Arlan Hutomo terdiam saat divonis kelainan ejakulasi. Bukan karena takut tak punya anak—tapi karena itu berarti warisan keluarganya bisa jatuh ke tangannya. Demi ambisinya, Arlan memaksa adik angkatnya, Danial, untuk menghamili istrinya, Hanum—tanpa sepengetahuan siapa pun. Dengan terpaksa, Hanum dan Danial tak punya pilihan selain menyetujui rencana gila itu. Namun saat kebohongan mulai menggerogoti rumah tangga, perasaan yang seharusnya tak ada pun tumbuh di tempat yang salah. Dan cinta segitiga ini berubah jadi medan perang, saat rasa bersalah, ambisi, dan kecemburuan saling menghancurkan.
view moreBab 1.
"Negatif?"
Arlan menatap kecewa sekaligus kesal benda pipih yang dipegangnya–tespek yang baru saja digunakan istrinya menujukan garis 1 untuk kesekian kalinya.
"Sayang, aku—"
"Apa kau mandul?" Cecar Arlan menatap Hanum penuh emosi.
Hanum menggeleng pelan,"Tidak, aku tidak mungkin mandul." Bola matanya memerah menahan air mata, Arlan seharusnya menenangkannya bukan menyudutkannya.
"Bagaimana mungkin kamu tidak mandul sudah 1 tahun kita menikah tapi kamu belum bisa memberikanku keturunan!"
"Beri aku waktu, aku yakin kita hanya perlu waktu." Hanum meraih pergelangan tangan suaminya namun Arlan dengan cepat menepisnya.
"Aku tidak bisa menunggu lagi, lusa kita ke dokter untuk memastikannya." Tegas Arlan, melangkah pergi keluar kamar.
Hanum terduduk lesu di tepi ranjang, bola matanya memutar dengan gelisah. Hanum takut apa yang dikatakan suaminya benar, jika ia memang mandul, Hanum tidak sanggup membayangkan hal itu, ia takut jika Arlan akan meninggalkannya karena ia mandul.
***
Flashback
“Hanum, makanlah,” ucap Arlan lembut.
Hanum tersenyum kecil, menatap pria tampan di hadapannya. Siapa sangka, Hanum Diandri, gadis sederhana yang bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan besar kini duduk berdua menikmati makan malam mewah bersama Arlan Hutomo, CEO tempatnya bekerja. Ini terasa seperti mimpi, mimpi yang bahkan tak pernah berani ia bayangkan.
Restoran bintang lima itu menyambutnya dengan keramahan luar biasa. Pelayan berseragam elegan mengantar hidangan demi hidangan yang belum pernah ia cicipi seumur hidup. Dan malam ini, seorang pria istimewa menemani setiap detik waktu yang berjalan, membuatnya merasa seolah berada di dalam dongeng. Seolah ia adalah Cinderella yang tersesat di dunia nyata.
“Hanum, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu,” ucap Arlan tiba-tiba.
“Berikan?” Hanum mengerutkan kening, bingung.
Arlan merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru merah. Ketika dibuka, kilauan cincin di dalamnya memantul indah di bawah cahaya temaram ruangan.
“Ini untukmu,” ucap Arlan, menatapnya dalam.
Hanum tertegun. Mulutnya nyaris tak bisa mengeluarkan suara.
“Ini…?”
Arlan mengangguk pelan. “Ini bentuk keseriusanku padamu. Hanum, maukah kamu menikah denganku?”
Dada Hanum terasa sesak oleh perasaan haru yang meledak-ledak. Ia menepuk pelan pipinya tak percaya, berharap ini bukan sekadar mimpi.
“Hanum?” Arlan kembali bertanya, suaranya lembut namun penuh harap.
“Aku…” Hanum terdiam sejenak, lalu menatap Arlan dengan mata berkaca-kaca. “Aku mau menikah denganmu, Mas.”
Senyum mengembang di wajahnya. Ia tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Gadis yang tumbuh dalam keterbatasan, hidup hanya bersama ibu dan adik di rumah sederhana, kini dilamar oleh pria yang selama ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan seorang CEO, pria sempurna di mata siapa pun.
Setelah pernikahan, kehidupan Hanum berubah drastis. Dari rumah reyot ke istana mewah. Arlan, dengan sepenuh hati, membantu keluarganya. Ia menanggung seluruh biaya pengobatan adik Hanum yang menderita gagal ginjal kronis. Bagi Hanum, Arlan adalah jawaban dari doa-doanya selama ini. Sosok penyelamat, pria yang selama ini hanya ada di cerita-cerita romantis.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Arlan perlahan berubah. Dingin. Diam. Acuh. Ia tak lagi menyentuh masakan Hanum, tak lagi menyapanya dengan lembut, bahkan seolah tak melihat keberadaannya di rumah itu. Setiap kali Hanum mencoba bertanya, mencoba mencari tahu apa kesalahannya, Arlan hanya membisu. Tak ada penjelasan. Tak ada alasan.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Hanum telah menata meja makan dengan penuh harap. Hidangan hangat tersaji rapi, aroma masakan rumahan memenuhi ruangan semuanya ia siapkan sendiri, dengan cinta yang belum juga padam meski hatinya kerap dilukai.
Langkah kaki terdengar dari arah tangga.
"Mas, ayo makan malam dulu," sapa Hanum lembut, menoleh ke arah Arlan yang baru saja turun dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Tanpa menoleh, Arlan menjawab singkat, "Aku makan di luar saja."
Lalu, ia melangkah pergi begitu saja meninggalkan Hanum yang berdiri mematung di sisi meja, dengan hati yang kembali remuk oleh kalimat yang sama, yang terus diulang setiap hari.
Hanum tersenyum samar, getir. Ia mencoba tetap tegar, meski kalimat itu selalu berhasil menyayat perasaannya. Seolah kehadirannya tak lagi penting.
Setiap hari, Hanum bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, dan setiap malam ia kembali berdiri di dapur untuk memasak makan malam. Dan setiap hari pula, Arlan menolaknya, memilih menyantap hidangan restoran daripada menyentuh masakan istrinya sendiri.
***
"Bersiaplah, kita ke dokter malam ini."
Hanum menghela nafas membaca pesan dari suaminya, Arlan tetap ingin memeriksa keadaanya, memastikan jika Hanum tidak mandul.
Malam itu keduanya pergi ke sebuah rumah sakit. Setelah melakukan pemeriksaan keduanya menunggu hasil lab yang akan dibacakan dokter.
"Nyonya Hanum." Seorang perawat memanggil namanya, mempersilahkan keduanya masuk ke dalam ruangan.
"Mas, aku ingin ke toilet."
"Yasudah, aku masuk duluan."
Hanum bergegas menuju toilet sementara Arlan masuk ke ruangan dokter terlebih dahulu.
"Semoga hasilnya baik-baik saja." Hanum bergumam dengan gelisah seraya memandangi wajahnya di cermin toilet lalu ia bergegas masuk ke ruangan dokter menyusul Arlan.
"Mas,"
"Nyonya Hanum, silakan duduk." Seorang dokter pria tersenyum ramah padanya.
"Kita keluar." Arlan justru berdiri dari duduknya.
"Keluar?" Hanum menatap bingung.
"Aku sudah mendapatkan hasilnya." Ucap Arlan dengan nada dingin yang langsung melenggang pergi keluar dari ruangan tersebut.
"Mas tunggu," Hanum menyusul langkah Arlan,"Mas, kenapa terburu buru seperti ini? Bagaimana hasilnya? Aku bahkan belum tau?" Cecar Hanum yang merasa aneh dengan sikap Arlan.
"Kamu tidak mandul." Arlan memberikan selebar kertas hasil pemeriksaan lab dan berlalu pergi masuk ke dalam mobilnya.
Hanum segera membacanya, jelas di sana menyatakan jika kondisi Hanum baik-baik saja, dia normal dan tidak mandul membuatnya merasa senang dan lega. Namun sikap Arlan membuatnya bertanya-tanya karena tidak nampak raut kebahagiaan di wajahnya.
Keesokan harinya di ruang kerjanya Arlan masih memandangi secarik kertas.
"Kelainan Ejakulasi Retrograde"
Arlan tersenyum getir, membaca vonis yang diberikan dokter. Tanpa sepengetahuan Hanum, Arlan diam-diam memeriksakan dirinya, hasilnya sungguh luar dugaan, selama ini masalah berasal dari dirinya, bukan Hanum.
Dia berbicara dengan dokter tentang tes dan diagnosis yang suram, dia mandul. Kata itu terus bergema di ruang kerjanya yang sunyi. Bagi Arlan pria yang didefinisikan dengan kekuasaan dan warisan ini nasib yang lebih buruk daripada kematian. Seluruh kekayaan keluarga, kerajaan besar yang di bangun ayahnya terletak pada satu syarat sederhana ia harus menghasilkan anak untuk pewaris seluruh kekayaan ayahnya. Tanpa anak Arlan tidak berarti apa-apa. Ini…………..
Masalah besar untuknya.
Bab 6."Kalau kamu hanya menginginkan bayi ini aku ingin bercerai."Hanum mengulangi ucapnya, menatap Arlan yang tampak tenang sambil meminum secangkir kopi kesukaanya."Baiklah, aku akan menceraikanmu jika bayi ini sudah lahir."Hanum tersenyum getir. Bukan ucapan itu yang ingin di dengarnya dari Arlan, membuat Hanum semakin yakin jika selama ini Arlan tidak pernah mencintainya."Kalau begitu aku ingi berkerja, jika kamu tidak mengijinkanya aku akan mengatakan semua yang kamu bicarakan pada orang tuamu." Hanum menunjukkan rekaman suara yang diam-diam dia rekam dengan ponselnya. Arlan tersenyum tipis seolah tidak takut dengan ancaman Hanum."Baiklah kamu boleh berkerja," Arlan berdiri dari duduknya, mencengkram pipi Hanum,"Tapi jangan sampai ada keluargaku yang mengetahuinya, itu akan memicu kecurigaan mereka." Arlan menekan ucapnya dan berlalu pergi.Hanum berusaha tersenyum, menghapus air mata yang membasahi pipinya. Keesokan harinya setelah mendapatkan ijin dari Arlan, pagi itu Ha
Bab 5.Siang itu, Hanum yang sedang di rumah mendapat telepon dari ibunya. Suara sang ibu terdengar panik dan cemas."Hanum, kondisi Melati menurun lagi, Nak. Sekarang dia di rumah sakit."Hanum terdiam, darahnya terasa dingin. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas ke rumah sakit. Setibanya di sana, ia langsung menghampiri ibunya yang duduk gelisah di ruang tunggu."Bu, bagaimana Melati?" tanya Hanum dengan napas memburu."Dokter bilang dia harus segera ditangani intensif tapi mereka butuh jaminan. Dan asuransi dari Arlan sudah tidak lagi, kenapa Arlan kembali menonaktfkan asuransi lagi Nak?" sang Ibu menatap dengan mata berkaca-kaca sekaligus bingung.Hanum menggigit bibirnya. Ia segera mencoba menelepon Arlan, namun panggilannya tidak diangkat berkali-kali. Hatinya berkecamuk. Tak tahan dengan ketidakjelasan itu, Hanum pun memutuskan untuk langsung pergi ke kantor Arlan.Sesampainya di sana, ia memaksa masuk ke ruang kerja suaminya tanpa peduli tatapan para karyawan. Arlan seda
Bab 4.Hanum duduk di bangku sudut lorong rumah sakit, jauh dari pandangan perawat maupun keluarga pasien lain. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir, meski suara tangisnya nyaris tak terdengar. Ia memeluk lutut, tubuhnya gemetar karena beban yang tak sanggup lagi ia pikul.Ponselnya berdering. Nama "Ibu" muncul di layar.Hanum buru-buru mengusap air mata dan menjawab, berusaha menata suaranya sebaik mungkin."Ibu... Iya, Melati sudah diperiksa," katanya lirih. "Tenang saja, Mas Arlan sudah janji akan bayar lagi asuransinya. Aku sudah bicara sama dia." jawab Hanum yang langsung kembali ke ruang UGD, melihat kembali keadaan adiknya.Padahal kenyataannya, Arlan tak pernah berjanji. Yang ia tawarkan hanya syarat-syarat kejam yang menusuk harga diri Hanum paling dalam.Setelah memastikan kondisi adiknya jauh lebih baik Hanu pulang. Setiap langkahnya berat, menopang tubuhnya yang nyaris roboh.Saat ia tiba di rumah, lampu ruang tengah sudah menyala. Arlan duduk di
Bab 3.Hanum diam membeku melihat Danial yang perlahan berjalan mendekat ke arahnya, Hanum meremas gelisah sprai di dekatnya. Ini benar-benar gila bagaimana dia bisa berhubungan badan dengan adik iparnya sendiri.***Pagi itu Arlan mempersilahkan Danial untuk sarapan di rumahnya. Arlan duduk tenang di ujung meja, seolah malam kelam yang baru saja berlalu tak meninggalkan luka apa pun di hatinya. Ia menyendok sarapan dengan santai, lalu menatap Danial dan Hanum secara bergantian.“Kalian melakukannya dengan penuh gairah, kan?” tanyanya ringan, suaranya tenang, tapi dingin, nyaris tanpa perasaan.Hanum tertegun, wajahnya memucat. Kata-kata itu terasa seperti duri menusuk telinganya. Nafasnya tercekat, selera makannya hilang seketika. Ia menunduk, menahan gemetar yang mulai menjalari jemarinya di atas meja.Danial menatap piring kosong di depannya, rahangnya mengeras. Hening menyelimuti ruangan sebelum akhirnya ia menjawab, datar namun jelas, “Ya. Kami melakukan seperti yang kau minta.”
Bab 2.Udara di ruang kerja mewah itu terasa berat, sangat menyesakan. Di luar hujan perlahan turun, mengetuk lembut jendela besar namun di dalam badai sedang bergejolak. Arlan duduk di balik meja besarnya, ia menatap pria yang berdiri di hadapannya, pria yang dia panggil adiknya."Danial," Suara Arlan rendah, membelah keheningan seperti pisau tajam, "Aku butuh bantuanmu, ini bukan permintaan, ini perintah."Danial yang lebih muda dan berwajah lebih lembut hanya berdiri disana, ia sudah terbiasa dengan nada memerintah Arlan."Danial, aku butuh bantuanmu untuk menghamili istriku." Kata-kata itu menggantung di udara, dingin dan mengejutkan. Pikiran Danial kosong, ia pasti salah dengar."Hah?"Danial tidak mengerti mengapa Arlan meminta permintaan yang begitu menyimpang? ini terdengar seperti lelucon yang mengerikan di telinganya.Arlan melihat kebingungan di wajah Danial, "Tenang saja, kau tidak salah dengar, kamu akan tidur dengan istriku, kamu anak memberiku seorang anak. Anak itu ak
Bab 1."Negatif?"Arlan menatap kecewa sekaligus kesal benda pipih yang dipegangnya–tespek yang baru saja digunakan istrinya menujukan garis 1 untuk kesekian kalinya."Sayang, aku—""Apa kau mandul?" Cecar Arlan menatap Hanum penuh emosi.Hanum menggeleng pelan,"Tidak, aku tidak mungkin mandul." Bola matanya memerah menahan air mata, Arlan seharusnya menenangkannya bukan menyudutkannya."Bagaimana mungkin kamu tidak mandul sudah 1 tahun kita menikah tapi kamu belum bisa memberikanku keturunan!""Beri aku waktu, aku yakin kita hanya perlu waktu." Hanum meraih pergelangan tangan suaminya namun Arlan dengan cepat menepisnya."Aku tidak bisa menunggu lagi, lusa kita ke dokter untuk memastikannya." Tegas Arlan, melangkah pergi keluar kamar.Hanum terduduk lesu di tepi ranjang, bola matanya memutar dengan gelisah. Hanum takut apa yang dikatakan suaminya benar, jika ia memang mandul, Hanum tidak sanggup membayangkan hal itu, ia takut jika Arlan akan meninggalkannya karena ia mandul.***Flas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments