Louisa keluar dari lift. Ia berjalan menuju lobby apartemen. Wanita berambut hitam panjang itu langsung mengidik ngeri melihat pria bertato sedang menatapnya tajam. Buka tato atau tubuh kekar pria itu. Melainkan sifat psikopatnya yang membuat Louisa takut padanya. Jason, pria gila yang menjadi teman setia ayah Louisa saat mereka sama-sama dipenjara akan tetapi Louisa benar-benar takut pada Jason.
"Mau ke mana kau malam-malam?" tanya Jason.
"Aku mau kerja." Louisa berjalan melewati Jason mencoba untuk tidak menghiraukan pria itu.
Dari belakang, Jason meraih tangan Louisa dan mencekik leher Louisa lalu mendorong wanita itu ke tembok. Wanita itu sangat benci ketika Jason menyentuhnya. Rasanya ia ingin menghabisi pria itu tetapi Louisa terikat dengan janji yang dia buat dengan Jason. Louisa sudah mengenal pria itu ketika berkunjung dipenjara. Ayah Louisa seorang peretas sama seperti Jason kemudian mereka sama-sama dipenjara karena tidak bisa kabur dari kejaran polisi. Semenjak dipenjara Ayah Louisa—Hans mencukupi kebutuhannya dibantu oleh Jason. Oleh karena itu, Hans selalu berpesan pada Louisa agar selalu membantu Jason.
"Lepaskan! Lepaskan aku Jason!" teriak Louisa.
"Aku membutuhkanmu Louisa," bisik Jason di telinga Louisa dan membawa wanita itu ke luar apartemen.
"Kau mau apa! Sialan lepaskan aku." Louisa memukuli tangan Jason sekuat tenaganya.
"Ayahmu melakukan hal bodoh Louisa." Wanita itu hanya bisa menelan ludahnya.
"Aku sudah tidak ada urusan dengan pria itu, dia bukan lagi ayahku." Louisa sudah muak harus balas budi pada Jason.
"Jangan banyak bicara, cepat masuk ke dalam mobil!" pinta Jason. Ia memasukkan paksa Louisa ke dalam mobilnya.
"Bajingan kau Jason!" Jason menutup pintu mobilnya dan segara melesat dengan cepat.
"Kau mau apa Jason? Aku harus kembali bekerja!" seru Louisa. Ia sudah berjanji pada atasannya kalau dia akan bekerja lembur.
"Menjadi pelayan hotel? Louisa sadarlah! Kau tidak cocok dengan pekerjaan itu." Jason menyeringai.
"Aku tidak peduli! Turunkan aku Jason!" Louisa mencoba untuk membuka pintu mobil tetapi Jason lebih dulu mengunci rapat mobilnya.
"Tidak bisa, kau harus membantuku," desis Jason.
"Aku tidak mau membantu pria bajingan sepertimu!" Jason mengerem mobilnya secara mendadak dan itu membuat kepala Louisa terbentur.
"Apa kau sudah gila!? Hah!" teriak Louisa.
"Sekali lagi, kau tidak bisa menjaga ucapanmu, aku akan membunuhmu Louisa! Ingat, ayahmu banyak berhutang padaku!" Louisa menelan ludahnya sendiri. Keringat dingin bercucuran di keningnya.
"Kau mau apa lagi Jason!" teriak Louisa. Ia memukul lengan Jason meskipun ia tahu kalau Jason tidak akan merasa sakit atas pukulannya.
"Aku tidak bisa mencuri uang Louisa, kau harus membantuku." Mata Louisa melebar. Apa yang dikatakan Jason membuat Louisa getir.
"Kau ingin aku melakukannya apa? Hah? Aku sudah berhenti menjadi kriminal!" Louisa sudah tidak mau menjadi peretas lagi. Dia sudah tidak ingin berurusan dengan apapun itu yang berbau kriminal.
"Kau seorang peretas seperti ayahmu, ayahmu mengatakan padaku, kalau kau lebih pintar darinya, jadi aku ingin kau membantuku," jelas Jason.
"Aku tidak ingin berurusan dengan polisi lagi Jason!" Louisa berusaha untuk membuka pintu mobilnya.
"Tidak akan, tenang saja, kau akan aman, kita semua akan aman," ujar Jason.
"Uang siapa yang mau kau rampok?" Louisa bisa melihat senyuman licik Jason.
"Uang ini berjumlah satu miliar peso, milik mafia Italia," jelas Jason.
"Italia? Lalu bagaimana bisa kita merampoknya!" Jason sudah kehilangan akal sehatnya.
"Gunakan otakmu Louisa, kalau kita bisa mengetahui nomor rekening dan PIN banknya, kita bisa mendapatkan uangnya," jelas Jason.
"Jason, ini terlalu berbahaya." Louisa mencoba memperingatkan Jason.
"Aku lelah Jason, aku ingin tidur," lirih Louisa.
"Kau bisa tidur dengan nyenyak berbantal uang Louisa, setelah kita merampok uangnya." Mobil yang mereka tumpangi semakin melaju cepat.
Jason membawa Louisa menuju markasnya. Wanita itu menyipitkan matanya melihat bagunan tua yang seakan mau hancur itu. Ia melangkahkan kakinya takut. Jason menarik tangan Louisa.
"Kalau kau tidak bisa melakukannya, aku aku mengupas wajah cantikmu," ancam Jason.
Jason menyeret Louisa. Tubuh Louisa bergetar. Ia bisa melihat markas itu penuh dengan pria. Louisa meremas tangannya. Sepertinya, Jason bersungguh-sungguh akan menghabisi Louisa di sini. Untuk menutupi rasa takutnya. Wanita itu duduk di kursi yang kosong. Ia menjadi pusat perhatian karena hanya dia satu-satunya wanita di situ.
"Apa kita akan memakainya secara bergiliran?" Mendengar itu Louisa langsung melotot pada Jason.
"Kalau dia tidak bisa membantu kita, kita akan puas malam ini." Jason tersenyum miring pada Louisa.
"Kalau aku bisa membantumu, aku ingin setengah dari uang yang aku curi." Louisa tidak mau kalah. Ia menelan ludahnya sendiri. Dia sendiri juga membutuhkan uang.
"Kau akan mendapatkan sesuatu yang pantas Louisa," terang Jason.
Jason memberikan Louisa akses, menyiapkan alat-alat canggih untuk menggali informasi bank. Gadis itu diam menelan ludahnya sendiri, sekaligus terkagum dengan laptop di depannya-sudah lama ia tidak memainkan alat canggih. Sepersekian detik kemudian, ia menarik napas, mengelus keyboard sebelum mengangkat suara.
"Siapa namanya?" tanya Louisa.
"Dominic Theodoretti," jawab Jason.
Dengan cekatan, Louisa berselancar deep web, bahkan dark web untuk memudahkan akses pencahariannya. Mengetikkan angka-angka rahasia-yang ia pelajari dari ayahnya, dulu sekali.
Ia melakukan pencahariannya, salah satu situs bank. Menyerang dari segala sisi, jarinya tidak berhenti menari. Menekan kode-kode khusus untuk mendapatkan akses secara luas-mengerahkan semua kemampuanya. Hingga ia mendapatkan IP bank itu. Dengan cekatan, segera berselancar di sana, mencari data-data pemilik dan matanya tertuju pada nama Dominic Theodoretti. Louisa kembali melancarkan aksinya.
Louisa kembali sibuk dengan laptopnya, mencoba berkali-kali menyerang. Namun, sialnya pria itu memiliki pengamanan yang kuat. Entah siapa pria itu.
"Pria ini mempunyai jaringan yang kuat Jason! Aku tidak bisa meretasnya," keluh wanita itu.
"Aku perlu informasi lebih lanjut mengenai ini." Louisa menunjuk layar laptopnya.
"Kita tidak punya banyak waktu Louisa, kau satu-satunya harapan kami," ucap salah satu pria yang ada di depan Louisa.
"Kalau kau tidak bisa mengambil uangnya, kita semua akan tamat." Jason menepuk bahu Louisa.
"Sialan kau Jason! Kenapa kau membawa aku dalam masalahmu!" gerutu Louisa.
"Hanya kau yang terlintas di pikiranku." Jason berpikir tidak ada peretas yang lebih pintar daripada Louisa.
Louisa kembali sibuk dengan laptopnya. Ia mencoba berkali-kali mengetikan angka-angka yang biasanya dia gunakan. Sialnya tidak ada yang bisa. Ia frustrasi sekarang. Tengah malam seperti ini dia harus berpikir keras.
"Jason sepertinya, Dominic ini mempunyai dua akses, dan dua sandi gabungan, aku sama sekali tidak bisa meretasnya!" Louisa kebingungan sekali.
Jason mengambil alih laptopnya. Jason juga seorang peretas seperti Louisa. Bedanya Louisa tidak hidup sebagai peretas dan menjalani hidup normal sedangkan Jason. Pria itu terus menjadi peretas dan bertahan hingga kini.
"Berikan laptopnya padaku," ucap Louisa.
Louisa berselancar lagi, mengulang sandi dan kode-kode khusus, dengan kombinasi rumit. Kemudian, menyerang lagi setelah sebelumnya memecahkan kode baru yang ia dapat dan ya! Dia berhasil.
"Yeah!" teriak Louisa. Ia tersenyum puas.
"Kita semua selamat!" teriak Louisa. Jason membawa laptop itu dan menarik Louisa.
"Kita berangkat sekarang." Louisa menyambar topi milik pria yang duduk di depannya tadi.
"Aku meminjamnya dulu," ucap Louisa lalu ia mengedipkan sebelah matanya.
Louisa masuk ke dalam mobil Jason. Mobil hitam yang ia tumpangi melesat cepat melewati jalan-jalan sepi dan Jason adalah pria gila yang mengendarainya. Louisa berpegangan pada sabuk pengamannya. Ia hanya perlu memastikan sabuk pengaman itu tertancap dengan kuat.
"Jason, aku tidak mau mati hari ini!" Cara mengemudi Jason tidak pernah manusiawi.
"Kita terlambat Louisa, jadi harus cepat," desis Jason.
Tidak lama kemudian, Jason memberhentikan mobilnya. Ia keluar membawa laptopnya. Dari dalam mobil Louisa memicingkan matanya. Seorang pria memberikan dua tas berukuran besar pada Jason. Terkulas senyum di wajah Jason.
"Apa isinya tas itu?" tanya Louisa.
"Uang!" Louisa yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jason. Ia membuka tasnya. Alangkah terkejutnya dirinya ketika hanya ada uang berjajar rapi di dalam tas besar itu.
"Uang siapa ini Jason?" tanya Louisa.
"Itu bagianmu," terang Jason.
"Kau bekerja untuk siapa?" Louisa menatap Jason dengan mimik wajah tidak percayanya.
"Marcus Theodoretti," jawab Jason.
"Marcus?" Louisa menebak-nebak siapa Marcus ini.
"Marcus Theodoretti? Uang yang kita curi milik Dominic Theodoretti, apa kita tidak salah orang?" Jason hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Sudah selesai, ayo pergi dari sini." Mereka langsung melesat dengan mobil Jason.
Dominic menatap tajam peta yang terbentang di meja bundar itu. Setiap garis merah yang tergambar di sana seperti urat nadinya sendiri. Sisilia, Malta, Ragusa—tiga kota yang seharusnya sudah menjadi miliknya jika bukan karena pengkhianatan dan kebodohan."Antonio harus mati," ucapnya pelan tapi pasti, seperti menyampaikan keputusan takdir.Louisa hanya diam. Wajahnya masih menyimpan amarah dan letih. Samuel terbaring di kamar sebelah, mungkin nyawanya sedang bernegosiasi dengan maut, dan kini Dominic membicarakan perang lagi seolah semuanya bisa berjalan normal."Aku butuh semua orang yang bisa bertarung. Termasuk Cornan, Jack, Daniel... dan kau juga, Bernard," Dominic menatap tajam satu per satu wajah yang ada di hadapannya.Bernard tak berkata apa-apa. Tangannya masih bergetar, memikirkan Samuel yang bisa mati kapan saja. Tapi dia tahu, melawan perintah Dominic sama saja bunuh diri."Bagaimana dengan Stella?" tanya Louisa dengan suara dingin. "Kalau kau mau menyerang, kita butuh tena
Samuel keluar dari bar. Hatinya terasa sangat puas sudah mengerjai Marcus dengan memberikan nomor ponsel Dominic. Hanya karena dua bersaudara itu saling membenci membuat hidup Samuel, Louisa, Bernad, dan Cornan jadi sebercanda ini. Para mafia ini tidak bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Mereka lebih suka saling menghajar, membunuh, dan menang sendiri. Mata Samuel bisa melihat anak buah Franco sudah mengepungnya. Pria itu tidak punya pilihan lain. Dia berlari sekencang-kencangnya, menghabiskan sisa energinya sebelum dia tertangkap dan di seret masuk ke dalam kapal lagi. Tidak sampai di sana saja. Samuel dihajar habis-habisan lagi. Pria itu tidak bisa lagi merasakan kenikmatan dunia semenjak Dominic datang ke dunianya. Ombak laut yang semakin besar menerpa kapal, Samuel muntah darah di sana, sementara Franco dan Bernard menontonnya. Hati kecil Bernard ingin sekali berlari dan membantu Samuel, tetapi itu sama saja seperti meminta dirinya dihajar juga seperti Samuel. "S
Louisa membuka matanya tepat pukul enam pagi. Dia masih sangat malas untuk bangun dari kasurnya akan tetapi ketukan di pintu kamarnya membuatnya harus bangun meskipun malas. Di tambah lagi suara teriakan Cornan. "Louisa! Buka pintunya! Louisa!" teriak Cornan. Tangan Louisa meraih gagang pintu dan langsung membukanya menunjukkan wajah bangun tidurnya. Louisa langsung mengerutkan keningnya saat melihat Cornan kebingungan. "Kenapa?" Cornan kesulitan berbicara karena dia sudah sangat panik. "Samuel ... Samuel." "Ada apa dengan Samuel?" Louisa menggelengkan kepalanya. "Samuel dan Bernard hilang!" Mata Louisa seketika langsung melebar. Apa maksudnya Samuel dan Bernard hilang? "Hilang?" Louisa masih bertanya-tanya. "Aku sudah mencari Samuel dan Bernard di seluruh mansion ini dan mereka tidak ada. Franco juga tidak ada." Kecemasan di wajah Cornan membuat Louisa ikut cemas. "Apa Dominic ada?" tanya Louisa. "Ada, pria itu ada di kamarnya." Tanpa basa basi lagi Louisa berlari me
Udara malam yang dingin menyusup masuk ke dalam pakaian tebal Franco. Pria paruh baya itu sekarang sudah ada di kapal bersama dengan Samuel dan Bernard. Franco mengganggu tidur nyenyak dua pria itu dah menyeret mereka ke kapal."Kita mau kemana?" tanya Samuel."Ragusa." Franco menghela napasnya."Kita hanya pergi bertiga? Yang lain?" Samuel menaikkan satu alisnya."Kita pergi bersama seratus orang yang lain." Mata Samuel langsung melebar dan berkata, "Apa kita akan menyerang Ragusa?""Jangan bodoh, kita ke sini untuk menemui sahabat Dominic. Jangan pakai nama asli kalian, mengerti." Franco memperingati Samuel dan Bernard. Dua orang pria itu hanya bisa diam saja.Samuel keluar dari badan kapal. Pria itu menyipitkan matanya tidak ada yang bisa dia lihat. Untung saja cuaca sangat bersahabat untuk berlayar. Bernard berjalan mendekati Samuel sambil memberikan pria itu rokoknya."Aku tidak merasa baik-baik saja," ucap Bernard."Aku juga. Ini kacau, Aku jauh dari Louisa." Samuel menggelengka
Sinar matahari menyusup masuk ke dalam kamar dan mengenai wajah Louisa. Tidur nyenyak wanita itu jadi terganggu akan tetapi dia langsung membuka matanya saat ia ingat kalau dirinya tidur di kamar Dominic. Louisa tidak mendapati pria itu ada di sampingnya. Mata Louisa melihat pada jam yang terpajang di dinding. masih pukul enam pagi."Dominic?" teriak Louisa. Wanita itu tidak mendengar ada yang menjawabnya. Ia bangun dari ranjang dan melihat-lihat sekitar kamar tetapi dia tidak menemukan pria itu.Louisa keluar dari kamar Dominic. Dia langsung menuju ruang tengah. Benar saja, Dominic sedang berbicara dengan Franco. mereka berbicara dengan sangat serius. Louisa memilih untuk tidak mendekat pada mereka dan dia kembali masuk ke dalam mansion. Wanita itu melangkahkan kakinya menuju kamar Samuel, akan tetapi Samuel sedang berdiri di depan pintu kamarnya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Louisa."Dia sedang ganti baju." Louisa menger
Franco menyeret dua orang wanita untuk keluar dari rumah sakit. Pria itu langsung memasukkan mereka di ke mobil bersama Jack. Franco membawa dua orang wanita itu ke mansion untuk diinterogasi. Saat sampai di mansion, Bernard sudah ada di depan halaman. Franco mengodekan agar mereka semua ikut ke area halaman tengah mansion. Jack mendudukkan dua orang wanita tahanan itu di depan Franco."Wanita seperti kalian pasti bekerja dengan orang yang penting," ucap Franco. Wanita-wanita itu hanya diam saja."Sekarang katakan padaku, siapa yang menyuruh kalian?" Tak kunjung mendapatkan jawaban. Jack dan Bernard merogoh saku baju dua orang wanita itu. Ponsel, senjata paling ampuh untuk mengetahui siapa penyuruhnya."Banyak sekali nomor tidak dikenal." Franco tersenyum miring. Dia langsung menghubungi nomor yang baru dua orang wanita itu hubungi semalam. Panggilan telepon Franco tidak kunjung dijawab."Halo? Apa tugas kalian sudah selesai?" Mata