersama temannya, dan membiarkan Fira pulang sendiri.”
“Ibu menyalahkannya yang lebih memprioritaskan bermain dari pada adiknya, tanpa ibu tahu dia juga sangat menyesali perbuatannya, mungkin dengan memiliki anak perempuan dia merasa bisa melihat Fira lagi, mungkin kamu sudah melihat foto Fira, wajahnya sangat mirip dengan kedua kakaknya.”
Tiara menggeleng, dia belum pernah melihat wajah Fira tidak ada foto anak perempuan yang terpajang di rumah ini. “Saya belum pernah melihat foto Fira, di foto keluarga juga tidak ada.”
“Eh, Farhan membawa semuanya ke rumah kalian setelah menikah denganmu, ibu kira kamu yang menyimpannya, jadi ibu tidak bertanya.”
“Ah sepertinya dia memang sempat bicara tentang kotak miliknya tapi Tiara tak pernah melihat isinya, mungkin di sana.”
Sang ibu hanya mengangguk, setelah itu dia mengalihkan perhatian Tiara dengan berbagai kue yang dia pesan membuat suasana menjadi cair.
Tiara sangat tidak sabar untuk pulang dan membuka kotak milik suaminya itu. bahkan dia menolak ketika menginap ketika sang ibu mertua memintanya.
“Biasanya kamu suka sekali menginap di rumah ibu, bahkan sampai aku pernah berpikir seharusnya dulu kita numpang saja di rumah ibu tidak usah beli rumah,” canda Farhan sambil membawa beberapa buah tangan untuk di masukkan ke dalam mobil.
“Aku hanya tidak ingin merepotkan saja,” jawab Tiara lempeng.
Dan tentu saja alasan dia ingin sampai di rumah bukan itu, bahkan Arka dan Araz terpaksa dia tinggal di sini karena dua anaknya itu ngotot ingin bermain dengan paman Fariznya, Tiara sama sekali tidak khawatir meninggalkan anak-anak di rumah mertuanya, karena tahu kalau semua orang yang ada di rumah ini sangat menyayangi dan memperhatikan kedua anaknya itu juga alasan suka sekali di rumah ibu mertuanya.
“Ibu tidak akan merasa seperti itu, kamu itu menantu kesayangannya.”
“Tentu saja, hanya aku menantui beliau satu-satunya karena fariz belum menikah,” jawab Tiara sambil tersenyum.
Kali ini dia sudah bertekad, tidak akan menjerumuskan hatinya sendiri dalam kesedihan dan keputusasaan.
Jika memang suaminya menyimpan rahasia apapun dia bertekad untuk menemukannya, meski tanpa bantuan yang bersangkutan.
Konyol sekali jika sang suami berpikir waktu akan membuat Tiara kebal dengan rasa sakit yang akan dia dapatkan jika memang benar Alena anak kandung suaminya dengan wanita lain.
Dia tidak ingin menjadi orang bodoh yang tidak tahu apa-apa, sedangkan di belakang sana sang suami menertawakan kebodohannya itu bersama ... wanita lain.
“Alena sudah tidur, mbak?” tanya sang suami pada bak Sri yang masih setia menggendong anak anak angkatnya, ini memang jamnya si mbak untuk pulang, tapi karena ada acara ini terpaksa ditunda.
“Sudah pak, sejak tadi.” dan seperti biasa sang suami menanyakan tentang keseharian Alena saat dia tidak berada di dekatnya dna mbak Sri menjawab dengan lugas, jadi Tiara tidak perlu bersusah payah untuk menjawab.
Saat tiba di halaman rumah, Tiara langsung membawa masuk semua bawang bawaan yang dia bawa tadi siang, karena dia yakin suaminya akan lebih memilih mengambil Alena dari mbak Sri dan membiarkan wanita itu untuk pulang.
“Kamu tidak mau menemani Alena dulu?”
Langkah kaki Tiara yang akan masuk kamar langsun berhenti begitu mendengar pertanyaan itu. “Bukankah mas biasanya yang menemaninya?”
“Aku juga akan menemaninya tentu saja, tapi dia pasti akan lebih suka kalau ayah dan ibunya menemaninya, lagi pula aku belum tahu bagaimana cara menyeka badan bayi, dia pasti tak nyaman tidur dengan badan kotor.”
Tiara tak menjawab dia lalu melanjutkan langkahnya, menaruh semua barang bawaannya dan mencuci tangan untuk mengambil alih Alena dari tangan sang suami.
“Perhatikan bagaimana aku melakukannya,” Kata Tiara tegas.
Farhan hanya mengangguk dan memperhatikan Tiara menyeka tubuh Alena, memakaikan bedak dan minyak telon lalu memakaikan piayamanya, mungkin karena terlalu lelah anak itu sama sekali tidak bangun dari tidurnya.
Sejenak Tiara menatap wajah lelap itu dengan perasaan campur aduk, dia tidak ingin memusuhi anak ini, tapi hatinya ragu apa akan baik-baik saja kalau semua dugaannya benar.
“Mulai sekarang mas harus bisa merawat Alena juga, aku punya dua anak yang harus aku perhatikan juga.”
“Apa maksudmu, dua anak yang kamu maksud itu juga anakku,” kata Farhan sedikit tak terima.
“Benar,itu fakta yang tidak bisa kamu bantah, meski sekarang mas punya anak perempuan yang sangat mas inginkan, jangan lupa untuk menyayangi dan memperhatikan mereka juga, paling tidak satu hal kecil. apa mas hari ini sudah menyapa mereka?”
Tiara hanya tersenyum sinis saat Farhan terlihat gelagapan, seharian ini bahkan Tiara yakin Farhan belum bertemu kedua anaknya.
“Mulai sekarang jika mas masih seperti ini, sebaiknya mas urus saja Alena dan aku akan mengurus kedua anakku sendiri, aku tidak mau mereka nantinya kurang kasih sayang dari orang tuanya, hanya karena mereka bukan anak perempuan.”
Tiara langsung meninggalkan suaminya yang masih belum mampu mengatakan apapun, tapi dia sama sekali tak peduli, ada hal yang lebih penting yang harus dia lakukan untuk membuktikan kecurigaannya.
Ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Buku-buku berserakan di mana-mana, baju, botol parfum semuanya sudah tak pada tempatnya, dan sepertinya keadaan ini belum cukup kacau karena dari lemari pakaian mash berhamburan baju-baju. “Aku yakin itu ada di sini kenapa sekarang tak ada?” Disekanya peluh yang telah membanjiri keningnya dengan tangan yang kotor terkena debu di tangannya, membuat wajahnya yang putih bersih ternoda. Tiara terduduk di ranjang kamarnya menatap nanar semua kekacauan yang telah dia buat.Kotak itu tak ada. Padahal dia sangat yakin beberapa hari yang lalu melihatnya di dalam almari. Apa Farhan memindahkannya? Tapi kenapa? Tiara menarik napas panjang, bertanya pada Farhan bukan opsi yang akan dia pilih, laki-laki itu sangat protektif pada kotak itu. Di mana lagi tempat yang bisa digunakan Farhan untuk menyembunyikan kotak itu? tidak mungkin dibawa ke kantor? Tiara sedikit terkejut saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dia harus berge
Tiara mengerjapkan matanya saat merasakan tangan mungil menepuk pipinya. Alena tertawa senang memperlihatkan giginya saat Tiara membuka mata, refleks Tiara ikut tersenyum juga, dia memeluk anak itu sejenak. Bohong kalau dibilang tidak menyayangi anak ini, lebih dari satu bulan dalam pengasuhannya, membuat rasa sayang itu tumbuh subur, tapi saat mengingat siapa anak ini hatinya tidak baik-baik saja. Bagaimnapun dia hanya wanita biasa yang tidak ingin berbagi apapun dengan wanita lain, apalagi yang dikorbankan disini adalah kasih sayang seorang ayah untuk anak-anaknya. Dia tidak bisa menerima semua ini. “Ibu baik-baik saja, tumben bangunnya siang.” Senyum yang terulas di bibir Tiara langsung memudar saat mendengar suara sang suami. Tadi malam seingatnya Farhan yang meminum obat tidur tapii kenapa dia yang bangun kesiangan. “Aku hanya capek,” kata Tiara datar. Yah capek hati dan pikiran. “Ini sudah jam berapa?” Mata Tiara langsung membulat saat jarum jam sudah menunjukkan angka
“Ini bukan salahmu, jangan konyol.” “Tetap saja andai aku tidak mengatakannya kamu pasti tidak akan melakukan hal ini.” “Dan membuatku terus saja dibodohi, tidak terima kasih.” “Sepertinya kamu sudah menduga hasil dari test ini.” “Sebenarnya aku berharap dugaanku salah,” suara lirih Tiara yang penuh dengan kesakitan mengundang tatapan kasihan dari Keysa. Tiara berdecak kesal. “Jangan menatapku seperti itu, aku tidak suka dikasihani.” “Maafkan aku, tapi apa kamu tahu penampilanmu saat ini sungguh mengenaskan,” ejek Keysa. Tiara menatap kesal pada Keysa lalu mengambil ponselnya dan melihat pantulan wajahnya di ponsel itu. “Apa yang salah tidak ada noda di wajahku dan bajuku juga tidak aneh.” “Bukan itu maksudku, kurasa penampilanmu bahkan lebih pucat dari pada mayat, di mana temanku yang cantik dan membuat banyak laki-laki bertekuk lutut,” kata keysa dengan judes. Bersahabat sejak SMA membuat keduanya seperti saudara, bahkan Keysalah tempat satu-satunya bagi Tiara untuk bercer
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat Tiara menginjakkan kakinya di rumah mertuanya. “Mau jemput anak-anak ya mbak?’ sapa bi Tati, asisten rumah tangga di rumah ibu mertuanya ini. “iya, Bi. Di mana mereka?” tanya Tiara. “Di kamar mas Fariz, Mbak barusan pulang mereka mungkin sedang mandi.” Tiara mengangguk dan memberikan bungkusan pudding buah kesukaan mertuanya. Langkah kaki Tiara langsung terhenti begitu dia menginjakkan kaki di ruang tengah, anak-anaknya ada di sana dan tentu saja bersama Fariz. Fariz sedang duduk memangku Araz yang terlihat mengantuk tapi masih ingin bermain dengan kakak dan pamannya, tangan Fariz kadang menepuk pantat Araz, sambil sesekali mengoreksi Arkan yang sebuah mobil-mobilan dari kardus bekas. Arkan dan Araz tentu saja memiliki banyak mainan mobil-mobilan di rumah bahkan beberapa juga dibawa kerumah ini, tapi yang Tiara bicarakan bukan mainan itu, tapi kebersamaan mereka yang pernuh kasih sayang seolah Fariz adalah ayah kandungnya, bukan
“Karena kamu lebih memilih sibuk dengan orang lain dari pada menjemput anak dan istrimu,” kata Fariz dengan tak kalah sinis. “Apa kamu bilang.” Dengan suara rendah dan dingin Farhan melangkah maju dan mendekati adiknya dengan rasa marah yang berkobar, bahkan Alena yang terlelap dalam gendongan Farhan tak mampu menahan langkah laki-laki itu. “Tunggu.” Tiara langsung mengambil Alena dari gendongan Farhan, mengajak kedua anaknya untuk masuk ke dalam rumah. “Aku masuk dulu, silahkan lanjutkan percakapan penuh cinta kalian jika aku dan anak-anak sudah di dalam.” Sambil menggendong Alena yang sudah terlelap, Tiara memberi isyarat pada Araz untuk turun dari gendongan pamannya dan masuk ke dalam rumah. “Jangan ikut campur urusan keluargaku.” Sayup-sayup masih bisa Tiara dengan perkataan pedas Farhan pada adiknya. Dia menoleh pada kedua anaknya yang sesekali menoleh dengan penasaran pada paman dan ayahnya yang masih di luar. “Kalian segera bersihkan diri, sebentar lagi ibu menyusul setel
Tiara membolak-balik kertas hasil ulangan muridnya. Matanya sesekali melirik pada Alena yang sedang mencorat-coret buku dengan crayon yang dia berikan. Sore ini memang sedikit tak biasa, ada senyum manis di bibirnya. Tentu saja alasan yang membuatnya tersenyum adalah dua orang anak manusia berbeda usia yang sedang berusaha keras untuk mengajari anak berusia lima tahun menaiki sepeda roda dua pertamanya. Hal yang sederhana memang, tapi apa lagi yang dapat membuat seorang ibu tersenyum kalau bukan karena melihat kebahagiaan putranya. "Ibu! aku bisa naik sepeda!" teriak Araz kesenangan, satu tangannya melambai pada sang ibu yang menatap mereka. Tapi... Brukk! Astaga! Tiara spontan berlari meninggalkan semua pekerjaannya di meja dan juga... Alena. "Kamu baik-baik saja, Nak, mana yang sakit?" tanya Tiara dengan panik, saat mendapati Araz terjungkal dari sepedanya. "Sakit, Bu!" rengek anak itu, tapi tangan Tiara yang akan membantu Araz bangun di tahan oleh Farhan. "Kamu jaga Alen
Udara dingin malam ini serasa membekukan seluruh tubuhnya, nafasnya begitu sesak seakan ada benda besar yang menghimpit tubuhnya. Tiara menoleh pada orang yang sedang tertidur lelap disampingnya. Tangan Farhan memelukanya dengan erat, tapi bukannya merasa hangat dan nyaman seperti sebelumnya, Tiara malah merasa seperti terlilit ular berbisa. Sepuluh tahun mereka me ngarungi rumah tangga bersama, ada suka dan duka yang telah mereka lalui. Farhan yang selalu menunjukkan rasa sayang dan cinta padanya ternyata telah mendua. Tiara mengingat-ingat lagi, apa selama ini ada keanehan dalam diri suaminya, nyatanya sejauh yang dia ingat semuanya berjalan seperti biasa, beberapa kali memang Farhan melakukan perjalanan ke luar kota atau lembur di kantor, tapi Tiara selalu memastikan kalau suaminya memang benar-benar bekerja, bukan sedang selingkuh. Tatapan mata Tiara menerawang pada langit-langit kamar, hatinya terlalu kalut untuk sekedar mengeluarkan air mata, rasa marah dan kecewa yang beg
Sudah tiga hari ini Farhan bekerja lembur. Jangankan untuk bertemu anak-anak, Tiara saja bahkan sudah tidur saat sang suami pulang. Keinginan untuk mencerca Farhan tentang hasil test itu juga tidak terlaksana, karena di pagi hari saat Tiara membuat Sarapan, tanpa diminta lagi Farhan langsung menyiapkan anak-anak, yang Tiara maksud anak-anak itu termasuk Arkan dan Araz juga. "Kamu itu aneh suamimu tidak memperhatikan anakmu kamu marah, dia perhatian kamu malah curiga," kata Keysa saat datang berkunjung ke rumah Tiara sore ini selepas bekerja, sedangkan anak-anak masih bermain bersama mbak Sri di halaman belakang."Dia sudah pernah berkhianat, dan setelah test DNA itu keluar kenapa dia kumat lagi pulang malam." Keysa menegakkan tubuhnya, tapi tangannya tak lepas memeluk keripik pisang buatan Tiara dan menatap Tiara dengan pandangan menyelidik. "Apa sih sebenarnya maumu?" Tiara mengehela napas. "Tentu saja hidup bahagia dengan suami yang setia dan perhatian pada anak." "Dan kamu