Bisakah Akira mengumpati hari ini? Hanya tiga hari mereka menikmati bulan madu atau bisa disebut sebagai liburan. Ya. Tidak ada hubungan intim yang terjalin di antara ia bersama suaminya, tiga hari belakang.
Selalu saja ada hal—urgent—yang terjadi di unit mereka atau bagaimana bagian layanan kebersihan datang. Orang yang datang berbeda. Terakhir, seorang pria yang datang dan jika dipikir, kenapa mereka datang tepat di saat Akira ingin memadu kasih bersama suaminya?
“Kita harus pulang sekarang juga?” tanya perempuan itu menatap lemah Can yang sibuk mengemasi pakaiannya ke dalam koper.
Pria itu membiarkan Akira duduk di sisi ranjang dan tidak terlalu menggubris sorot lain manik coklat itu.
“Salah satu staf keungangan nyaris membuat kerugian besar dan aku harus turut andil menindaklanjuti juga memperbaiki beberapa hal. Itu bukan perkara mudah,” jelasnya.
“Menurutmu bulan madu kita tidak penting di band
“Aku tidak tau jika kau memutuskan untuk pulang lebih cepat.”Bahkan, Ayse pun tidak mendapatkan pemberitahuan lebih dulu mengenai keputusan Can.Ia duduk tenang di single sofa, memerhatikan Can yang berbaring di sofa panjang, meluruskan kaki dengan menumpukan lengan kirinya di atas kepala, menutup matanya di sana. Sudah dua menit berlalu, tapi pria itu seolah mengembalikan pikiran jernihnya.“Can?” panggil Ayse.“Apa aku harus menceraikan Akira?”Pertanyaan itu sukses membuat bibir Ayse terbuka. Manik hazelnya membeliak, tidak mendapati Can menurunkan lengannya supaya keduanya bisa bersitatap dan memahami respons raut muka masing-masing.Napas perempuan itu tercekat. Ia mengerjap berulang kali, meyakinkan jika ucapan Can bukanlah sebuah angin lalu. “Kau membual, Can? Ini tidak lucu sama sekali,” cetusnya dengan intonasi sedikit tinggi, tampak serius dan merasa tidak nyaman dengan p
Can menutup pintu Range Rover, lalu menatap ke arah rumah mewah Keluarga Muammer. Ada sebersit ragu untuk datang ke rumah ini, terlebih Akira sedang tidak baik.“Aku akan mencoba terlebih dulu,” putusnya segera menaiki anak tangga ke pintu utama rumah Akira.Di dalam pelayan sudah menyambut kedatangannya, membantu melepaskan mantel milik Can. Tiba-tiba, suara yang familier tertangkap oleh indera pendengarannya.“Can?!”Pria itu menoleh ke lantai atas, melihat Akira menyunggingkan senyum manis. Di belakangnya, Nyonya Erdem mengulas senyum hangat dan membiarkan Keponakannya menuruni anak tangga. Ia berusaha memperlambat langkah kakinya ketika Nyonya Erdem memperingati Akira takut terjatuh.“Can ...”Tubuhnya tidak bergerak sama sekali ketika Akira sudah mendekapnya erat. Ia diam. Membiarkan Akira menangis kecil dan berucap bergetar, “Maafkan aku yang terlalu egois, Can ...”
Nyonya Sener melihat Can yang sibuk mengurus beberapa berkas di meja kerja, tepat di ruangan yang khusus menjadi ruang kerja putranya di rumah.“Apa Mama menganggumu, Can?”Pria itu mengalihkan pandangan ke arah pintu dan tersenyum. “Tidak sama sekali, Ma. Aku hampir selesai dan hanya memeriksa beberapa berkas untuk kubawa nantinya ke Istanbul,” jelasnya membuat Nyonya Sener tersenyum kikuk.Ia melangkah masuk dan mendapati pria itu memang sedang bekerja. Wanita itu duduk, menatap lekat putranya dengan raut yang terlihat cukup berbeda. “Kau akan membawa Ayse ikut bersamamu ke Istanbul?”Can yang akan membuka lembaran selanjutnya dalam berkas yang dipegangnya berhenti. Ia menilik manik mata yang berbeda itu. Rambut mereka berwarna sama, hitam. Sedangkan manik mata Can menurun dari Tuan Sener. Perpaduan yang serasi.“Aku ingin mengulang kebersamaan kami yang tertunda di sana,” balasnya tanpa menyangka
Kebohongan yang diucapkan Can adalah ketika pria itu akan pergi ke kamarnya setelah beristirahat sebentar di unit Ayse. Ia ingin berada di unit Ayse setelah penerbangan dari Ankara menuju Istanbul.Tapi, pria itu justru mandi dan mengganti bajunya di kamar Ayse dan sekarang sibuk berada di sofa kamarnya.Laptop dan beberapa berkas sedang menemani malamnya di saat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.“Kau tidak kembali ke unitmu?” tanya Ayse mengambil duduk di samping Can.Ia sudah bosan duduk di atas ranjang, memainkan ponselnya. Tapi, melihat Can yang sibuk dengan pekerjaannya dan tidak sedikitpun membuka pembicaraan pada Ayse, cukup membuat perempuan itu bingung sekaligus merasa terabaikan.Ayse jarang sekali diabaikan seperti ini. Perempuan itu cukup merasa asing dengan atmosfer yang pria itu ciptakan.“Aku harus menyelesaikan beberapa hal terlebih dulu, lalu aku akan kemba
Ayse memutuskan untuk mengunjungi Grand Baazar, Istanbul, Turki.Ia ingin mengintip kembali kemegahan dari pasar tertua dan terbesar di dunia. Seingatnya, kali terakhir ia pergi ke sini adalah hari terakhir sebelum ia dan Can memutuskan kembali ke Ankara setelah menikmati keindahan Bosphorus.Perempuan itu mengulum senyum. Ia mengulurkan tangan dan meraih beberapa pernak-pernik aksesori yang menarik perhatiannya.“Aku ambil dua gelang ini,” ucap Ayse mengangsurkan gelang yang berwarna sama.Evil eye atau mata setan.Souvenir yang terkenal di Turki dengan perpaduan warna biru tua, putih dan biru muda dalam bentuk bulat. Konon sebagai jimat pelindung dari nasib buruk. Sebuah kebudayaan masyarakat tradisional Turki.Nama khas di sana adalah Nazar Boncugu.“Untuk pasanganmu, Nona?” tanya seorang lelaki tua yang sibuk membungkus pesanan Ayse, meskipun ia mengulum senyum,
Can memandang lekat gelang yang lima belas menit lalu diberikan Ayse. Mereka menyelesaikan makan malam dan perbincangan ringan, lalu setelahnya Can memutuskan kembali ke unit. Sekarang, ia berdiri di pembatas balkon, menikmati keindahan Kota Istanbul di malam hari.Beberapa keluarga terdekatnya berada di kota ini. Tapi, ia hanya mengunjungi sesekali ataupun sekadar urusan pekerjaan.Benar yang dikatakan Ayse. Ia memang bertandang untuk kali pertama setelah kepulangannya dari negeri orang, datang ke sini hanya untuk mencari Ayse.Masih segar diingatannya mengenai tubuh perempuan itu yang nyaris dilecehkan di salah satu klub ternama. Pria itu membuang napas kasar, masih tidak terima perlakuan pria lain yang selalu mencari celah untuk membuat Ayse bisa mendapatkan mimpi terburuknya.Ia tidak pernah suka melihat pria yang merusak tubuh perempuan lain. Can selalu menekan dalam benaknya, tapi justru ia harus melakukannya
“Berapa lama aku harus membiarkan mataku tertutup, Can?”Ayse meraba penutup mata, sekaligus mengandalkan indera pendengarannya. Ia yakin Can duduk di sampingnya saat mobil yang sepertinya dikendarai sopir melaju entah kemana.“Tunggu sebentar lagi,” bisik pria itu dan Ayse terkesiap mendapati bibir tipis itu mendarat singkat di bibir ranumnya.Can mengulum senyum mendapati wajah Ayse memerah.“Aku tidak bisa melihatmu dan membalas perlakuan jahilmu, Can,” balas perempuan itu sedikit mencebik.Tawa kecil Can terdengar, mengisi keheningan mobil. Jemari tangannya dengan sigap menekan tombol penyekat supaya keintiman mereka tidak mendapatkan interupsi yang membuat Can kesal. Malam ini mereka akan datang ke dermaga.Mobil melaju dengan kecepatan sedang.“Can?!”Ayse terpekik ketika ternyata Can membawanya duduk di atas pangkuan pria itu.
Relung hati Akira seolah tertusuk ribuan jarum. Tatapannya tidak lepas menatap kedua orang di hadapannya. Senyum getirnya pun terus terpatri bersama langkah kakinya yang semakin maju.“Kenapa kau melakukan ini semua, Can?” suaranya terdengar putus asa.Air mata perempuan itu turun deras dengan sakit hati yang semakin kentara. Bayangan ciuman mesra mereka dan bagaimana langkah berat itu semakin maju, membuat lututnya kian lemah. Dua orang di hadapannya sudah menggoreskan luka dalam dirinya.Luka yang tidak terlihat. Tapi mampu membuat perasaannya sesak.Plak!Tamparan keras dan suara lantang Can tidak berarti apa pun saat telapak tangan Akira mendarat keras di pipi Ayse. Rasa panas di pipinya menjalar bersama suara tangis yang terpekik begitu menusuk perasaan terdalam Ayse.“APA KAU TIDAK TAU TELAH BERSAMA PRIA YANG SUDAH MEMILIKI SEORANG ISTRI?!”“KAU