"Aaaaa." Teriak Diani sesaat sebelum dia tidak sadarkan diri.
Orang-orang di sekitar segera berkerumun untuk mengetahui kondisi dan menyelamatkan Diani serta Bayi mungilnya. Salah satu dari mereka mengambil Sang Bayi yang menangis keras, tergeletak di samping Diani.
Beruntung tidak ada luka serius pada Sang Bayi karena Diani berusaha melindungi tubuh mungilnya dari kecelakaan naas yang baru saja menimpanya.
Alvin segera turun dari mobil untuk melihat kondisi orang yang baru saja ditabrak olehnya. Kejadian itu begitu tiba-tiba, membuat Dia tidak bisa menghindari kejadian malang yang menimpa Diani dan Bayinya.
Kecelakaan itu bukan sepenuhnya salah Alvin. Banyak yang melihat Diani tampak melamun dengan tatapan kosong sesaat sebelum tertabrak oleh Alvin.
Alvin dengan segera menelepon kenalannya yang memiliki sebuah Rumah Sakit ternama di Ibukota. “Halo Frans, cepat kirimkan ambulan ke sini! Aku akan mengirimkan lokasinya.”
Tidak berselang lama, dua orang Polisi lalu lintas datang dan menghampiri Alvin. "Kamu harus ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai keterangan!" perintah salah satu polisi.
Alvin menyodorkan kartu namanya kepada polisi tersebut. "Maaf Pak, saya rasa kita harus ke rumah sakit terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi mereka,” ujarnya melihat sebuah ambulan yang sudah sampai di lokasi kejadian.
Polisi itu kaget saat melihat kartu nama Alvin. Di kartu nama itu tertulis sebuah nama perusahaan besar dan jabatan Alvin.
Polisi itu kemudian memperlihatkan kartu nama itu kepada rekan polisinya yang lain. "Pak, apa Bapak tahu Presiden Direktur K&B Grup? Coba browsing siapa Presdir perusahaan K&B Grup!" perintahnya ke polisi yang lain.
"Sepertinya memang Dia Pak, coba Bapak lihat!" balas Polisi yang lain menyodorkan foto Presdir K&B Grup hasil dari browsing yang terpampang dengan jelas di HPnya.
Setelah mengamati situasinya, Polisi itupun menyetujui usulan Alvin setelah sebelumnya meminta keterangan dari beberapa saksi yang melihat persis kejadian kecelakaan itu.
Kerumunan mulai membubarkan diri setelah Alvin dan Polisi mengikuti ambulan beriringan menuju Rumah Sakit meninggalkan tempat kejadian.
Di Rumah Sakit,
"Bagaimana keadaan mereka berdua?" tanya Alvin kepada Frans.
"Wanita itu belum sadarkan diri kemungkinan terbesarnya karena syok. Luka-luka Wanita itu beberapa hari lagi juga akan pulih, sedangkan Sang Bayi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," balas Frans.
"Apa kamu yakin dengan hal itu?"
"Apa kamu meragukan kemampuanku?"
"Aku hanya bertanya, kenapa kamu nyolot seperti itu?" Alvin mengumpat.
Frans tidak menghiraukan, kemudian mendekati kedua polisi yang mengikuti Alvin."Pak Polisi … Rumah sakit kami akan memastikan kondisi mereka berdua baik-baik saja, seperti sedia kala," kata Frans.
"Baiklah …,” balas Pak Polisi
“Pak Alvin, kami akan menunggu laporan dari Pak Alvin atau Pengacara Bapak. Untuk Sang Bayi, kami harap Pak Alvin dapat merawatnya terlebih dahulu sebelum ibunya tersadar.” Dua polisi itu kemudian berlalu pergi.
"Baik Pak," jawab Alvin.
"Tolong pastikan wanita itu selamat dan rawatlah Bayi itu terlebih dahulu!" perintah Alvin kepada Frans tanpa rasa berdosa, hendak melangkah pergi. Tetapi, Frans menarik kerah baju Alvin, tidak membiarkannya begitu saja.
"Perawat, tolong bawa Bayi itu kemari, segera berikan pada orang ini!" perintah Frans kepada Perawat.
Perawatpun memberikan Sang Bayi kepada Alvin.
Alvin secara reflek menerima Sang Bayi sementara Frans dan Perawat bergegas pergi meninggalkannya yang masih bengong dengan kejadian singkat itu.
Alvin tersadar ditangannya kini ada seorang Bayi mungil nan lucu. "Frans ... Frans ... mau kemana? Ini Bayinya. Harus diapakan? Frans? Woyyy …," teriaknya.
Frans tidak menghiraukan dan hanya terkekeh mendengar ocehan Alvin.
"Sial ,,, Bagaimana Seorang Presiden Direktur sepertiku bisa merawat Bayi? takdir memang begitu kejam," gerutu Alvin kesal.
Alvin dengan terpaksa menggendong Bayi menuju ke tempat mobilnya terparkir sambil memandangi Bayi yang tersenyum kepadanya.
"Kenapa tersenyum Bayi? Kamu senang melihatku menderita?" umpat Alvin kepada Sang Bayi.
Seolah mengerti sedang diumpat oleh Alvin, Bayi itu tiba-tiba cemberut, sesenggukan, menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan tangis.
"Eh ... Bayi, kenapa Kamu? Mau menangis ya? Menangis saja sana!" Alvin mengumpat dan menggerutu tidak jelas, dongkol karena tiba-tiba harus menangani seorang bayi.
"Oak ... oak ... oak" suara tangisan Bayi meledak, membuat orang-orang di lobi memandang ke arahnya.
"Eh, beneran menangis ... Cup ... cup ... cup ... Berhentilah menangis Bayi! Aku hanya bercanda. Cup ... cup ... cup.” Alvin dengan tingkah lucu menenangkan dan menghibur Sang Bayi, tidak menghiraukan orang-orang di sekitarnya.
Bayi itu kembali tersenyum senang dan ceria, membuat Alvin tersenyum kecut, "Bayi sialan."
"Oak ... oak ... oak" Bayi itu kembali menangis.
"Cup ... cup ... cup Bayi sayang. Bercanda Kok ... cup.. cup... cup," hibur Alvin lagi kepada Sang Bayi dengan wajah dan tingkah anehnya. Dan yang lebih aneh, Bayi itu kembali ceria dan tertawa gembira dengan pipi yang merona setelah Alvin menghiburnya.
"Huh, dasar Bayi aneh," gumam Alvin.
"Oak ... oak ... oak," tangis Sang Bayi kembali meledak.
"Bercanda," ucap Alvin dengan wajah datar tanpa ekspresi. Bayi itupun kembali diam dengan senyum manisnya.
"Ahaha," tawa Sang Bayi.
“Bayi ini sangat aneh, kenapa menangis jika aku mengumpatinya? Apa dia mendengar dan mengetahui perkataanku?” batin Alvin.
Di kediaman Alvin.
Alvin sampai di rumah dan memberikan Sang Bayi kepada Bi Rahmi, Pelayan di rumahnya. Bayi itu ternyata bernama Bagas, tertulis di sebuah kalung yang ada di lehernya.
Rumah Alvin yang sangat besar tidak dapat mencegahnya untuk terus mendengar suara tangisan Bagas. Bi Rahmi tidak bisa menghibur dan menangkan Bagas.
"Bi ... Bibi … kenapa Bagas terus menangis?" Alvin mendatangi Bi Rahmi.
Bagas yang melihat Alvin, menjadi tenang dan tidak lagi menangis. Alvin dan Bi Rahmi tersenyum kecut melihat tingkah Bagas yang menangis dan berhenti semaunya.
"A ... anu Tuan, Bibi tidak pernah berurusan dengan Bayi. Bayi ini juga sangat aneh, Bibi sudah berusaha menghiburnya seperti Para Ibu yang menghibur Bayi Mereka yang pernah Bibi lihat, tetapi, tetap saja Bagas terus menangis."
Alvin menganggukkan kepala, membenarkan apa yang Bi Rahmi sampaikan bahwa Bagas memang aneh.
"Bawa saja Bagas ke ruang kerjaku! sepertinya, Bagas berhenti menangis jika berada di dekatku. Huh,,, merepotkan saja," desah Alvin.
"Ahaha," Bagas tertawa senang, seolah mengerti apa yang diperintahkan Alvin kepada Bi Rahmi.
Alvin sampai di ruang kerja pribadi yang ada di rumahnya, di susul oleh Bi Rahmi yang mengikuti di belakangnya.
"Letakkan saja Bagas di sofa!" perintah Alvin.
Bi Rahmipun mendudukkan Bagas di sofa yang cukup panjang yang terletak di depan meja kerja Alvin.
Alvin kemudian menyuruh Bi Rahmi untuk membeli perlengkapan Bayi. Bi Rahmi yang tidak pernah memiliki seorang anak, tidak tahu harus membeli apa saja untuk kebutuhan bayi.
Alvin dibuat semakin geram tidak hanya oleh Bagas tetapi juga Bi Rahmi. Dia browsing di internet tentang kebutuhan bayi dan memberikan catatan yang harus Bi Rahmi beli sesuai dengan petunjuk yang ada di laptop di meja kerjanya. "Kepalaku bisa pecah jika terus begini."
Benih cinta terus muncul diantara Alvin dan Diani. Mereka terus mendekatkan diri sehingga mulai saling mencintai. Ayah dan ibu Alvin yang mendukung hubungan mereka akhirnya menyuruh Alvin untuk menikahi Diani. Namun, halangan dan masalah terus muncul sehingga hubungan Alvin dan Diani dilanda kerusakan. Suseno juga terus membuat ulah agar hubungan Alvin dan Diani tidak berjalan lancar. Dengan kelicikannya dia terus membuat hubungan Alvin dan Diani renggang. Alvin yang mencintai Diani tidak diam saja melihat kelicikan Suseno. Dia terus menyelesaikan masalah-masalah yang dibuat oleh Suseno. Namun, Diani masih berpikir untuk menikah dengan Alvin. "Alvin, ibu ingin kamu merekrut Diani menjadi sekretarismu." Ibu Alvin menyuruhnya agar hubungan Alvin dan Diani semakin dekat. Jika Diani menjadi sekretaris Alvin, Diani akan sering bertemu dengannya dan cinta akan tumbuh kembali. "Baik bu, Alvin akan membicarakannya dengan Diani." Alvin yang mengetahui ibunya ingin mendekatkan diriny
Pak Jaya bukan orang yang begitu saja membiarkan putranya mendapatkan pasangan seenaknya. Dia bahkan telah secara detail mengetahui latar belakang dan asal usul Diani."Tapi Pih, Mamih sangat menyukai Diani dan Bagas. Alvin harus membawanya kembali atau Papih jangan wariskan apapun kepadanya, untuk amal saja semua harta Papih.""Tampaknya harus seperti itu, Alvin benar-benar sangat cemen terhadap wanita," balas Pak Jaya.Bu Karina hanya melotot ke arah Pak Jaya."Kenapa Mamih melotot ke Papih?" tanya Pak Jaya."Alvin cemen karena mengikuti sifat Papih," balas Bu Karina mengingat kembali masa lalu.Pak Jaya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Benar, Papih dulu tidak berani mengatakan perasaan Papih kepada Mamih. Kalau bukan Mamih terlebih dahulu yang mengatakannya, Papih mungkin hanya bisa gigit jari, tidak pernah mengungkapkannya, Papih benar-benar Pemalu.""Untung Mamih memberanikan diri, kalau tidak Mamih akan menyesal seumur hidup jika tidak terlebih dahulu mengungkapkannya kepa
Di sisi lain, setelah merasa puas dengan foto-fotonya, Nanda kembali pergi dari dekat rumah yang sekarang menjadi milik Diani.Diani, Bagas, dan Alvin juga kembali ke rumah setelah puas melihat-lihat rumah baru Diani. Diani begitu kagum dan baru pernah merasakan sesenang itu mendapatkan sebuah hadiah yang sangat mewah dan mahal baginya.Saat malam harinya, Alvin mengetuk pintu kamar Diani. "Apa Kamu sudah tidur?"Diani membuka pintu kamarnya. "Mas Alvin ... ada apa Mas?""Izinkan Aku tidur di kamarmu," ucap Alvin tanpa malu.Diani berpikir sejenak, selama ini Mereka tidur satu kamar dan menjaga dirinya masing-masing."Baik Mas, tapi kamarku sedikit berantakan."Diani membolehkannya, menganggap itu malam terakhir Alvin dapat tertidur dengan pulas bersama dengan Bagas."Aku tidak akan tidur dan memandangi wajahmu sampai puas," batin Alvin.Malam itu, Alvin benar-benar tidak tidur. Dia memiringkan tubuhnya dengan tangan menahan kepala memandangi wajah Diani yang tertidur pulas. Jika saja
"Apa yang telah Mas Alvin sadari? Aku melihat kehidupan Mas Alvin sangat enak," tanya Diani masih penasaran.Mereka berdua duduk di tepi pantai memandangi lautan lepas."Aku harus memikirkan nasib puluhan ribu karyawan sama seperti Ayahku dulu, dan itu membuatku sedikit frustasi dan terus memikirkan pekerjaan," balas Alvin."Jika Aku begitu jenuh, Aku akan pergi ke sini, mengingat masa lalu sebelum menanggung beban berat pekerjaanku," lanjut Alvin."Ayu Kita bermain air dan lupakan sejenak tentang beban berat yang Mas Alvin tanggung! Kita sedang sedikit refresing di sini."Diani meminta Bagas dari Alvin, berlari kecil ke arah ombak air. Alvin hanya mengikutinya dari belakang."Kenapa Kamu ingin meninggalkan rumahku? Keberadaan Kalian juga telah membuatku melupakan beban berat yang Aku rasakan," gumam Alvin memandangi punggung Diani.Diani menyipratkan air ke Alvin membuat Dia tidak Terima dengan hal itu. Dia akan berganti melakukan hal itu kepada Diani, tetapi mengurungkan niatnya kar
Diani kembali mengendap-endap menuju ke dapur untuk memasak makanan malam bersama Bi Rahmi.Alvin membuka mata, bangun dari pura-pura tidur mengamati Diani yang mengendap-endap, "Dia benar-benar malu Aku melihatnya, apa perlu Aku melakukan hal yang sama agar impas?""Hadehhh ... apa yang ada di pikiranku, sejak bersama janda cantik sepertinya, Aku yang polos menjadi sedikit liar," lanjut Alvin bergumam.Diani seolah menghindar dari Alvin. begitupun dengan Alvin yang tidak mau Diani kehilangan muka jika berhadapan dengannya. Dia mulai sedikit mengerti tentang wanita.Keesokan harinya, Diani terpaksa menghadap Alvin untuk meminta izin ke Restoran."Aku akan mengantarmu," balas Alvin seperti sangat bersemangat setelah Diani meminta izin darinya."Mas Alvin harus berangkat kerja, Aku sendiri saja bersama Bagas.""Aku tidak akan masuk Kantor beberapa hari ini," jawab Alvin."Tapi Mas ... ""Tidak ada tapi-tapian." Alvin menarik tangan Diani menuju mobil dan sedikit memaksanya masuk ke mobi
"Asal Dianiku yang ini juga mendapatkan rumah, itu sudah cukup bagiku. Terimakasih atas bantuanmu, jika Restoranmu ingin melebarkan sayap lebih banyak ke luar Negeri, jangan sungkan untuk meminta bantuan apapun dariku." lanjut Alvin."Tidak, tidak. Aku tidak memerlukan apapun dari Tuan Alvin, tidak perlu sungkan dan berterimakasih, Restoran Kami senang melakukannya. Bahkan, Kami kemungkinan akan mengadakan acara serupa di kemudian hari karena ini ide yang bagus untuk lebih memperkenalkan nama Restoran Kami di kalangan masyarakat lebih luas lagi.""Apa yang harus Aku lakukan berikutnya? Apa Aku akan memberinya mobil? Apa Aku minta saja seseorang membuat kompetisi bayi yang lucu?" gumam Alvin setelah mematikan teleponnya.Sesampainya di rumah, Diani memberitahukan hal itu ke Alvin."Mas, Aku tadi mengikuti sebuah kompetisi memasak dan mendapatkan hadiah rumah, Aku juga akan segera mendapatkan pekerjaan. Aku akan segera keluar dari sini Mas," ucap Diani ke Alvin."Hadiah rumah dan pekerj