Pak Aryan menatap putrinya dengan mata yang penuh kelembutan, meskipun di balik itu ada ketegasan seorang ayah yang ingin putrinya kuat."Brisa, dengarkan Papa baik-baik," suaranya berat dan dalam. "Menunda bukanlah jawaban. Kamu harus menghadapi ini, Nak. Sagara berhak tahu kebenarannya."Brisa menggeleng, air matanya semakin deras. "Tapi, Pa, dia tidak mau mendengar. Dia pergi begitu saja. Bagaimana kalau dia benar-benar membenci aku? Bagaimana kalau dia tidak akan pernah memaafkan aku?"Bu Tara, yang sejak tadi hanya terdiam dengan wajah penuh kesedihan, akhirnya ikut berbicara. Suaranya lembut, tapi penuh kepedihan."Kalau Sagara benar-benar mencintaimu, dia akan kembali, tapi kamu juga harus berusaha. Jangan biarkan dia terus salah paham seperti ini."Brisa menggigit bibirnya, menahan isakan yang semakin mengguncang tubuhnya. Ia tahu ibunya benar, tapi luka yang ditinggalkan Sagara begitu dalam. Cara pria itu menatapnya tadi seolah Brisa adalah pengkhianat paling keji yang pernah
"Pak Sagara, ada masalah di area pemancangan tiang," seorang insinyur muda menghampirinya dengan wajah cemas. Sagara langsung kembali ke mode profesionalnya. "Apa yang terjadi?" "Salah satu tiang pancang tidak sejajar dengan yang lain. Jika dipaksakan, struktur di atasnya bisa tidak stabil." Sagara mengangguk, segera berjalan ke arah lokasi yang dimaksud. Ketika tiba di sana, ia melihat beberapa pekerja tengah berdiskusi dengan nada serius. Salah satu insinyur proyek menunjukkan diagram struktur di tabletnya, sementara para pekerja mencoba mencari solusi terbaik. Sagara mengambil tablet itu dan memeriksa diagramnya dengan seksama. Setelah beberapa saat, ia menginstruksikan untuk memperbaiki posisi tiang pancang dengan penyesuaian kemiringan kecil pada bagian dasarnya. "Pastikan ini dilakukan dengan presisi. Kalau perlu, gunakan alat pemindah tiang agar tidak merusak pondasi di sekitarnya." Para pekerja mengangguk dan segera bekerja. Sagara mengawasi mereka sejenak, memasti
Brisa menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam untuk pecah. Ia sudah berusaha kuat, mencoba untuk tetap tegar. Tapi bagaimana ia bisa bertahan jika orang yang paling ia cintai bahkan tidak mau memberinya kesempatan untuk berbicara? Sagara benar-benar mengabaikannya. Seolah ia tidak ada artinya. Seolah semua yang mereka lalui bersama hanyalah sesuatu yang mudah dilupakan. Brisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur perasaannya, tapi semakin ia berusaha, semakin dadanya terasa sesak. Air matanya akhirnya jatuh. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya terguncang oleh isakan yang ia coba redam. "Kenapa kamu seperti ini, Sagara?" bisiknya, suaranya pecah. "Kenapa kamu tidak mau mendengarkan aku?" Ia menunggu dan menunggu, tapi ponselnya tetap diam. Tak ada panggilan masuk. Tak ada pesan baru. Hanya layar yang memantulkan wajahnya yang penuh dengan air mata. Brisa mengeratkan genggaman pada ponselnya, rasa sakit di hatinya semakin dalam
Bella memainkan sendok di tangannya, seakan mencari cara untuk meredam emosi yang mulai muncul. "Dia bilang ingin bertemu. Dia ingin meminta maaf. Dia ingin kembali. Bahkan, dia ingin menikahiku."Sagara terdiam sesaat, mencerna kata-kata Bella. "Dan apa jawabanmu?"Bella menegakkan punggungnya, menatap Sagara dengan penuh keyakinan. "Aku menolak."Sagara mengangkat alis. "Kenapa?"Bella tertawa kecil, namun terdengar getir. "Sagara, kau serius bertanya seperti itu? Aku tidak bisa kembali padanya setelah semua yang dia lakukan padaku."Sagara menghela napas, melipat tangannya di atas meja. "Aku tahu dia telah menyakitimu, Bella. Aku juga tahu betapa sulitnya bagimu untuk memaafkannya, tapi jika dia benar-benar ingin berubah dan bertanggung jawab, apakah tidak ada sedikit pun pertimbangan darimu?"Bella menggeleng. "Aku tidak butuh seseorang yang hanya datang ketika dia merasa siap. Aku tidak butuh permintaan maaf setelah semua luka yang dia tinggalkan. Apa yang dia lakukan dulu tidak
Bella menajamkan pandangannya. "Masalah apa? Kau bisa cerita padaku." Sagara menatap lurus ke depan, matanya kosong. "Anak yang dikandung Brisa bukan anakku." Bella terdiam seketika. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha memastikan bahwa ia tidak salah dengar. "Apa?" Sagara mengangguk perlahan, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. "Brisa telah mengkhianatiku, Bella. Dia berselingkuh dengan pria lain, dan sekarang dia mengandung anaknya." Bella membeku. Sagara tertawa kecil, tetapi suaranya terdengar pahit. "Aku percaya padanya sepenuh hati. Aku tidak pernah membayangkan bahwa dia akan melakukan hal seperti ini kepadaku dan apa yang kamu katakan dulu ternyata benar." Bella masih berusaha mencerna semuanya. "Aku kira itu hanya dugaanku saja, tapi tak kusangka dugaanku benar. Apa kau yakin? Apa Brisa mengaku sendiri?" Sagara mengangguk. "Dia mengaku. Aku bisa melihatnya di matanya, Bella. Dia tidak bisa menyangkal lagi." Bella merasa sesak. "Tapi kenapa? Ken
Bella yang duduk di sampingnya memperhatikan ekspresi kaget di wajah sepupunya. "Sagara? Ada apa?" Sagara tidak langsung menjawab. Ia membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari celah, sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini hanyalah kebohongan Brisa belaka, tapi jika Brisa berkata jujur… Tidak. Ini terlalu absurd. "Sagara!" Bella menggoyangkan lengannya, memaksanya kembali ke dunia nyata. Sagara mengangkat wajahnya, menatap Bella dengan mata kosong. "Tidak ada apa-apa." Sagara menyandarkan punggungnya ke bangku taman dan memijat pelipisnya. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang cepat menghampiri mereka. "Sialan kau, Bella!" Sagara dan Bella sama-sama menoleh. Seorang pria dengan wajah marah berdiri di depan mereka. Rahangnya mengeras, tatapannya penuh emosi yang berkecamuk. Bella terkejut. "Reno?" Pria bernama Reno itu menatap Bella dengan penuh amarah. "Jadi ini alasannya kenapa kau menolakku? Karena kau sudah punya pria lain?" Bella mengerutkan ken
Minggu pagi di taman kota terasa begitu damai. Matahari masih enggan menampakkan diri sepenuhnya, sinarnya yang keemasan menerobos celah-celah dedaunan, menciptakan bayangan yang bergerak perlahan di atas tanah. Udara masih segar, bercampur dengan aroma embun yang menempel di rumput dan pohon-pohon rindang di sekelilingnya. Sagara duduk di bangku kayu, tangannya bertumpu pada paha, kepalanya sedikit menunduk. Ia tidak terburu-buru, menikmati suasana pagi yang masih sepi. Sesekali, ia mengamati orang-orang yang mulai berdatangan ke taman—sepasang lansia yang berjalan santai, seorang ibu yang mendorong stroller bayinya, anak-anak yang berlarian kecil sambil tertawa. Namun, pikirannya tetap tertuju pada satu hal. Semalam, ia sudah merenungkan semuanya. Ia sudah memikirkan setiap kemungkinan, setiap konsekuensi, dan akhirnya ia mengambil keputusan. Sagara menarik napas dalam, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya sebelum ia mengembuskannya perlahan. Pikirannya masih dipenuhi ol
Namun, Sagara tidak peduli.Tangannya mencengkeram keras tanah di bawahnya, berusaha tetap sadar. Tidak. Ia tidak boleh pingsan di sini. Tidak di jalanan sepi ini, tidak dengan Reno yang masih berdiri di sana. Perlahan, ia mencoba mengangkat wajahnya. Napasnya berat, tetapi matanya tetap menatap Reno dengan dingin. “Kenapa harus sejauh ini?” gumam Sagara, suaranya serak, hampir tak terdengar. Reno menggigit bibirnya. Pisau di tangannya masih berkilat dalam cahaya pagi, ujungnya berlumuran darah. “Aku tidak punya pilihan,” jawabnya dengan nada yang tidak sepenuhnya meyakinkan. Sagara tertawa pendek, meski suara itu lebih mirip desahan lemah. “Pilihan? Kau selalu punya pilihan, Reno.” Reno menggenggam erat pisaunya, tangannya bergetar. Ia melangkah mundur, seakan ragu dengan apa yang baru saja ia lakukan. “Aku hanya aku tidak mau Bella ada di dekatmu. Kau selalu membuatnya ragu. Aku ingin dia memilihku, bukan kau.” Sagara menggeleng pelan. Rasa sakit di perutnya semakin menus
Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi
Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan
“Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m
Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha
Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,
Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b
Tiga minggu sebelum hari perkiraan lahir, Brisa mengalami kontraksi palsu. Brian panik luar biasa. Ia membawa Brisa ke rumah sakit padahal ternyata hanya Braxton Hicks.“Aku kira dia mau lahir,” gumamnya di mobil sambil menyeka keringat.Brisa tertawa kecil. “Tenang, Brian. Masih ada waktu.”“Kalau kamu tahu rasanya jantungku waktu kamu bilang ‘sakitnya beda’ tadi rasanya kayak disetrum.”Brisa tertawa lagi, tapi kali ini lebih hangat. “Kamu panik tapi lucu.”Brian meliriknya. “Tuh, akhirnya kamu bilang aku lucu juga.”Brisa menutup mulutnya, malu, tapi senyum itu tak bisa disembunyikan.***Hari kelahiran pun tiba. Pagi hari, air ketuban Brisa pecah. Brian yang mengantar ke rumah sakit dengan tangan gemetar. Ia menelepon bibi Brisa, mengurus administrasi, menenangkan Brisa, bahkan menyempatkan diri memotret momen-momen penting.Saat Brisa berteriak kesakitan dalam proses persalinan, Brian memegang tangannya erat. “Kamu bisa, Brisa. Kamu kuat. Aku di sini.”Empat jam kemudian, tangisa
Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah kecil Brisa di Osaka terasa jauh lebih hangat. Brian memutuskan tinggal di Jepang untuk sementara waktu. Ia membantu Brisa ke rumah sakit, ikut senam kehamilan, bahkan mulai belajar memasak masakan Jepang sederhana dari bibinya Brisa. Suatu sore, ketika matahari hampir terbenam dan sakura berguguran pelan, Brian duduk di beranda rumah dengan Brisa bersandar di bahunya. "Kurasa kita akan baik-baik saja," bisik Brisa. "Aku tahu kita akan baik-baik saja," jawab Brian. "Karena sekarang, aku punya segalanya. Kamu. Anak kita." Brisa menutup mata, tersenyum pelan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa damai.***Minggu-minggu berikutnya menjadi perjalanan yang tak mudah bagi Brian. Meskipun Brisa telah memaafkannya dan memberinya tempat dalam hidup sebagai ayah dari anak yang mereka kandung bersama, bukan berarti hatinya langsung terbuka untuk cinta yang baru. Brian mengerti itu, tapi bukan berarti ia menyerah.Ia bangun le
Brisa terlihat seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang yang menyimpan begitu banyak perasaan. Kerinduan. Luka. Bingung. Cinta. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang karena aku harus memberitahumu sesuatu," jawab Brian lembut. "Sesuatu yang sangat penting." Brisa mundur selangkah, ragu. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang kini membulat. Brian melihat itu dan hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin menyentuh perut itu. Ingin menyentuh nyawa kecil di dalamnya—anak mereka. "Brisa, anak yang kamu kandung itu adalah anakku," ucap Brian akhirnya. Brisa terdiam. Seolah kata-kata itu butuh waktu lama untuk diproses dalam kepalanya. "Apa maksudmu?" tanyanya perlahan, keningnya mengerut bingung. "Brian, kamu bilang anak ini anakmu?" "Iya. Anak itu anakku." "Tapi bagaimana bisa? Ini hasil inseminasi buatan. Aku tidak pernah...." Brisa tidak bisa melanjutkan. Ia menatap Brian dengan