Bab 2.
Udara di ruang kerja mewah itu terasa berat, sangat menyesakan. Di luar hujan perlahan turun, mengetuk lembut jendela besar namun di dalam badai sedang bergejolak. Arlan duduk di balik meja besarnya, ia menatap pria yang berdiri di hadapannya, pria yang dia panggil adiknya.
"Danial," Suara Arlan rendah, membelah keheningan seperti pisau tajam, "Aku butuh bantuanmu, ini bukan permintaan, ini perintah."
Danial yang lebih muda dan berwajah lebih lembut hanya berdiri disana, ia sudah terbiasa dengan nada memerintah Arlan.
"Danial, aku butuh bantuanmu untuk menghamili istriku."
Kata-kata itu menggantung di udara, dingin dan mengejutkan. Pikiran Danial kosong, ia pasti salah dengar.
"Hah?"
Danial tidak mengerti mengapa Arlan meminta permintaan yang begitu menyimpang? ini terdengar seperti lelucon yang mengerikan di telinganya.
Arlan melihat kebingungan di wajah Danial, "Tenang saja, kau tidak salah dengar, kamu akan tidur dengan istriku, kamu anak memberiku seorang anak. Anak itu akan menjadi milikku." ucap Arlan kembali ketika mendapati Danial yang terdiam karena syok.
"Tapi... kenapa aku harus melakukan hal aneh seperti itu?"
Arlan bersandar di kursinya, "Karena aku tidak bisa." Kata Arlan. Pengakuan itu sangat mahal untuknya. "Dokter sudah mengkonfirmasinya, aku tidak mampu mempunyai anak dan tanpa pewaris ayahku akan mencoret aku sepenuhnya, semuanya akan hilang."
Danial tersenyum miris, alasan yang terdengar sangat menjijikan.
"Tidak, aku tidak bisa melakukannya." Danial berdiri dari duduknya.
“Apa kamu sudah lupa statusmu?"
Pertanyaan menohok itu membuat Danial tersenyum kecut. Tentu dia tidak lupa statusnya yang hanya anak angkat dari keluarga Hutomo. Meski terkesan tidak miris tapi Danial menikmati itu. Menjadi bagian keluarga Hutomo yang kaya raya.
"Tentu aku ingat."
Wajah Arlan menggelap, ia tidak suka ditolak,"Kamu berhutang padaku," desis Arlan,"Jangan lupa siapa yang membawamu dari panti asuhan, siapa yang memberimu kehidupan? Pendidikan ini? Makanan ini? Itu semua aku! Aku meyakinkan ayahku untuk menerimamu, kamu tidak punya apa-apa tanpa aku dan aku bisa mengambil semuanya dalam sekejap." Ancaman itu jelas, Arlan mengingatkan Danial tentang tempatnya.
Arlan tau kelemahan Danial, mengubah rasa terima kasih menjadi senjata
"Seharusnya kamu tau caranya berterima kasih." Arlan menekan ucapnya.
***
Malam itu Keluarga Hutomo berkumpul untuk makan malam, itu adalah ritual mingguan. Peralatan makan bergemerincing di atas piring porselen mewah tapi suasana tidak hangat. Ayah Arlan pria yang keras dan mengesankan duduk di ujung meja, dia menatap Arlan dan Hanum tatapan tajam dan penuh pertanyaan.
"Sudah 1 tahun." Ucapnya.
Suaranya menggema di ruangan yang sunyi.
"Kapan aku bisa melihat cucuku? Warisan keluarga adalah anak, tanpa mereka kita hanya debu." Hanum tersentak dia tetap menatap piringnya.
Ucapan ini bukan hal baru dia sudah mendengarnya berkali-kali di setiap pertemuan keluarga. Hanum melirik Arlan di seberang meja makan, Arlan tidak mengatakan apa-apa tapi Hanum dapat melihat raut kemarahan di wajahnya mengarah padanya, ia tau Arlan menyalahkannya. Sejauh ini Arlan tidak pernah memberitahu kondisi medisnya pada Hanum.
"Kita perlu bicara." Kata Arlan seraya menutup pintu setelah menggaet Hanum seusai makan.
Hanum duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam gaun tidur sederhananya. Arlan menceritakan tentang rencananya, ia menceritakan tentang kemandulannya dan kemudian dia menceritakan tentang Danial.
"Danial akan membantu kita, dia akan memberikan anak yang kita butuhkan, pewaris yang ayahku tuntut." Hanum menatapnya, pikiran berputar dalam keterkejutan dan tidak kepercayaan. Jantungnya seakan di cabik dari dadanya.
“Kamu harus membantuku mewujudkannya,”
“-dengan Danial,” lanjut Arlan.
Pria yang dinikahi nya, yang dicintainya, memintanya untuk mengkhianati janji pernikahan dengan cara yang paling menjijikan.
"Aku- aku tidak bisa-," Gagap Hanum melemah nyaris tak terdengar, air mata menggenang di matanya.
"Aku suamimu dan aku tau apa yang harus aku lakukan." Ucap Arlan dengan tatapan dinginnya, "Ah. Jangan kamu lupa tentang keluargamu? Adikmu yang sakit? Ibumu yang kesulitan ekonomi? Aku membayar itu semua. Jika kamu menolak aku akan mengakhiri semuanya." ancam Arlan, keluar dari kamar.
Hanum termenung di kamarnya yang sunyi, air mata yang ditahan akhirnya tumpah, isak tangis mengguncang tubuhnya.
***
Malam itu pun tak berbeda. Aroma tumisan memenuhi udara, meja makan sudah rapi, saat pintu depan terbuka, Hanum tersenyum menyambut.
“Sayang, sudah pulang? Aku sudah siapkan makan malam untukmu,” ucapnya pelan, penuh harap.
Namun Arlan hanya berjalan melewatinya tanpa membalas, menuju kamar seolah Hanum tak pernah berbicara.
Ia mengikuti Arlan ke kamar. Sang suami tengah duduk di ranjang, membuka sepatu pelan-pelan. Tanpa menatap Hanum, “Aku ingin bicara denganmu.”
Hanum duduk di sampingnya, menatap wajah laki-laki yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati. “Bicara apa?”
Arlan terdiam sejenak, lalu berkata datar, suaranya tajam, tanpa sedikit pun empati.
“Bersiaplah. Malam ini Danial akan datang ke rumah. Dan kau… harus melayaninya.”
Hanum membeku. “Melayani?” ulangnya dengan suara gemetar, seolah berharap ia salah dengar.
Arlan menoleh perlahan, menatap matanya tanpa ragu, “Layani dia seperti kau melayani aku di ranjang.”
Bab 26.Langit sore berwarna kelabu saat mobil hitam Arlan memasuki gerbang rumah sakit jiwa di pinggiran kota. Pohon-pohon tua berdiri kaku, dan bangunan bergaya kolonial itu menyimpan aura muram yang menusuk. Suasana di dalam mobil begitu sunyi, hanya deru mesin dan napas berat Danial yang mengisi ruang.“Apa kita benar-benar harus ke sini?” tanya Danial, matanya tak lepas dari kaca jendela.Arlan tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, hingga mobil berhenti dan seorang petugas rumah sakit menyambut mereka.Mereka berjalan melewati lorong panjang, dinding-dinding yang pudar dan aroma obat yang menyengat. Arlan berjalan tanpa ragu, seolah ia telah berkali-kali ke tempat itu. Danial, sebaliknya, makin pelan. Kakinya berat. Kepalanya dipenuhi kemungkinan terburuk.Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang dikunci. Seorang perawat membuka pintunya.Di dalam, duduklah seorang perempuan tua, rambut kusut, tubuh kurus seperti ranting, tapi mata itu…Danial terpaku. Mata itu adala
Bab 25.Di ruang rumah sakit yang dingin, tubuh Hanum terbaring lemah dengan tatapan kosong ke langit-langit. Seolah jiwanya ikut luruh bersama kehidupan kecil yang gagal bertahan di dalam rahimnya. Arlan berdiri di samping tempat tidur, diam dan kaku, dengan tangan mengepal. Tak ada air mata. Hanya tekanan yang membuncah, tanpa arah begitu pula Danial.Orang tua Arlan masuk ke dalam ruangan. Sang ibu memeluk Hanum dengan mata berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Nak,” bisiknya lembut. “Yang penting kamu masih bisa hamil. Masih ada waktu, masih ada harapan. Tuhan tahu kapan saat yang tepat.”Hanum mencoba tersenyum, tapi rasanya wajahnya tak mampu bergerak. Ucapan itu tulus, tapi justru mebuat dadanya makin sesak. Bagaimana bisa mereka melihat keguguran ini sebagai sekadar kegagalan teknis dalam ‘proyek’ memiliki cucu?Beberapa hari berlalu. Luka di tubuh Hanum mungkin membaik, tapi hatinya tidak. Ia mengurung diri di kamar, menangis dalam diam. Setiap sudut rumah terasa seperti sangkar, dan
Bab 24.Mobil melaju menuruni jalanan perumahan elite yang sunyi, menembus kabut pagi yang mulai menipis. Di dalam kabin, Hanum duduk diam, pandangannya kosong menatap keluar jendela. Danial sesekali meliriknya, tapi memilih untuk tidak berkata apa-apa dulu. Beberapa menit kemudian, saat mobil sudah cukup jauh dari rumah keluarga Hutomo, Hanum akhirnya bersuara, nyaris berbisik:"Aku tidak pernah berpikir semuanya akan menjadi serumit ini."Danial tidak menjawab langsung. Ia menepikan mobil ke sisi jalan yang sepi, mematikan mesin, dan memutar badan menghadap Hanum.“Kau ingin pergi jauh dari semua ini?”Hanum menoleh padanya, matanya berkaca-kaca. “Aku ingin... tapi aku juga takut.”“Takut apa?”“Takut mereka menyakiti orangtuaku lagi. Takut Arlan akan mempergunakan apa pun untuk membuatku kembali. Dia punya kuasa. Dia punya uang. Dia punya... segalanya untuk memaksa.”Danial menggenggam tangannya. “Tapi dia tidak punya hatimu. Itu satu hal yang tidak bisa dia kendalikan.”Hanum ter
Bab 23Pagi itu matahari seperti enggan terbit. Langit abu-abu menggantung rendah, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak ingin dibuka. Suasana rumah keluarga Hutomo sunyi, tapi bukan sunyi yang damai. Sunyi yang menahan napas, seperti sebelum badai datang.Hanum terbangun di kamar tamu, dengan kepala berat dan mata sembab. Di sebelahnya, Danial masih duduk di kursi, tertidur dengan kepala bersandar ke dinding. Tapi semua ketenangan semu itu sirna saat pintu kamar terbuka keras.“Keluar.”Suara Arlan. Dingin, datar, tapi matanya merah. Entah karena marah, atau tidak tidur semalaman. Atau keduanya.Danial perlahan berdiri, tubuhnya masih lelah, tapi sorot matanya siaga.“Jangan bangunkan semua orang dengan dramamu,” ujarnya datar.Arlan tertawa pendek, getir. “Drama? Kau pikir aku tak tahu apa yang terjadi semalam?”Hanum berdiri pelan. “Kami tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak kuat tidur di kamar itu.”“Bukan tempatnya yang salah, Hanum.” Arlan mendekat, menatap istrinya tajam.
Bab 22.Hari itu hujan turun Danial baru pulang dari kantor. Matanya berat, tubuhnya letih.Namun begitu membuka pintu, ia tahu ada yang salah.Tak ada sepatu Hanum di rak.Danial memanggil-manggil namanya, membuka kamar, memeriksa balkon, bahkan kamar mandi. Tidak ada jejak. Tidak ada catatan. Tidak ada pesan.Panik menyergap seperti gelombang dingin. Ia meraih ponsel, menekan nomor Hanum berkali-kali."Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif..."Lutut Danial hampir lemas. Dalam kepalanya terputar kemungkinan terburuk Hanum kabur, Hanum diseret paksa, atau... kembali ke tempat yang tidak seharusnya. Tak berpikir panjang, Danial langsung menyalakan mobil dan meluncur ke satu-satunya tempat yang ia pikir Hanum bisa tuju dengan sisa akal sehatnya rumah orangtuanya.“Kamu? Tumben kamu ke sini?" Ucap ibu Hanum menatap heran karena tidak biasanya Danial bertamu, "Kamu ke sini dengan Hanum?” tanyanya cepat.Danial terdiam, pernyataan wanita paruh baya itu langsung menegaskan jika Hanum sed
Bab 21.Sementara itu, di rumah Arlan, udara pagi tidak membawa ketenangan. Viona duduk di meja makan dengan mata panda dan secangkir kopi yang sudah dingin. Arlan belum tidur semalam, mengurung diri di kamar kerja. Setelah kepergian Hanum, sesuatu di dalam dirinya tak lagi tenang.Pintu dibuka dengan kasar. Arlan keluar dengan map di tangan.“Kau ingin aku ceraikan dia? Akan kulakukan. Tapi tidak sekarang.”Viona mendongak cepat. “Apa maksudmu?!”“Dia akan kugugat. Karena menyalahgunakan harta keluarga. Karena berselingkuh. Karena menghina martabat pernikahan.”“Arlan, hentikan. Ini tidak masuk akal.”“Terserah kamu ikut atau tidak. Tapi aku akan pastikan dia tidak menang.”Viona berdiri, bergetar. “Ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal manusia. Kamu masih tega setelah semua yang kau lakukan padanya?”Arlan menatap Viona tajam, dingin. “Kalau dia bisa mencintai Danial setelah tidur dengannya hanya karena perintahku… maka aku tidak lagi merasa punya kewajiban jadi manusia baik.”