Ayse menerima cinta dan kesetiaan yang ditawarkan Can. Pria yang sejak dulu sudah menempati posisi terbaik di dalam hatinya. Sedangkan ia tahu, dirinya sudah bertunangan dengan Akman. Begitupula Can yang sudah memiliki Akira. Kemudian cinta mereka terbuka lebar saat Akman justru berselingkuh dengan sahabat baik Ayse. Membuat cinta mereka semakin membuncah bahagia. Namun, pada akhirnya Can tidak bisa melanjutkan hubungan tersebut. Karena pria itu harus mempertanggungjawabkan kesalahan yang tidak disadarinya pada Akira, mempertaruhkan hubungan Can bersama Ayse, cinta pertamanya. Bagaimana hubungan rumit mereka berakhir, di saat Can dan Ayse masih memiliki perasaan yang sama?
View MoreTubuh Ayse menegang. Dengan gemetar ia meremat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa helaian pakaian. Ia menelan saliva susah payah. Keringat dingin itu sudah terasa di keningnya.
“Kau sudah bangun, Ayse?”
Suara bariton itu membuat pandangan Ayse langsung teralih ke sumber suara. Ia membeliak. Mendapati pria bertubuh tinggi di depan pintu hanya mengenakan celana jeans.
Wajahnya bersemu melihat perut liat dan dada bidang itu tercetak sempurna. Dulu, saat usia pria itu menginjak tujuh belas tahun, tubuhnya tidak terlihat sangat seksi seperti sekarang.
Meskipun untuk rerata usia tersebut, sudah mampu membuat perempuan di sekolahnya mengidolakan pria berdarah Turki itu. Tidak sedikit perempuan yang terpesona, membanjiri sosial media seorang Yavuz Can Sener.
“Apa yang kau lakukan di sini, Can?” cicitnya ketika pria berdarah Turki itu semakin masuk ke dalam.
Perempuan berambut coklat itu tertegun Can mengulurkan satu gelas berisi air putih. “Ambil dan minumlah,” ucapnya dengan lembut.
Manik hazel itu mengerjap, menatap bingung Can, sekaligus memperlihatkan raut takut sekaligus penuh tanya.
“Kau ... Kau melakukannya padaku?”
Can. Pria berambut hitam itu menatap lekat manik hazel yang masih duduk, mencoba menutupi tubuh sempurnanya.
“Kau takut padaku, Ayse?” tanya pria itu balik.
Ayse tertegun.
Senyum tipis itu diperlihatkan Can. “Kau mendapati diriku sudah berubah padamu? Atau sejak perpisahan itu, kau tidak bisa menganggapku sebagai orang terdekatmu?”
“Kenapa kau terlihat takut padaku?” tanyanya.
Tubuh Ayse bergetar ketika pria itu mengambil duduk di sisi ranjang. Ia tertegun mendapati pria yang bertelanjang dada itu duduk di hadapannya. Ia pun menaruh gelas di atas nakas.
Manik coklat dan hazel mereka saling bertemu. Menepis keadaan mereka dalam keadaan sekarang. Karena sesaat mereka tenggelam dalam hal ‘lalu’.
Ayse menelan salivanya susah payah. “Jangan seperti ini, Can ...” bisiknya nyaris bergetar.
Can tetap diam, sampai ia mendapati Ayse beringsut mundur, takut dengan tatapan tajam Can. Perempuan itu sangat gelisah dengan keadaannya.
“Apa kita sudah—“
“—Aku akan keluar dari sini. Gaunmu sudah aku letakkan di atas sofa di sana,” tunjuk Can pada sofa lebar di kamar asing itu.
Ayse tidak mengingat apa pun. Mungkin, belum sepenuhnya karena ia terlalu syok, mendapati dirinya bangun di atas ranjang besar dengan pria yang ia kenal sejak mereka remaja.
Sayangnya, ini pertemuan kali pertama mereka setelah Ayse berusia lima belas tahun. Ayse tertegun melihat kalung berbentuk jangkar yang melingkar di leher Can. Pria berambut hitam itu segera beranjak dari duduknya, lalu membiarkan pintu kamar tertutup rapat.
“Pakaianmu sudah tidak melekat sedikitpun di tubuhmu, Ayse,” ucapnya nyaris bergetar.
“Apa aku—“
Ayse tertegun dan ia memberanikan diri beranjak dari duduknya.
Dengan tangan gemetar, ia turun, membalut keseluruhan tubuh perempuan itu dengan selimut dan menatap takut ke atas ranjang.
Namun, ia tertegun. Tidak menemukan noda yang tertinggal.
“Dia ... Dia tidak melakukan apa pun, semalam?”gumamnya lebih pada meyakinkan diri sendiri.
Ayse mengerjap. Manik hazelnya masih mencoba fokus, melihat ranjang itu. Tapi yang terlihat hanyalah ranjang yang sedikit berantakan.
“Apa yang terjadi semalam?” tanyanya penuh kebingungan.
**
Can melihat kedatangan Ayse dengan gaun hitam yang ia pakai semalam. Gaun yang memperlihatkan bahu putihnya, berlengan panjang. Gaun itu hanya membalut sampai setengah dari tungkai atasnya.
Pria itu bisa melihat jelas betapa semampai—seksinya—perempuan dengan tinggi 175 senti itu. Ia mengambil duduk di hadapan Can, tepat di meja makan berukuran persegi yang hanya bisa diisi empat kursi saja.
“Jelaskan apa yang terjadi dengan kita semalam, Can,” tekannya menatap pria yang sibuk mengolesi selai di atas roti miliknya.
Pria yang sudah memakai kaus polos berwarna abu-abu itu menatapnya lekat. Ayse tertegun. Paras itu semakin tampan diusia dewasanya.
“Temanmu ingin merusak tubuhmu,” jelasnya membuat Ayse membeliak.
Napasnya tercekat.
“Semalam adalah pesta reuni sekolah menengah pertamamu, kan? Kau datang ke Klub sendirian dan aku tidak sengaja mengenali salah satu di antara kalian. Aku memerhatikanmu. Kemudian teman priamu terlalu kuat menginginkan tubuhmu.”
Suara perempuan berambut panjang itu bergetar, “Kenapa kau ada di sana?”
Can tersenyum tipis. “Bukankah ini takdir, Ayse? Seharusnya kau bersyukur kita dipertemukan lagi,” balasnya penuh makna tersirat.
Ayse merasakan degup jantungnya bertalu kuat. Kedua tangannya terkepal kuat saat pandangannya mendapati manik coklat itu menatapny rapuh.
Kau memang sangat keterlaluan, Ayse. Pikir perempuan itu tertunduk lemah.
Ia merasakan sesak menjalar dalam tubuhnya.
“Kenapa kau meninggalkanku, Ayse?”
Degup jantungnya semakin tidak keruan. Suara itu sangat lirih. Seorang Yavuz Can Sener mempertanyakan masa lalu mereka?
“Seharusnya kau mampu menungguku, Ayse. Aku lulus dua tahun lebih cepat. Tapi apa yang aku dapatkan? Kau sudah pergi dari asrama sejak usiamu tujuh belas tahun.”
“Bahkan, kau tidak menepati janji kita untuk saling komunikasi,” lanjutnya membuat Ayse menatap Can.
“Aku tidak mungkin berada di sana selamanya, Can,” tandasnya dengan sorot tegas.
“Di sana aku tidak punya siapa pun dan—“
“—Dan kau, memilih tinggal bersama pria dewasa itu? Kau bersama pria yang pernah sekolah di Yayasan milik orangtuaku! Tempat kau mengenyam pendidikan juga!”
Ayse terdiam. Napas perempuan itu tercekat.
Can tidak lagi bernafsu memakan roti yang sudah ia baluri dengan selai. Tatapannya terlalu kuat menatap Ayse. Perempuan bermanik hazel itu menatapnya nanar. Namun, di balik semua itu, Can ingin juga memperlihatkan sorot rapuh yang sama.
Tapi kenapa ia tidak bisa? Apa semua ini karena pengkhianatan Ayse dulu? Ia membuang kepercayaan yang sudah Can pertahankan.
“Kita melakukan hal yang lebih jauh semalam?”
Can menatap tidak percaya Ayse yang mengalihkan pembicaraan. Kekesalannya tidak digubris, menggorekan luka dalam hatinya saat perasaannya diabaikan.
Ia menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Can mencoba menormalkan detak jantung dan tidak terlihat emosi.
“Seperti yang kau lihat pagi ini, tanpa helaian pakaian,” ucapnya datar.
Ayse membeliak. “Kau ... Juga ...” Ia berucap terbata dengan perasaan tidak keruan.
“Tentu, Ayse. Kau tidak sadar?”
“Aku tidak terlalu mengingatnya, tapi ...” Ayse menggantungkan ucapannya ketika ingatan itu hadir perlahan.
Suara desahan itu perlahan menyeruak bersamaan sentuhan yang Ayse lakukan pada tubuh di atasnya yang sudah menanggalkan bajunya. Menyisakan celana jeans yang tadi pagi terlihat oleh Ayse.
Ia menelan saliva susah payah.
Can tersenyum tipis. “Apa aku memang bersalah melakukannya?”
Tatapan keduanya bertemu.
Can tampak menegakkan tubuhnya, memandang lurus Ayse dan berkata, “Bolehkah aku tidak menyesali yang terjadi semalam, Ayse? Saat aku melihat tubuh sempurnamu? Karena pagi ini kau terlihat sangat seksi, membalut tubuhmu dengan selimut tebal itu.”
Napas Ayse tercekat.
**
Halo! Selamat datang dicerita Alice. Semoga suka sama plot dari cerita Ayse dan Can, ya! Follow Instagram @jasmineeal untuk informasi seputar cerita.
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments