Home / Romansa / Bayi Miliarder Yang Tak Terduga / Bab 7. Kekeliruan yang tak termaafkan

Share

Bab 7. Kekeliruan yang tak termaafkan

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-03-03 11:32:45

Sementara itu, Mattheo, pria yang namanya kini tertera pada tabung kosong di tangannya adalah seseorang yang tidak terlalu ia kenal secara pribadi. Yang ia tahu, pria itu adalah pejuang yang baru saja memenangkan pertarungannya melawan kanker darah. Sebelum menjalani pengobatan, Mattheo menyimpan spermanya di bank sperma, berjaga-jaga kalau terapi yang ia jalani akan membuatnya mandul.

Dan sekarang, pria itu tanpa sepengetahuannya telah menjadi ayah dari seorang anak yang bahkan tidak pernah ia rencanakan.

Tangan dokter Angga bergetar semakin hebat. Ia harus segera bertindak. Dengan napas memburu, ia meraih ponselnya dan mencari kontak Mattheo. Setelah menemukannya, jemarinya yang basah oleh keringat mulai mengetik pesan.

"Pak Mattheo, saya perlu bicara dengan Anda. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan."

Jantungnya berdebar kencang saat menunggu balasan. Waktu terasa berjalan lambat.

Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

"Ada apa, Dok? Ada masalah?"

Dokter Angga menelan ludah. Tangannya gemetar saat ia mulai mengetik balasan, setiap kata yang ditulisnya terasa seperti hukuman yang semakin menjeratnya.

"Pak Mattheo, saya telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Saya salah mengambil tabung sperma Anda. Seharusnya yang saya gunakan untuk seorang wanita yang saya kira istri Pak Theo adalah sperma Pak Theo, tapi ternyata itu sperma Anda. Sedangkan sperma Pak Theo masih tersimpan dengan baik di bank sperma. Saya sudah memeriksanya."

Dokter Angga menekan tombol kirim, lalu bersandar di kursinya dengan napas tersengal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia menunggu dan menunggu hingga akhirnya, ponselnya berdering.

Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal muncul di layar. Darah dokter Angga terasa membeku. Dengan tangan bergetar, ia mengangkatnya.

"Halo?" suaranya nyaris tak terdengar.

Hening sejenak. Lalu, suara di seberang terdengar. Dingin. Tegas. Penuh amarah.

"Dokter Angga?"

Dokter Angga menelan ludah. "P-Pak Mattheo, saya bisa menjelaskan—"

"Anda bisa menjelaskan?" Mattheo tertawa pendek, tapi tidak ada kehangatan dalam suara itu. Hanya kemarahan yang mendidih di bawah permukaannya. "Maaf, Dokter, tapi saya rasa tidak ada penjelasan yang cukup untuk ini."

Dokter Angga memejamkan mata.

"Anda tahu, Dok, bahwa ini bukan sekadar kesalahan kecil?" Suara Mattheo semakin tajam. "Ini hidup saya yang Anda hancurkan. Anda tahu apa artinya ini bagi saya?"

Dokter Angga terdiam, lidahnya kelu.

"Saya bisa menuntut Anda," lanjut Mattheo, nada suaranya berubah menjadi ancaman yang nyata. "Saya akan menuntut Anda, karena Anda telah menghancurkan hidup saya dengan cara yang bahkan tidak bisa saya bayangkan."

Dokter Angga mengeratkan genggamannya di ponsel, merasa seperti dunia yang ia kenal mulai runtuh di sekelilingnya.

Dokter Angga berusaha keras menenangkan napasnya yang memburu. Suaranya gemetar saat ia mencoba menjelaskan, "Pak Mattheo, saya... saya benar-benar minta maaf. Ini semua kesalahan saya. Saya tidak bermaksud...."

"Tidak bermaksud?" Mattheo memotong dengan suara tajam. "Apa gunanya itu sekarang, hah? Anda seorang dokter! Anda seharusnya lebih teliti!"

Dada Angga terasa semakin sesak, rasa bersalah menelannya bulat-bulat.

"Anda tahu tidak, betapa saya menginginkan anak?" suara Mattheo bergetar, kali ini bukan hanya karena amarah, tapi juga luka yang dalam. "Dan sekarang, karena kesalahan Anda, saya bahkan tidak tahu harus berbuat apa!"

Dokter Angga menutup mata sesaat, menelan kepahitan yang menggumpal di tenggorokannya.

"Saya akan bertanggung jawab," ucapnya dengan suara nyaris berbisik. "Apapun yang Anda minta akan saya lakukan."

Tawa pendek Mattheo terdengar dari seberang, sarkastik dan penuh kemarahan. "Anda pikir dengan begitu semuanya bisa selesai? Anda pikir ini hanya tentang tanggung jawab? Tidak semudah itu, Dokter."

Keheningan menggantung di antara mereka, tegang dan menyakitkan. Lalu, suara Mattheo terdengar lagi, lebih dingin, lebih tegas. "Saya ingin Anda mencari wanita itu."

Dokter Angga terhenyak.

"Cari tahu siapa dia! Temukan dia! Saya ingin tahu segalanya tentang wanita yang kini sedang mengandung anak saya tanpa pernah saya rencanakan."

Dada dokter Angga semakin sesak. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ini lebih buruk dari yang ia kira, tapi ia tidak punya pilihan.

Dengan suara nyaris tak terdengar, ia menjawab, "Saya... saya akan menemukannya."

Dan dengan itu, telepon terputus.

Hanya meninggalkan keheningan yang mencekam dan hidup yang tak akan pernah sama lagi.

Setelah percakapan dengan Mattheo berakhir, dokter Angga terduduk lemas di kursinya. Tangannya gemetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dadanya terasa sesak, seperti dihantam kenyataan yang begitu berat. Ia sudah menghancurkan kariernya sendiri dan lebih buruk lagi, ia telah menghancurkan hidup seseorang.

Tatapannya kosong, menerobos jendela ruang kerjanya yang kini terasa begitu sunyi. Rasa bersalah melilit hatinya, mencengkeramnya hingga hampir sulit bernapas.

Mattheo.

Suara pria itu masih terngiang di kepalanya penuh amarah, penuh luka. "Anda telah merusak hidup saya!"

Dan wanita itu siapa pun dia, tak tahu apa yang telah terjadi. Tak tahu bahwa dalam rahimnya, kini tumbuh kehidupan yang bukan bagian dari rencana siapa pun.

Dokter Angga menekan pelipisnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia harus menemukannya. Apapun yang terjadi, ia harus menepati janjinya pada Mattheo.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 111. Epilog. TAMAT.

    Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 110. Angin malam yang menyusup di antara dedaunan

    Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 109. Buku harian

    “Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 108. Penculikan

    Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 107. Tidak ada tempat untukku

    Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 106. Mama ingin kamu bahagia

    Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 105. Hari kelahiran

    Tiga minggu sebelum hari perkiraan lahir, Brisa mengalami kontraksi palsu. Brian panik luar biasa. Ia membawa Brisa ke rumah sakit padahal ternyata hanya Braxton Hicks.“Aku kira dia mau lahir,” gumamnya di mobil sambil menyeka keringat.Brisa tertawa kecil. “Tenang, Brian. Masih ada waktu.”“Kalau kamu tahu rasanya jantungku waktu kamu bilang ‘sakitnya beda’ tadi rasanya kayak disetrum.”Brisa tertawa lagi, tapi kali ini lebih hangat. “Kamu panik tapi lucu.”Brian meliriknya. “Tuh, akhirnya kamu bilang aku lucu juga.”Brisa menutup mulutnya, malu, tapi senyum itu tak bisa disembunyikan.***Hari kelahiran pun tiba. Pagi hari, air ketuban Brisa pecah. Brian yang mengantar ke rumah sakit dengan tangan gemetar. Ia menelepon bibi Brisa, mengurus administrasi, menenangkan Brisa, bahkan menyempatkan diri memotret momen-momen penting.Saat Brisa berteriak kesakitan dalam proses persalinan, Brian memegang tangannya erat. “Kamu bisa, Brisa. Kamu kuat. Aku di sini.”Empat jam kemudian, tangisa

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 104. Arsaka

    Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah kecil Brisa di Osaka terasa jauh lebih hangat. Brian memutuskan tinggal di Jepang untuk sementara waktu. Ia membantu Brisa ke rumah sakit, ikut senam kehamilan, bahkan mulai belajar memasak masakan Jepang sederhana dari bibinya Brisa. Suatu sore, ketika matahari hampir terbenam dan sakura berguguran pelan, Brian duduk di beranda rumah dengan Brisa bersandar di bahunya. "Kurasa kita akan baik-baik saja," bisik Brisa. "Aku tahu kita akan baik-baik saja," jawab Brian. "Karena sekarang, aku punya segalanya. Kamu. Anak kita." Brisa menutup mata, tersenyum pelan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa damai.***Minggu-minggu berikutnya menjadi perjalanan yang tak mudah bagi Brian. Meskipun Brisa telah memaafkannya dan memberinya tempat dalam hidup sebagai ayah dari anak yang mereka kandung bersama, bukan berarti hatinya langsung terbuka untuk cinta yang baru. Brian mengerti itu, tapi bukan berarti ia menyerah.Ia bangun le

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 103. Hatiku masih di masa lalu

    Brisa terlihat seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang yang menyimpan begitu banyak perasaan. Kerinduan. Luka. Bingung. Cinta. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang karena aku harus memberitahumu sesuatu," jawab Brian lembut. "Sesuatu yang sangat penting." Brisa mundur selangkah, ragu. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang kini membulat. Brian melihat itu dan hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin menyentuh perut itu. Ingin menyentuh nyawa kecil di dalamnya—anak mereka. "Brisa, anak yang kamu kandung itu adalah anakku," ucap Brian akhirnya. Brisa terdiam. Seolah kata-kata itu butuh waktu lama untuk diproses dalam kepalanya. "Apa maksudmu?" tanyanya perlahan, keningnya mengerut bingung. "Brian, kamu bilang anak ini anakmu?" "Iya. Anak itu anakku." "Tapi bagaimana bisa? Ini hasil inseminasi buatan. Aku tidak pernah...." Brisa tidak bisa melanjutkan. Ia menatap Brian dengan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status