Brisa dan Sagara saling berpandangan, keheningan di antara mereka begitu pekat. Pernyataan Pak Raditya barusan masih menggantung di udara, menggetarkan hati Brisa.
"Bolehkah kami diberi waktu untuk lebih saling mengenal?" pinta Brisa, suaranya lirih namun penuh keteguhan. Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain. Mereka tahu, memaksakan kehendak bukanlah jawabannya. "Tentu saja, Nak," ujar Pak Raditya akhirnya. "Kami hanya berharap, kalian bisa segera mengambil keputusan yang terbaik." Brisa mengangguk pelan. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, meskipun kebimbangan tetap menyelimutinya. Setelah makan siang usai, Brisa dan Sagara menyendiri di sudut ruangan, duduk berseberangan. "Terima kasih!" Suara Sagara terdengar begitu tulus. "Terima kasih karena sudah mau menerima perjodohan ini." Brisa tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi tanya. "Aku juga senang bisa mengenalmu lebih dekat." Sagara menatapnya, sorot matanya dalam dan hangat. "Brisa, aku ingin kau tahu sesuatu." Ia menelan ludah, seolah mengumpulkan keberanian. "Sejak pertama kali bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta dan saat tahu bahwa gadis yang dijodohkan denganku adalah kamu, aku merasa seperti mendapat hadiah terindah dari Tuhan." Brisa terdiam. Dadanya bergetar hebat. Ia tidak menyangka Sagara akan begitu terbuka mengungkapkan perasaannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin percaya, ingin membalas perasaan itu, tapi ada juga ketakutan yang menghantuinya. *** Sinar matahari pagi menyelinap ke dalam kamar Brisa, membelai lembut wajahnya yang masih dipenuhi kegelisahan. Ivana datang, langsung menariknya ke dalam pelukan hangat. "Jadi, bagaimana pertemuanmu dengan calon tunanganmu?" tanya Ivana penuh semangat, matanya berbinar-binar. Brisa tersenyum tipis, tapi tatapan matanya menyiratkan kebingungan. "Sulit dijelaskan," katanya pelan. "Dia sangat berbeda dari bayanganku." Ivana duduk di tepi ranjang, menatap sahabatnya lekat. "Maksudmu?" Brisa menarik napas panjang, berusaha meredakan gejolak di hatinya. "Ternyata dia adalah pria yang pernah kutemui di taman kota kemarin." Mata Ivana membesar. "Serius? Dunia ini benar-benar kecil!" Brisa mengangguk. "Aku bingung, Van. Aku menyukainya, dia pria baik, tapi di sisi lain, aku tidak bisa begitu saja mengabaikan impianku dan yang lebih berat lagi...." Suaranya melemah. "Aku sedang hamil." Ivana menggenggam tangan Brisa erat. "Brisa, semua akan baik-baik saja. Kita akan mencari jalan keluar bersama." Brisa menunduk, hatinya terasa sesak. "Aku takut. Aku takut kalau Sagara tahu tentang kehamilanku, dia akan membenciku. Mungkin dia akan mengira aku berbohong tentang inseminasi buatan itu." Ivana menggeleng. "Dari caramu bercerita tentangnya, Sagara bukan tipe pria yang mudah menghakimi. Aku yakin dia akan mengerti." Brisa tetap diam, pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang menyakitkan. "Tapi bagaimana dengan impian kita untuk kuliah di Inggris?" Suaranya lirih, hampir seperti bisikan. Ivana menatapnya dengan penuh simpati. "Brisa, aku tahu ini berat. Mungkin kamu harus menunda rencana itu dulu, tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Kamu masih bisa mengejarnya nanti, setelah anakmu lahir." Brisa menggeleng cepat. "Aku tidak ingin berbohong pada Sagara, Van. Aku tidak ingin menyesal karena menyembunyikan kebenaran darinya." Ivana menghela napas panjang. "Kalau begitu, kamu harus mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya. Pelan-pelan, Brisa." Brisa menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa beruntung memiliki Ivana di sisinya, seseorang yang selalu mengerti dan mendukungnya, meski dunia terasa begitu rumit. Tanpa berkata apa-apa, Brisa meraih Ivana ke dalam pelukan erat. Dalam hatinya, ia berdoa agar semua ini berakhir dengan baik. *** Cahaya matahari siang menembus jendela ruang kerja dokter Angga, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu yang dingin. Ruangan itu sunyi, terlalu sunyi, seolah ikut menahan napas bersamanya. Ia duduk di kursi kerjanya, tangannya gemetar, jemarinya mencengkeram erat tabung kecil kosong yang terasa begitu berat di genggamannya. Nama Mattheo tertera jelas di labelnya, menghantam kesadarannya seperti pukulan telak. Matanya membulat sempurna. Tubuhnya membeku. Napasnya terasa tertahan di tenggorokan. Sejak mengundurkan diri dari rumah sakit, doker Angga memilih mengurung diri di rumah, tenggelam dalam rencana untuk segera pindah keluar kota, meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengingatkannya pada kesalahan fatal yang kini menghantui setiap detik hidupnya. Prosedur inseminasi buatan itu seharusnya berjalan lancar. Seharusnya pasangan suami istri yang begitu lama mendambakan buah hati kini tengah menanti keajaiban dengan penuh harapan, tapi semua itu hancur hanya karena satu kesalahan. Dokter Angga mengingat dengan jelas saat ia berdiri di hadapan lemari penyimpanan, tangannya terulur untuk mengambil tabung sperma yang sudah dijadwalkan. Di sana, berdiri dua tabung hampir identik, hanya berbeda beberapa huruf di labelnya: Theo dan Mattheo. Dalam keadaan terburu-buru, tanpa berpikir panjang, ia mengambil tabung yang salah. Hatinya mencelos. Pak Theo, pria baik hati dan sabar yang telah lama menjadi pasiennya. Selama bertahun-tahun, ia dan istrinya berjuang untuk memiliki anak, tapi takdir berkata lain. Satu bulan yang lalu, istri Pak Theo datang dengan kabar duka—suaminya telah meninggal dunia. Namun, sebelum kepergiannya, ia telah meninggalkan satu harapan terakhir, yaitu sperma yang disimpannya di bank sperma, demi anak yang tak sempat mereka miliki saat ia masih hidup. Dan kini, dokter Angga menyadari satu hal yang lebih mengerikan dari kesalahannya, yaitu wanita yang ia suntikkan sperma itu bukan istri Pak Theo. Ia bahkan tidak tahu siapa wanita itu. Jantungnya berdegup semakin kencang. Tubuhnya terasa kaku.Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi
Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan
“Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m
Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha
Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,
Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b
Tiga minggu sebelum hari perkiraan lahir, Brisa mengalami kontraksi palsu. Brian panik luar biasa. Ia membawa Brisa ke rumah sakit padahal ternyata hanya Braxton Hicks.“Aku kira dia mau lahir,” gumamnya di mobil sambil menyeka keringat.Brisa tertawa kecil. “Tenang, Brian. Masih ada waktu.”“Kalau kamu tahu rasanya jantungku waktu kamu bilang ‘sakitnya beda’ tadi rasanya kayak disetrum.”Brisa tertawa lagi, tapi kali ini lebih hangat. “Kamu panik tapi lucu.”Brian meliriknya. “Tuh, akhirnya kamu bilang aku lucu juga.”Brisa menutup mulutnya, malu, tapi senyum itu tak bisa disembunyikan.***Hari kelahiran pun tiba. Pagi hari, air ketuban Brisa pecah. Brian yang mengantar ke rumah sakit dengan tangan gemetar. Ia menelepon bibi Brisa, mengurus administrasi, menenangkan Brisa, bahkan menyempatkan diri memotret momen-momen penting.Saat Brisa berteriak kesakitan dalam proses persalinan, Brian memegang tangannya erat. “Kamu bisa, Brisa. Kamu kuat. Aku di sini.”Empat jam kemudian, tangisa
Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah kecil Brisa di Osaka terasa jauh lebih hangat. Brian memutuskan tinggal di Jepang untuk sementara waktu. Ia membantu Brisa ke rumah sakit, ikut senam kehamilan, bahkan mulai belajar memasak masakan Jepang sederhana dari bibinya Brisa. Suatu sore, ketika matahari hampir terbenam dan sakura berguguran pelan, Brian duduk di beranda rumah dengan Brisa bersandar di bahunya. "Kurasa kita akan baik-baik saja," bisik Brisa. "Aku tahu kita akan baik-baik saja," jawab Brian. "Karena sekarang, aku punya segalanya. Kamu. Anak kita." Brisa menutup mata, tersenyum pelan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa damai.***Minggu-minggu berikutnya menjadi perjalanan yang tak mudah bagi Brian. Meskipun Brisa telah memaafkannya dan memberinya tempat dalam hidup sebagai ayah dari anak yang mereka kandung bersama, bukan berarti hatinya langsung terbuka untuk cinta yang baru. Brian mengerti itu, tapi bukan berarti ia menyerah.Ia bangun le
Brisa terlihat seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang yang menyimpan begitu banyak perasaan. Kerinduan. Luka. Bingung. Cinta. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang karena aku harus memberitahumu sesuatu," jawab Brian lembut. "Sesuatu yang sangat penting." Brisa mundur selangkah, ragu. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang kini membulat. Brian melihat itu dan hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin menyentuh perut itu. Ingin menyentuh nyawa kecil di dalamnya—anak mereka. "Brisa, anak yang kamu kandung itu adalah anakku," ucap Brian akhirnya. Brisa terdiam. Seolah kata-kata itu butuh waktu lama untuk diproses dalam kepalanya. "Apa maksudmu?" tanyanya perlahan, keningnya mengerut bingung. "Brian, kamu bilang anak ini anakmu?" "Iya. Anak itu anakku." "Tapi bagaimana bisa? Ini hasil inseminasi buatan. Aku tidak pernah...." Brisa tidak bisa melanjutkan. Ia menatap Brian dengan