Angeline berjalan lunglai kearah ruang tamu tempat personil X-BOYS berkumpul. Gadis itu dapat melihat semua personil X-BOYS tengah berkumpul dan berbicara serius tentang sesuatu. Angel semakin mendekati mereka. Ia mengerutkan keningnya saat mendapati mereka langsung menghentikan obrolan mereka saat Angel mendekat. Angel tahu ada yang mereka sembunyikan darinya.
"Hey Baby girl... Silahkan duduk adek manis.”
Deva menyapa Angel dengan riang. Pria itu mengembangkan senyumnya sangat-sangat lebar. Angel memutar matanya menanggapi sapaan Deva. Berjalan lunglai ke single sofa yang tersisa dan menghempaskan tubuhnya disana. Angeline menatap personil X-BOYS satu per satu, Deva, Mbak Namiran, Ryan dan ....
Lho dimana Rico? Perasaan beberapa saat yang lalu pria berambut jabrik itu masih duduk manis di sebelah Mbak Namiran, tapi dimana pria itu sekarang? Angel menghela nafas, terserah Rico mau kemana ia tak peduli. Yang Angel khawatirkan sekarang adalah nasibnya sendiri, pasti ini akan sangat-sangat merugikannya bila menyangkut para personil X-BOYS apalagi vokalisnya yang ganteng itu, Deva.
"Sweetheart...."
Angel menatap Deva was-was. Jantung Angel berdegup kencang, bukan karena ia sedang berhadapan dengan orang yang dicintainya atahu ia sedang jatuh cinta tapi karena ia gugup menunggu kata-kata yang akan keluar dari bibir Deva. Angel sudah tahu ini akan buruk karena Deva sudah memanggilnya dengan sebutan 'Sweetheart'. Sebutan itu selalu Deva sertakan saat pria itu menginginkan permintaan yang aneh-aneh untuk Angel lakukan.
"Duh, gimana ya ngomongnya...." Deva menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Pria itu bingung bagaimana harus merangkai kalimat yang tepat.
"Jadi begini..." Hening.
Angel menatap Deva lurus-lurus, menunggu pria itu menyelesaikan kalimatnya. Sedangkan yang ditatap masih bingung merangkai kata-katanya.
"Jadi..."
"Halah kelamaan.. Jadi gini Angel sayang, kita udah daftarin kamu ke acara Panah Asmara Giornino." Sahut Ryan memotong ucapan Deva. Pria plontos itu sudah jengah dengan Deva yang tak kunjung mengucapkan kalimatnya. Pria itu tak suka apapun yang bertele-tele, to the point adalah moto hidupnya. Persetan dengan merangkai kata atau apalah. Pria itu sudah terdoktrin oleh pepatah siapa cepat dia dapat. Misalnya aja nih, mau nembak cewek ya langsung nyatain, beres urusan. Nggak usah sok-sokan nyari waktu yang tepat. Please deh kalo ditunda-tunda melulu bisa-bisa diserobot orang kali tuh gebetan. Angel melotot. Dia nggak salah dengar kan? Ryan tadi bilang daftarin apa?
"Acara apa?"
"Panah Asmara Giornino" Angel menatap Ryan dengan tatapan tak percaya. Ternyata ia tak salah dengar. Angel melongo, tak percaya kakak-kakak angkatnya akan tega berbuat seperti itu padanya.
"Acara buat apa?"
"Pencarian jodoh buat Giornino."
"Emang sebegitu nggak lakunya ya sampe-sampe dibuatin acara begitu." ucap Angel sinis. Gadis itu tak habis pikir kok ada orang yang nggak malu dideklarasikan ketidak-lakuannya.
"Jangan salah dek, Giornino tuh aktor yang sekarang ini lagi naik daun. Film terakhirnya aja masuk Box Office, belom lagi tahun kemarin dia menang salah satu kategori di FFI."
Masa sih Giornino-Giornino itu sampai segitunya, pikir Angel tak percaya.
"Nggak bisa kak, aku nggak mau pokoknya. Nggak mau!" Ucapan Angel itu disahuti oleh dering telfon Deva yang mengalun keras. Pria itu langsung meraih telfonnya yang diletakkan diatas meja dan mengangkat panggilan itu. Angel dan yang lain menyimak dengan serius pembicaraan satu arah yang dapat mereka dengar.
"Halo"
"Ya, benar."
"Oh baik nanti saya sampaikan"
"Terima kasih"
Deva meletakkan kembali ponselnya. Raut wajahnya yang tadi datar-datar saja kini berubah sumringah. Sepertinya penelfon tadi membawa kabar baik untuknya. Deva menatap Angel lekat-lekat.
"Congratulation Sweetheart... kamu lolos seleksi dan bakalan dikarantina."
Jantung Angel berhenti berdetak. Gadis itu tak menyangka mimpi buruknya menjadi kenyataan.
"Kakak! aku bilang aku nggak mau."
"Janji adalah janji, Adek Kecil."
Angel menatap Mbak Namiran dengan tatapan memohon. Bisa dibilang Mbak Namiran adalah super heronya Angel, orang pertama yang akan maju bila Angel dalam bahaya. Pria itu sedari tadi diam saja, memasang wajah datar meskipun hatinya bergejolak. Mbak Namiran tidak tega setiap melihat raut wajah memelas gadis itu jadi ia langsung memalingkan wajahnya.
"Sudahlah Angel, terima saja. Kami tak pernah mengajarimu untuk mengingkari janji yang kau buat sendiri."
Angel melongo tak percaya. Bahkan pahlawannya pun tak bisa ia andalkan. Angel terdiam dengan wajah tertunduk. Gadis itu siap menerima apa saja yang akan terjadi, toh ia pernah merasakan hal yang lebih menyiksanya daripada itu.
"Sweetheart... besok pagi kamu akan terbang ke Jakarta, karantina dimulai lusa tapi pihak penyelenggara menyarankan para peserta besok sudah ada di tempat karantina."
"Tapi aku belum packing."Angel menatap Deva yang tersenyum didepannya.
"Tenang saja Rico sudah membereskan semua kebutuhanmu untuk besok."
Angel menghela nafas berat. Dalam hati, gadis itu menyumpahi kakak-kakak angkatnya. Musnah sudah khayalan liburannya yang mengasyikan di Bali tahun ini. Gadis itu harus rela menghabiskan liburannya di tempat karantina, berkumpul dengan gadis-gadis yang sangat mengidolakan orang itu. Ugh... membayangkannya saja sudah membuat Angel merasa jijik. Oh Angel… selamat datang di mimpi burukmu yang menjadi kenyataan.
♦♦ Be With You ♦♦
Terlibat meeting selama lebih dari dua jam benar-benar membuat Gio merasa tertekan. Selama itu ia dicekoki dengan konsepan acara reality show yang akan melibatkan dirinya. Memikirkan bahwa ia akan terlibat dan terjebak dengan lima belas perempuan dalam satu rumah selama lebih dari dua bulan benar-benar membuatnya frustrasi. Ia bahkan tak mengenal perempuan-perempuan itu secara personal. Jadi, bagaimana ia akan menjalani hari-harinya saat reality show itu sedang dilangsungkan?
Gio menatap tumpukan kertas didepannya dengan tatapan nanar. Tumpukan kertas itu berisi foto dan biodata perempuan yang lolos seleksi. Ia sendiri tak paham bagaimana mereka bisa mendaftar, dimana mereka mendapat info dan lain sebagainya. Dia sama sekali tak terlibat dalam persiapan acara tersebut bahkan yang memilih kandidatnya pun bukan dia. Ia serahkan semuanya pada sang manager.
Gio mengambil tumpukan kertas itu, mengamati setiap foto dan mencerna setiap informasi yang tertulis. Harus ia akui, Mbak Namira benar-benar pintar memilih kandidat. Kalau tidak salah baca, ia menemukan beberapa dari mereka adalah model, pengacara bahakan runner up Puteri Indonesia dua tahun lalu. Gio tak habis pikir pada perempuan-perempuan itu, bagaimana bisa mereka merelakan kebebasan mereka selama tiga bulan lebih hanya untuk terkurung dalam satu rumah dan memperebutkan hatinya. Apa ia memang se-worth it itu?
Pria itu terus membolak-balik kertas yang ada di tangannya. Menatap jengah lembaran-lembaran itu. Tangannya terus bergerak hingga ia menemukan kandidat ke empat belas. Matanya terfokus pada seorang gadis sangat cantik yang menggunakan sweater putih dengan rambut dikuncir menyamping dalam foto. Gio dapat merasakan aura kecantikan yang terpancar dari gadis itu meskipun ia hanya melihatnya difoto. Gadis itu adalah gadis idamannya, semua tipe ada padanya. Rambut panjang, senyum manis, kulit putih dan tinggi semampai. Benar-benar sosok yang sempurna.
Giornino tersenyum sumringah, sepertinya ia sudah menemukan pemenangnya meskipun pengumuman pemenangnya itu akan diumumkan di akhir acara tapi ia yakin siapa yang akan ia pilih. Ya, gadis itu yang akan ia pilih.
Angel berjalan males-malesan memasuki terminal pemberangkatan, kedua tangannya digenggam oleh Dion dan Deva. Kedua pria itu memegangi Angel, takut gadis itu melarikan diri. Angel menggerutu pelan, menyumpahi kakak-kakak angkat tak berperikemanusiaan yeng telah memaksanya untuk ikut acara paling tidak berguna yang pernah ia dengar.Deva menghentikan langkahnya di ruang tunggu. Pria itu menghempaskan bokongnya pada kursi yang ada di sana, diikuti oleh Ryan dan Dion yang juga ikut duduk di kursi tunggu. Sedangkan Rico, ia lebih memilih untuk duduk di atas koper besar Angel yang tadi dibawanya. Mereka berempat memang sengaja membeli tiket yang sama dengan Angel agar dapat menemani gadis itu di ruang tunggu, sekaligus memastikan ia tak kabur.Angel berdiri di samping Rico. Gadis itu enggan untuk duduk dan memilih mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angel memutar bola matanya saat mengetahui sebagian besar orang yang ada disitu melihat kearah mereka. Selalu saja seperti ini, pasti ada s
Angel menyeret kopernya menuju toilet. Gadis itu langsung masuk kesalah-satu bilik di dalam toilet, menaruh kopernya di atas lantai dan membukanya. Angel mengerutkan dahinya mendapati tumpukan gaun beraneka warna yang berada di dalamnya. Seingatnya ia tak pernah memiliki gaun dengan warna yang sangat mencolok seperti yang tengah ia pegang saat ini. Gadis itu mengangkat salah satu gaun berwarna merah bata yang ada dalam genggamannya, membentangkannya hingga terlihat jelas bagaimana model gaun itu. Tipikal seorang Rico. Angel sudah menduga bila Rico akan memenuhi kopernya dengan baju-baju yang sangat terbuka dan kekurangan bahan. Gadis itu mengeluarkan beberapa gaun, memilah mana yang mungkin cocok untuk ia kenakan. Selesai memilah-milah, Angel membuang beberapa crop top dan mini dress yang ada, hingga menyisakan setengah koper yang menurutnya masih masuk untuk karakternya. Angel kemudian mengambil kemeja flannel dari kopernya, mengganti blouse biru mudanya denga
Angel melangkah malas-malasan menuju ruang tengah. Dengan T-shirt kebesaran dan muka bantalnya ia bergabung dengan gadis-gadis lain yang sudah terlihat rapi dan sudah duduk dengan anggun di sofa. Angel memasang wajah sebal, bagaimana tidak? Saat enak-enaknya menyelam di alam mimpi, ia malah dibangunkan untuk bergabung dengan yang lain di ruang tengah. Apa mereka tidak tahu kalau ini masih terlalu pagi untuk membangunkan seseorang? Bahkan jarum jam saja masih menunjukkan kalau ini masih jam tiga pagi. Sekali lagi jam TIGA PAGI. Ini benar-benar mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Seorang pria berusia awal tiga puluhan memasuki ruang tengah bersama seorang gadis yang terlihat masih sangat muda. Gadis itu membawa seember bunga beraneka warna juga pembungkus dan pita. Gadis itu meletakkan semua barang yang dibawanya diatas meja dan kembali mensejajarkan dirinya dengan si pria yang tak lain adalah host dari Panah Asmara Giornino. Kamera sudah menyala dan sudah merekam semua aktivitas sejak
Seorang gadis berambut hitam legam lurus berjalan pelan menghampiri gadis lain yang tengah termenung di balkon kamarnya. Anisa Rahma, gadis cantik asli Bandung yang sangat mengidolakan Giornino seperti kebanyakan gadis seusianya."Hei... lagi ngapain?" Anisa menatap gadis yang ada di depannya itu dengan senyum yang menghiasi bibir. Gadis itu membalas senyum dari Anisa.Angel mengangkat buku yang ada dalam genggamannya, mengisyaratkan pada gadis bersurai hitam itu apa yang tengah ia lakukan. Angel menggeser duduknya, memberi sedikit tempat untuk Anisa duduk disebelahnya."Terima kasih." ucap Anisa setelah duduk di samping Angel. Angel hanya mengangguk, meletakkan bukunya di pangkuan dan mulai menikmati pemandangan indah langit biru dengan semburat jingga yang mengagumkan."Indah ya?"Lagi-lagi Angel hanya mengangguk. Anisa menoleh kearahnya, meneliti penampilan satu-satunya gadis yang ditanyai oleh Giornino saat sedang melakukan penilaian untuk misi pertama tadi pagi. Jujur saja eksis
Angel menghela nafas berat. Mengapa waktu seakan melambat saat ia berada di rumah karantina ini? Gadis itu merasa sudah begitu lama tinggal di rumah itu padahal ia baru seminggu berada di sana. Beruntung ada Anisa yang bisa menjadi teman ngobrolnya. Ternyata Anisa juga menyukai band pop rock yang di gawangi oleh kakak-kakak angkatnya. Bukan hanya X-BOYS tapi juga semua band, penyanyi, ataupun aktor yang memiliki wajah rupawan. Intinya Anisa akan menyukai semua public figure yang memiliki wajah rupawan.Angel memetik setangkai bunga krisan yang ada di taman belakang rumah itu lalu melangkah menuju ayunan yang ada di sana. Namun saat tinggal selangkah lagi ia sampai di ayunan itu, seseorang sudah menyerobotnya terlebih dahulu. Ariska- gumam Angel. Gadis itu tersenyum tipis dan beranjak meninggalkan Ariska yang fokus pada majalah yang dipegangnya. Dasar sombong, baru jadi model gitu aja sombongnya nggak ketulungan.Angel merutuki kesombongan Ariska yang menurutnya sangat berlebihan. Hei,
"Angelinnneeeee...." Angel menyeringai mendengar teriakan dari guru kepribadian yang melatih semua gadis di tempat karantina itu. Angel buru-buru mengubah ekspresi wajahnya menjadi innocent. Gadis itu kembali berdiri dan menaruh buku tebal hard cover-nya di atas kepala. "Lihat teman-teman kamu! Mereka jatuh gara-gara kamu. Angel! Kenapa sih kamu nggak bisa kayak, Ariska? Look at her. Dia kelihatan anggun nggak kayak kamu yang urakan ini." Angel memutar matanya jengah. "Bentar deh Miss, teman? Duh, Miss Rara yang cantik badai, teman saya di sini tuh cuma Anisa. Lagian ya jangan dibandingin dong saya sama Ariska, dia kan model jadi udah biasa kayak gitu." Rara menggeram, gadis dihadapannya itu benar-benar. Ia belum pernah menemui gadis yang seperti itu, berpenampilan cupu tapi kelakuan urakan. Rara menatap tajam pada Angel yang terlihat tak terpengaruh sama sekali, wajahnya masih terlihat datar-datar saja. "Kamu ini!" "Ngomelnya nanti aja ya, Miss. Saya mau nganterin Anisa ke ka
Anisa duduk termenung menatap foto yang ada di ponselnya. Itu adalah fotonya bersama sang mama. Anisa hanya tinggal bersama mamanya di Bandung. Sang ayah sudah meninggal sejak usianya masih sembilan tahun, sampai sekarang pun mamanya belum mau mencari pengganti ayahnya karena rasa cinta sang mama sangatlah dalam. Air matanya menetes perlahan, gadis itu sangat merindukan mamanya. Anisa memang tak pernah berpisah lama dengan mamanya, gadis itu selalu tak tega meninggalkan mamanya seorang diri. Tapi kini ia harus meninggalkan mamanya demi mengikuti acara yang bisa dibilang konyol ini. "Hey, kenapa nangis?" Anisa segera mengusap air matanya saat mendengar suara yang dua minggu terakhir ini ikut mewarnai hari-harinya. Anisa menoleh dan tersenyum pada Angel. "Kangen mama." jawabnya dengan suara parau. Angel tersenyum lalu mengangguk ia juga merindukan ibunya, ibu yang tak akan mungkin ia temui lagi. "Setidaknya lo lebih beruntung daripada gue, Anisa." Anisa mendongak, menatap raut sedi
Suara petikan gitar mengalun lembut dari arah rooftop. Di sana juga terlihat dua orang gadis yang tengah asyik tenggelam dalam lantunan setiap lirik lagu yang keluar dari bibir mereka.Mereka berdua duduk bersila di lantai, salah seorang diantaranya terlihat tengah memangku sebuah gitar berwarna putih dan memainkan jemarinya di atas senar gitar itu.Kenang diriku selalu di hatimuSelalu di jiwamu, simpan di memorimuKunanti dirimu bila malam pun tibaCukup kita yang tahu, mimpi jadi saksinyaKering air mataku mengingat tentangmuTentang kita yang tak jodoh Anisa terus bernyanyi diiringi petikan gitar Angel. Angel sesekali menimpali suara Anisa dan membuat improvisasi mereka sendiri. Anisa mengangkat tangannya menyuruh Angel berhenti, Angel menurut gadis itu menaikkan sebelah alisnya bertanya."Kenapa?""Haus. Gue ambil minum dulu ya."Angel mengambil botol berisi jus jeruk di sampingnya dan menyerahkannya pada Anisa. Anisa menggeleng, "lagi pengen air putih, tunggu disini ya… Jangan