Suara tembakan terdengar di telinga Dominic. Pria itu tengah lari sekencang mungkin. Teriakan ayahnya yang menyuruhnya lari membuatnya seperti pengecut. Hati Dominic teriris rasanya. Ia tidak kuasa mendengar jeritan kesakitan ayahnya.
"Akan aku membalaskan semuanya!" teriak Dominic.
"Akan aku balaskan rasa sakitmu ayah." Sumpah Dominic. Dia tidak rela atas penghianatan ini.
"Aku tidak akan membiarkan Marcus hidup tenang setelah membunuhmu." Mata Dominic berkilat marah.
"Dominic! Lari lebih cepat! Helikopter akan menjemput kita," pinta Franco.
Dominic hanya bisa berlari dengan dadanya yang sesak. Kaki kanannya berlumuran darah. Ia benar-benar seperti pengecut. Dari kecil ayahnya sudah mengajari Dominic cara untuk bela diri dan menembak, tetapi yang Dominic lakukan sekarang adalah berlari meninggalkan ayahnya. Franco membantu Dominic untuk berlari satu kaki. Dominic mengeratkan cengkraman tangannya di bahu Franco.
"Aku tidak bisa meninggalkan ayahku." Dominic terus berlari sambil menoleh ke belakang.
"Aku tahu! Kalau kau kembali ke sana, kita semua bisa tamat!" Franco mencoba membujuk Dominic.
"Dia ayahku! Franco! Bajingan kau!" sentak Dominic. Franco menampar Dominic dengan keras dan mengguncang tubuh pria itu.
"Kau pikir aku tega melakukan ini?" tegas Franco. Wajah pria itu marah sekaligus tersiksa.
"Aku dan ayahmu sudah seperti kakak dan adik Dominic!" Wajah Franco memerah menahan emosinya.
"Kau ingin kembali ke rumah bajingan itu? Kau ingin menyelamatkan ayahmu? Enyahlah kau, Dominic!" Franco mencoba menyadarkan Dominic. Ia berusaha menjelaskan pada pria itu kalau kembali ke dalam rumah adalah hal yang bodoh.
"Kau tidak mendengarkan kata-kataku! Kau mengajak ayahmu berdamai dengan musuhnya! Ini ide gilamu!" teriak Franco.
"Kau anak yang tidak berguna Dominic!" Franco menatap Dominic. Pria itu hanya bisa terduduk dan menyesal.
"Sekarang kalau kau ingin kembali ke sana menyelamatkan ayahmu, silakan, tapi aku akan pastikan dia sudah mati dan kau juga akan mati di sana, ibumu akan puas melihat kalian mati!" teriak Franco lantang.
★★★
Keringat dingin bercucuran di kening Dominic. Wajahnya menjadi pucat pasi. Ingatan menyeramkan datang setiap malamnya. Pria itu selalu berteriak memanggil nama ayahnya. Saat kenangan pahit itu hadir. Dia tidak punya kekuatan untuk melupakan hari dimana terakhir kalinya dia melihat ayah dan ibunya.
"Dominic! Sadarlah!" Dominic tetap berteriak dan keringat dingin terus muncul di sekujur tubuhnya.
"Dominic! Bangun!" Franco mengangkat tubuh Dominic dan mendudukkan pria itu agar dia terbangun dari tidurnya.
Dominic membuka matanya dengan rasa ketakutan dan napasnya yang memburu. Ia menelan ludahnya sendiri. Pria itu mengusap wajahnya. Ia merasa sangat lemas. Selalu saja bermimpi buruk seperti ini ketika dia sedang lelah dan merasa putus asa.
"Sialan!" umpat Dominic.
"Minumlah air ini." Franco memberikan segelas air yang ada di tangannya pada Dominic. Pria itu menatap malas Franco dia lebih memilih untuk bangkit dari tidurnya dan mengambil sebotol alkohol lalu meneguknya.
"Kau sudah terlalu banyak minum," ucap Franco.
"Sudah delapan tahun berlalu Dominic, kau masih bermimpi buruk." Franco mengambil botol alkohol yang ada di tangan Dominic agar pria itu tidak minum terlalu banyak.
"Aku ada janji dengan Zac," ucap Dominic.
"Zac? Mantan anak buah Marcus?" Franco menaikkan satu alisnya.
"Iya." Dominic menatap Franco serius.
"Apa kau sudah gila? Kau percaya dengan Zac? Bagaimana kalau dia hanya menjebakmu?" Franco tidak bisa menerimanya keputusan konyol Dominic.
"Tidak, dia ada dipihak kita, Marcus menghianati Zac, dan sekarang Zac akan membantu kita," terang Dominic.
"Dominic, kau mengatakan padaku, kau tidak ingin berurusan dengan Marcus lagi, lalu kenapa sekarang kau ingin melawan Marcus." Franco memegangi kepalanya. Dia sangat pusing dengan Dominic.
"Kau bisa lihat aku Franco, aku mimpi buruk setiap malam! Aku ini pengecut!" Dominic terus menyalakan dirinya sendiri.
"Aku tidak mau bersembunyi seperti ini, Sisilia milikku dan rumah besar keluargaku di Napoli, itu semua bukan milik Marcus. Akan aku rebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku," terang Dominic.
"Ini akan sangat berbahaya Dominic, jangan terburu-buru." Franco mencoba memperingati Dominic. Mengalahkan Marcus bukanlah hal yang mudah seperti membalikan tangan.
"Aku tidak akan mati sebelum membunuh Marcus," sumpah Dominic. Ia meninggalkan Franco.
★★★
Dominic mengendarai mobilnya. Ia menuju apartemen Zac. Ia melirik jam tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Pria itu menatap malas apartemen di depannya ini. Dari luar, apartemen itu terlihat seperti bangunan biasa yang tidak mempunyai ketertarikan. Terbesit di benak Dominic pertanyaan. Bagaimana bisa Zac tinggal di apartemen kelas bawah seperti ini? Bukankah dia orang kaya? Atau kekayaannya sudah habis?
Dominic memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam apartemen. Ia berjalan menuju lift. Di depannya sudah ada seorang wanita yang memakai seragam kerja. Mirip pelayan hotel. Wanita itu menekan tombol lift tidak sabaran.
"Ada apa dengan lift ini!" seru Louisa. Ia menekan tombol liftnya berkali-kali. Sejujurnya tombol lift itu sudah rusak. Louisa mengepalkan tangannya. Saat ia ingin menonjok tombol liftnya. Jari Dominic menekan tombol itu dan liftnya bergerak. Wanita itu terkejut. Untung saja ia tidak jadi melayangkan tangannya.
"Jangan melampiaskan kekesalanmu pada tombol lift," bisik Dominic di telinga Louisa. Wanita itu bisa merasakan tubuh Dominic di belakangnya. Louisa menatap Dominic dari samping. Ia bisa melihat wajah tegas pria itu.
Dering gawai Louisa menyadarkan dirinya dan Dominic. Wanita itu langsung merogoh tasnya dan menerima telepon dari ibunya. Louisa hanya menatap gawainya. Ia tidak ingin menerima panggilan telepon itu. Ibunya hanya akan meminta uang. Louisa mengusap layar gawainya dan menempelkan gawai itu di telinganya.
"Louisa mana uang yang kau janjikan?" tanya Jane. Louisa hanya bisa mengembuskan napasnya.
"Aku tidak pernah menjanjikan uang padamu, Mom." Selalu saja tentang uang.
"Louisa! Aku butuh uang untuk makan! Aku juga harus membayar sekolah adik-adikmu! Kirimkan uangmu padaku!" teriak Jane. Louisa sudah terbiasa dengan ini. Ia menjauhkan gawainya dari telinganya. Dominic bahkan bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Jane.
Pintu lift terbuka. Louisa dan Dominic masuk ke dalam lift. Dominic bisa melihat wajah lelah wanita itu. Bajunya yang berantakan. Lingkar hitam di mata Louisa, meskipun wanita itu memakai riasan. Wajah lelahnya tidak bisa ditutupi karena matanya sudah lelah.
"Mom, aku sudah mengirimkan bayaran kerjaku padamu dua hari yang lalu," ucap Louisa.
"Aku tidak mau tahu Louisa! Aku ingin uang." Jane berteriak di telepon.
"Kau kalah berjudi? Kau habiskan uangku untuk berjudi!" Louisa merasa lega meneriaki ibunya. Sesaat Jane tidak mengatakan apapun. Louisa tahu ibunya suka bermain judi.
"Aku mohon padamu berhentilah, aku miskin di sini Mom, aku berkerja dan kau berjudi di sana?" lirih Louisa. Ia mengusap wajahnya sendiri. Panggilan telepon itu langsung terputus. Louisa menahan air matanya. Ia bersandar di lift. Louisa meratapi kakinya yang sudah lelah.
Pintu lift terbuka. Mata Louisa menangkap sesosok wanita pemilik apartemennya. Ia lupa membayar sewa. Louisa menggigit bibir bawahnya.
"Wah! Kau tidak bisa masuk ke apartemenmu, bayar terlebih dahulu," ucap wanita itu.
Dominic hanya menatapi Louisa dan wanita itu. Ia muak dengan dua wanita di depannya itu. Dominic menekan tombol liftnya sehingga pintu lift tertutup dan Louisa tidak keluar dari lift. Wanita itu terduduk di lantai lift. Ia benar-benar lelah. Dia mengeluarkan gawainya dan menghubungi nomor atasannya.
"Selamat malam, Pak," ucap Louisa.
"Apa aku bisa lembur saja hari ini?" Louisa menghela napasnya.
"Ya, aku akan kembali bekerja," terang Louisa. Ia mengusap wajahnya.
Saat pintu lift terbuka Dominic berjalan keluar. Tangan pria itu menjatuhkan beberapa lembar peso di paha Louisa. Wanita itu terkejut dan menatapi Dominic.
"Semoga harimu menyenangkan." Dominic menepuk bahu Louisa dan pria itu keluar dari lift.
Louisa menatapi uang di pahanya itu. Ini membuatnya terlihat seperti pengemis. Dia tidak tahu harus apa. Ia hanya menatapi uang itu dan mengambilnya.
Louisa keluar dari lift. Ia berjalan menuju lobby apartemen. Wanita berambut hitam panjang itu langsung mengidik ngeri melihat pria bertato sedang menatapnya tajam. Buka tato atau tubuh kekar pria itu. Melainkan sifat psikopatnya yang membuat Louisa takut padanya. Jason, pria gila yang menjadi teman setia ayah Louisa saat mereka sama-sama dipenjara akan tetapi Louisa benar-benar takut pada Jason. "Mau ke mana kau malam-malam?" tanya Jason. "Aku mau kerja." Louisa berjalan melewati Jason mencoba untuk tidak menghiraukan pria itu. Dari belakang, Jason meraih tangan Louisa dan mencekik leher Louisa lalu mendorong wanita itu ke tembok. Wanita itu sangat benci ketika Jason menyentuhnya. Rasanya ia ingin menghabisi pria itu tetapi Louisa terikat dengan janji yang dia buat dengan Jason. Louisa sudah mengenal pria itu ketika berkunjung dipenjara.
Part 3 MoneyLouisa membawa tas berukuran besar berisi uang itu. Ia sendiri tidak tahu berapa banyak uang yang ada di dalam tas itu. Tepat pukul tiga pagi ia kembali ke apartemennya.wanita itu mengetuk pintu kamar pemilik apartemennya. Ia mau membayar sewa agar bisa tidur dengan nyenyak tanpa ada gangguan.Tanpa peduli ini masih terlalu pagi untuk bangun. Louisa tetap mengetuk pintu semakin kencang. Sampai akhirnya, Louisa melihat knop pintu berputar dan menampilkannya seorang wanita dengan wajah khas orang mengantuk."Mau apa jam segini?" tanya wanita itu."Madam, aku hanya ingin membayar sewa, ini aku bayar sewa kamarku untuk enam bulan ke depan." Louisa mengambil uang dengan serakah dan ia berikan pada Madam. Mata wanita itu langsung be
Louisa mengembuskan napasnya tidak tenang. Wanita itu memasukkan kartu ATM dan menekan nomor PIN. Ia mentransfer uang yang ia dapatkan semalam bersama Jason pada ibunya. Louisa tidak tenang kalau tas besar berisi uang itu terus ada padanya, wanita itu menyetor tunai uang itu dan mengirimkan uangnya pada ibunya.Semalam Louisa tidak bisa tidur dengan tenang. Fuck you Jason! Ia terus mengumpat dalam hatinya dan pikirannya tertuju pada Dominic Theodoretti dan Marcus Theodoretti. Louisa terus berpikir kenapa Marcus mencuri uang Dominic. Louisa yakin kalau dua pria itu ada hubungan darah karena memiliki nama marga yang sama."Oh, God!" lirih Louisa. Ia membenturkan kepalanya
Napas Louisa semakin tersengal. Wanita itu berjuang untuk bernapas sementara itu Zac berusaha untuk menenggelamkan wajah wanita itu di bathtub. Louisa mencoba melawan. Tapi lama kelamaan wanita itu menjadi lemas. Wajahnya pucat karena tidak mendapatkan cukup oksigen."Zac, cukup," ucap Dominic. Pria itu bisa melihat wajah sakaratul maut Louisa."Kenapa harus berhenti, wanita ini belum mati." Zac mengangkat leher Louisa. Wanita itu langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dadanya sakit."Kalau dia mati, itu semakin menyulitkan kita, Jason sudah mati, kalau wanita ini mati juga maka pihak hotel bisa curiga padamu lalu aku." Dominic menatap bodoh Zac."Tenang saja, aku akan mengurus mayat Jason dengan benar," tutur Zac.
Louisa duduk di dalam mobil Dominic tidak tenang. Ia menundukkan kepalanya dan menarik kuat-kuat rambutnya. Dia frustrasi. Kenapa keadaan semakin memburuk. Netra Louisa melirik Dominic yang duduk tenang seakan tidak terjadi apapun sedangkan bagi Louisa bernapas saja sulit."Kita akan ke mana?" tanya Louisa. Wanita malang itu menatap Dominic."Yunani." Louisa melebarkan matanya."Kau gila! Mau apa ke sana!" Kepanikan yang dirasakan Louisa bukalah hal yang penting bagi Dominic."Kenapa kau sangat banyak bicara." Tatapan menusuk dari Dominic membuat Louisa semakin takut. Wanita malang itu hanya bisa menghela napasnya."Kenapa hidupku semakin rumit di saat aku ingin hidup tenang!" gerutu Louisa. Wanita itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya."Itu karena kesalahanmu sendiri. Kau sendiri yang membuka pintu kamar hotelku. Matamu sendiri yang melihat kematian Jason. Aku tidak bisa
Louisa menelan ludahnya. Dia berjalan bersama Raulo yang sudah tua dengan sangat pelan. Pria paruh baya itu mengantar Louisa ke ruangan khusus. Sepanjang perjalanan mata wanita itu melirik ke sana dan kemari. Dia benar-benar masuk ke dalam kastil kuno yang menyeramkan. Tidak ada penerangan selain dari obor yang dibawa Raulo."Wah! Kenapa di sini sangat seram." Louisa menyentuh lehernya yang kaku."Kalau sudah terbiasa kau pasti berani." Raulo tersenyum pada Louisa."Aku heran kenapa kau tidak menangis dan berteriak seperti gadis-gadis yang sebelumnya." Kaki Louisa terpaku. Dia menatap Raulo serius."Apa maksudmu gadis-gadis sebelumnya?" Louisa melotot pada Raulo."Ada seratus orang wanita di kastil ini. Mereka dikurung di ruangan bawah tanah," terang Raulo."Apa sekarang kau juga ikut-ikutan menakuti aku?" Raulo menggelengkan kepalanya."Jadi ada seratus wanita di kastil ini? Lalu aku yang ke berapa
Louisa membuka matanya. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak di sofa. Wanita itu melirik sekitarnya banyak wanita yang sudah bangun. Louisa tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini."Sampai kapan kau mau tidur?" tanya seorang wanita berambut pirang. Mata wanita itu menatap Louisa tidak suka."Cepat ganti bajumu." Tatapan sinis wanita itu membuat Louisa mual."Hei anak baru, siapa namamu?" tanya seorang wanita yang duduk tidak jauh dari Louisa."Aku Louisa, kamu?" Louisa mengulurkan tangannya."Katherine," ucap wanita itu."Si pirang itu memang sangat cerewet." Katherine menunjuk pada wanita pirang yang tadi mengoceh pada Louisa."Iya, dia menyebalkan dan kuno kurasa," bisik Louisa."Iya, Daphne yang malang. Dia berasal dari Keluarga yang sama dengan Raulo, tapi dia berkhianat pada Dominic. Dia hampir dibunuh tapi Raulo menyelamatkannya," terang Katherine."Wah, kau
Daphne berjalan sambil menundukkan kepalanya. Louisa tersenyum miring melihat wanita itu tertunduk malu. Daphne berlindung di belakang Raulo. Dia ketakutan. "Maafkan Daphne, aku berjanji, dia tidak akan membuat keributan lagi." Raulo membungkuk pada Dominic. "Raulo, aku juga bisa menggantungmu kalau kau terus melindunginya. Aku tidak percaya lagi dengan wanita dibelakangmu itu lagi. Bahkan setelah dia melakukan seribu kebaikan untukku, aku tidak akan percaya dia!" Louisa menelan ludahnya. Ia ingat bagaimana dia merampok uang Dominic waktu itu bersama dengan Jason. Seketika itu Louisa berharap Dominic lupa akan hal itu. "Dia hanya mengatakan kalau kau ada di Meksiko pada Marcus. Daphne tidak tahu kalau kau bermusiknya denganya." Raulo berusaha untuk meredam kemarahan Dominic. "Urus para wanita ini Raulo, aku tidak mau ada keributan, kurang saja mereka, aku muak!" Dominic pergi begitu saja. Pria itu tidak peduli lagi. Louisa hany