Tubuh Ayse membeku, memerhatikan pria bermanik coklat itu mulai beranjak dari tempatnya duduk.
Can berjalan tegap dan perlahan, pria itu sudah berdiri menjulang di hadapan Ayse. Perempuan itu sadar napasnya memburu bersama detak jantung yang bertalu kuat. Pria itu terlihat berbeda saat usianya masih remaja.
Di hadapannya, Can bertransformasi menjadi pria tampan—dewasa dan berkharisma—itu yang terlihat di majalah bisnis dan teve. Kehidupan pria itu tidak luput dari perhatian media.
Tanpa diduga, dagu Ayse ditarik lembut Can. Saat itu pula manik hazelnya membeliak mendapati Can menempelkan permukaan bibir keduanya. Sedangkan mata Can sudah tertutup, merasakan betapa lembutnya bibir ranum yang semalam ia rasakan kembali.
Jantung keduanya berdegup kuat bersama perasaan berdesir dalam tubuh mereka.
Can masih menunduk, meraih dagu Ayse untuk berbagi sentuhan yang pernah mereka lakukan.
“Can ...” desah perempuan itu saat ia terlalu lemah menolak pagutan Can yang semakin berani.
Pria itu menggigit bibir bawah Ayse, membuat pria itu mendapatkan aksesnya mengeksplor di dalam sana, menghadirkan perasaan yang semakin tidak kuat dalam tubuh Ayse.
Can melepas pagutan di saat ia sudah puas melakukannya. Pria itu menjauhkan wajahnya tanpa berniat melepaskan tangannya yang sudah memegang sisi wajah Ayse.
Pandangan keduanya bertemu. Ayse terpaku. Napas perempuan itu tidak keruan. Terlihat dari bagaimana dadanya naik turun.
“Aku mencintaimu, Ayse,” ucap Can menghadirkan detak jantung bertalu dan manik hazel itu yang membeliak sempurna.
Napas Ayse tercekat dengan maniknya yang mengerjap, berusaha menyadari jika ucapan itu bukan kalimat biasa. Karena tubuhnya sudah merespons lebih jauh.
Can menumpukan lututnya di lantai. Meraih perlahan jemari tangan Ayse dan mengenggamnya lembut.
Tatapan keduanya bertemu.
“Kau tau, Ayse? Kepergianmu membuatku terluka. Banyak sekali kebencian yang ingin aku lontarkan.”
“Aku tidak bisa mencarimu. Kau pergi jauh sampai tiga bulan lalu aku mendapat kabar, kau menatap di Nursultan, bukan membiarkan diriku kembali mencarimu di wilayah Ankara.”
Manik hazel itu mengerjap. Merasakan tangan Can mengenggam jemari tangannya erat.
Pria bermanik coklat itu mencium jemari tangan Ayse. “Aku nyaris lelah mencarimu, Ayse,” bisik pria itu membuat perasaan Ayse bergetar.
Air mata itu membumbung tinggi di pelupuk matanya. Tapi ia tidak bisa menumpahkannya. Terlalu sulit dengan keadaan mereka yang sudah berbeda.
“Saat diriku berusia tujuh belas tahun. Aku menganggapmu sebagai teman perempuanku. Tapi, semenjak perpisahan di antara kita terjadi. Ketika aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku ke Belanda, saat itu aku tau, aku menjatuhkan hatiku sepenuhnya padamu, Ayse.”
Jantung Ayse bergemuruh cepat.
Suara Can begitu lemah. Getir terdengar di telinganya.
“Aku berusaha menyelesaikan pendidikan gelar Magisterku lebih cepat. Dipikiranku hanya kau seorang, Ayse. Tapi apa yang aku dapatkan? Keegoisanmu meninggalkanku tanpa jejak di empat tahun terakhir aku meninggalkan Ankara,” ungkapnya mengetatkan rahangnya.
“Berhenti mengatakannya, Can!”
Ayse tidak tahu. Ia bingung dengan perasaannya sampai terlalu berani beranjak dari duduk dan melangkah pergi dari hadapan Can.
Sampai suara pria itu menghentikan langkahnya yang belum jauh dari Can.
“Bagaimana dengan perasaanmu, Ayse?! Aku mencintaimu dan terlalu banyak kenangan yang membuat aku tidak bisa menghapus cintaku untukmu hingga detik ini.”
Tubuh Ayse membeku. Bibirnya bergetar. Ia mengepalkan kedua tangan saat kenangan manis mereka menyeruak.
Air matanya lolos, membasahi pipi kanannya.
Perempuan itu berusaha meredam isak tangis dengan menggigit bibir bawahnya. Tangan kanan Ayse ia letakkan tepat di bagian jantungnya.
Sakit dan sesak.
Itu yang dirasakannya.
Namun, tangan kekar itu sudah memeluknya dari belakang. Tubuh Ayse menegang. Merasakan embusan napas Can menerpa leher jenjangnya.
Pria itu mencium ceruk leher Ayse dan mengeratkan pelukannya.
“Katakan sesuatu yang berasal dari lubuk hatimu, Ayse,” bisik Can bergetar.
“Aku menunggumu, membiarkan hatiku tetap mengisi namamu di sini. Tepat di relung hatiku,” lanjutnya dengan penuh sesak.
“Usiaku belum bisa membuatku mengerti tentang segala perasaan yang hadir di antara kita saat remaja. Sekarang aku cukup dewasa untuk memahami bentuk perasaan yang seiring berjalannya waktu ini. Sangat menyakitkan tanpamu, Ayse.”
Bahu Ayse bergetar. Tangis perempuan itu pecah.
Ia tidak bisa membendung kembali perasaannya.
Perempuan itu membiarkan tubuhnya dibawa berbalik, menghadap pada Can yang memandangnya sendu.
Ayse menangis. Menunduk dengan segala penyesalan dalam dirinya.
“Kenapa kita harus dipertemukan kembali, Can?”
“Aku ...”
“Aku tidak mungkin bersamamu. Kau berasal dari keluarga terpandang dan aku?”
“Bahkan, diriku sendiri tidak pernah tau dari mana aku dilahirkan. Aku seorang bayi perempuan yang ditemukan di pinggir jalan, lalu dibesarkan oleh kerendahan hati Ibu panti.”
“Kemudian aku diberikan pendidikan yang layak oleh keluargamu atas nama Yayasan,” ungkapnya dan pasrah saat tubuh tinggi itu meraih tubuhnya, mendekap Ayse dengan kenyamanan yang pernah didapatkannya.
“Cukup katakan perasaanmu padaku, Ayse,” ucap Can mengeratkan pelukannya.
Ayse menggeleng lemah di antara tangis pilunya.
“Jika kau mengetahui keberadaanku, maka—“
“—Aku tidak mengizinkanmu hidup bersama pria itu, Ayse!”
Ayse terdiam ketika Can mengurai pelukan mereka. Pria itu memegang erat kedua bahu Ayse, menatap dalam manik hazelnya, terkunci pada pria dengan manik coklatnya.
“Aku dulu tidak bisa memahami sesuatu dengan baik. Tapi, aku tidak lupa dengan bagaimana tatapan rindumu, tatapan di saat kita baru saja berciuman untuk kali pertama.”
Ayse bungkam dengan perasaan tidak keruannya.
“Katakan perasaanmu yang sebenarnya terhadapku tanpa memedulikan statusmu sebagai tunangannya, Ayse!”
Perempuan itu menatap lekat Can dengan gelengan tegasnya. Ia melepas kasar tangan Can dan menatapnya dengan tajam. “Kau tidak lupa siapa dirimu, Can?”
“Kau bahkan akan menikah dengan tunanganmu juga, kan?”
Ayse tidak mendapati pria berambut hitam itu terkejut. Justru, sekali lagi bibir tipis itu menempel di permukaan bibir ranumnya.
Masih sama. Jantung itu kembali bertalu lebih cepat bersama tangan Can yang meraih pinggangnya.
Can memeluk erat pinggang Ayse, membawa bibirnya untuk mengulum lembut dan mesra candunya.
“Sayang ... Aku merindukanmu. Ini takdir kita,” bisik Can menggetarkan perasaan Ayse.
Kaki perempuan itu melemah dan jika saja Can tidak mendekapnya erat, mungkin ia sudah lemas dan terduduk di lantai.
Can memerhatikan bibir yang baru saja ia rasakan kesekian kali hingga pagi ini. Rasanya tidak pernah membosankan.
Jemari tangannya mengusap bekas salivanya di sana. Senyum pria itu membuat Ayse terpaku.
Pesona seorang Yavuz Can Sener tidak bisa terelakkan bahkan pudar.
“Kau cukup mengatakan tentang perasaanmu padaku, Ayse.”
“Jujur dan katakan apa yang memang sudah kita rasakan sejak dulu,” tambahnya dengan pandangan tegas.
Ayse menatap lekat pria dengan tinggi 189 senti itu. Sorot matanya penuh keseriusan dan melumpuhkan segala kebekuan hati dan keegoisan Ayse.
Ia menitikan air mata.
“Ini semua salah, Can,” bisiknya nyaris tidak terdengar.
Can menggeleng cepat. “Ini kesempatan yang selalu aku tunggu, Ayse.”
Ayse terdiam. Bibirnya bungkam dan ketika mereka bersitatap, Can berkata, “Apa kau memang menganggapku tidak lebih dari seorang teman saat usiamu lima belas tahun, Ayse?”
“Saat aku harus meninggalkanmu?”
Lidah Ayse kelu. Matanya mengerjap dan tidak sanggup menatap Can.
“Ucapkan dengan tatapan yang tertuju pada mataku, Ayse,” tekan Can dengan suara tegasnya.
Ayse tertegun. Ia memberanikan diri memandang pria berparas tampan itu. Ia merasakan kekhawatiran mendapati tatapan teduh itu.
Masih sama.
Tatapan Can untuk Ayse.
Ia menggigit bibir bawah, berusaha tidak bergetar. Namun, air mata kembali lolos padanya sampai Ayse menggeleng lemah.
“Aku tidak bisa membohongi perasaanku, Can.”
“Apa yang hari ini kau katakan. Aku turut merasakannya.”
“Di saat aku semakin memahami tentang dunia dan sebuah bentuk perasaan. Semua tertuju pada kebersamaan kita dan menghadirkan kerinduan yang menggebu.”
“Secuil kesempatan ingin bertemu denganmu pernah tersemat dalam hatiku. Aku ...”
Bibirnya bergetar.
Ayse merasakan detak jantungnya kembali bertalu kuat.
“Aku mencintaimu, Can ...”
**
Silakan tinggalkan review jika suka sama cerita Beautiful Fault. Jangan sungkan juga untuk kunjungi Instagram Alice di @jasmineeal
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
“Tolong, katakan di mana Can sekarang, Nyonya?”Sebuah gelengan lemah dari Nyonya Sener dan tatapan kejujuran itu membuat Nyonya Erdem mengembuskan napas panjang. Ia membuang pandangan, tidak tahu harus bertanya lebih jelas pada siapa di saat Keponakannya sendiri enggan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.“Ada apa Anda menanyakan keberadaan putra kami, Nyonya?” tanya Tuan Sener, tidak mengerti saat menyambut kedatangan wanita itu yang bingung.Tuan rumah tersebut berinisiatif membawa tamu, sekaligus keluarga dari pihak menantu mereka untuk berbincang di ruang keluarga. Embusan napas itu kembali terdengar dan sorot mata Nyonya Erdem begitu tegas.Nyonya Sener tidak banyak bicara, jika saja kemungkinan di dalam pikirannya tidak singgah terlalu lama. Ia meragukan jika semuanya perlahan dilakukan Can secara ‘terang-terangan’. Raut wajah Nyonya Erdem terlihat jelas dan Ibu satu anak itu berusaha tidak mengetahui
“Selama aku memimpikan sebuah pernikahan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mempersunting dua perempuan.”“Lalu, kenapa pemikiran aneh itu kau cetuskan? Apa bisa menjadi jalan keluar dari setiap hal yang sudah membuatku muak berada dalam pernikahan menyesakkan ini?”Ayse menggigit bibir bawahnya dan berusaha menahan desakan diri supaya tidak berkaca-kaca. Ia bisa melihat raut kekecewaan dari Can yang perlahan masuk ke dalam kamar. Sorotnya menyatakan jika pria itu sedih dengan ungkapan Ayse yang semakin menyulitkan Can keluar dari lubang yang sama. Ia ingin bebas, meskipun akan sulit karena memikirkan satu nyawa yang akan hadir.“Aku sudah berniat menceraikan Akira, tapi mendengar semua penuturanmu dan rasa sedihku juga terhadap calon anakku. Bagaimana aku bisa lebih baik untuk berpikir? Sejauh ini aku masih bertahan karena kau yang terus mengingatkanku, Ayse.”Perempuan itu terdiam.Henin
Ayse keluar dari apotek, mengeratkan mantel panjang yang membalut tubuh rampingnya. Ia menggigit bibir bawah, merasa sesak dalam hati dan juga denyutan di kepala. Seharian ia menunggu Can mengabarinya. Tapi, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya tenang. Alhasil, dirinya mengabaikan makan dan merasakan tubuh lemah.Ia menggerakkan tangan, menghentikan taksi yang lewat dan segera masuk, menyebutkan di mana gedung apartemennya berada. Di dalam mobil, ia berusaha untuk tenang, meskipun pelupuk matanya berkaca-kaca.Ayse bahkan tidak bisa menghubungi nomor ponsel milik Can. Ia mengembuskan napas gusar. Berusaha tenang dan harus kembali sehat supaya besok pagi ia bisa pulang ke Ankara.“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih telah mengantarku sampai ke sini,” ucapnya tersenyum manis, dibalas anggukan dan sapaan ‘selamat malam’ dari sang sopir ketika taksi sudah singgah di depan lobi.Ayse meringis pelan, masuk ke dal